15 : It's Us

55 3 10
                                    

Di bawah langit jingga, Eira menatap dedaunan kering yang tertiup angin sepoi-sepoi. Ia menggoyangkan kakinya di kursi taman. Meskipun suasana taman cukup ramai, Eira merasa pikirannya sunyi sekali, kosong. Ia sengaja memilih taman yang jauh dari rumahnya agar ia bisa bebas menyendiri.

Eira pribadi lebih menyukai taman di pinggir kota karena banyak sekali bunga di sekeliling air mancur yang berada di tengah taman. Biji bunga dandelion pun berterbangan di sekitar Eira sedari tadi.

Eira menghembuskan napas pelan.

Apa arti semua perasaan Eira selama ini? Ia sangat terlambat menyadari perkataan sesungguhnya dari hati kecilnya. Sesungguhnya ia tidak tahu pasti kapan ucapan hatinya itu berubah. Namun "dirinya yang lain", yang merasa lebih kuat dan condong dengan logika, mengatakan bahwa Jevrio pasti akan berlalu saja, dan tidak akan bisa menetap di hatinya.

"Fotoin mama di sana, dong! Yang bagus, ya." Eira menoleh ketika melihat seorang ibu yang sedang berpose dan anaknya yang memegang ponsel untuk memotret ibunya. Sesekali mereka tertawa.

Eira ikut tersenyum melihatnya.

Namun senyum itu berubah menjadi kerutan di keningnya saat ia melihat anak dari ibu tadi berbalik.

Itu Jevrio. Bersama ibunya.

Dagu Eira langsung terjatuh ke bawah. Pikiran Eira terlalu kusut untuk memikirkan bagaimana cara untuk menyamar agar tidak ketahuan. Ia merutuk dalam hati karena tidak membawa apa-apa saat menuju ke taman, sehingga sekarang ia tak bisa mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel, membaca buku, atau menyumpal telinganya dengan earphone.

Eira akhirnya bersembunyi di balik pohon agar tidak ketahuan oleh dua orang itu. Sesekali kepalanya menyembul untuk mengecek apakah mereka masih berfoto di situ. Sekali dua kali napasnya tertahan saat melihat gerakan kepala ibu Jevrio yang seakan akan menoleh ke arahnya. Lima menit bersembunyi, akhirnya mereka sudah pergi. Eira mengelus dada.

Namun Eira merasakan bulu kuduknya berdiri saat ia hendak berbalik.

"Ngapain hayo?"

AAKH!!

Dua detik kemudian, rasa terkejut Eira berganti menjadi rasa kesal campur marah melihat Jevrio yang memasang wajah jahil di depannya. Satu tinju melayang ke pundak laki-laki itu. Jevrio tertawa puas melihat wajah Eira yang merah karena kesal.

Satu menit momen canggung terlewati, Eira balik kanan tanpa berkata apa-apa kepada Jevrio. Cowok yang dikacangi itu pun berlari menghampiri Eira yang berjalan cepat.

"Eh kenapa tiba-tiba pergi? Bentar—"

Eira menodongkan jari telunjuk tepat di depan mata Jevrio. "Diem. Ga usah banyak ngomong."

"Lo gak mau bilang makasih ke gue, gitu?"

Eira menghentikan langkahnya, lalu berdecak lidah.

"Buat apa? Lo selalu bikin kacau setelah masuk ke hidup gue." Jevrio mengangkat alis mendengarnya.

"Lo gak mau bilang makasih ke gue yang udah nyelametin lo dari temen toxic kayak Carol?"

Eira tertegun. Lidahnya kelu seketika. Ia menatap laki-laki itu tajam, tahu bahwa posisinya sekarang adalah mati kutu. Tapi sepertinya ia tahu, sebenarnya Jevrio sedang memancingnya ke kejadian kemarin, dan kejadian sebelumnya. Eira merutuki dirinya, karena ia memang tidak berkata apa-apa setelah kejadian-kejadian itu. Tapi Eira tidak akan jatuh ke dalam permainan murahan itu begitu saja.

"Well thanks, I guess." Eira langsung berjalan meninggalkan Jevrio setelah berkata seperti itu. Ia masih punya harga diri yang harus dijaga di depan orang lain.

You are My Moonlight [END✓]Where stories live. Discover now