8 : For The Second Time

66 4 3
                                    

Eira terdiam karena ucapan Dion barusan. Jevrio mau berubah.. karena Eira? Tidak! Mana ada orang paling batu sedunia berpikir seperti itu! Eira menarik napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan pikirannya.

Setelah lebih tenang, Dion dan Eira masuk ke ruang guru untuk menaruh buku titipan Pak Rono ke mejanya.

"Mikirinnya entar aja di rumah, Ra. Sekarang balik ke kelas, yuk," ajak Dion dengan menyelipkan ledekan pada ucapannya. Satu pukulan berhasil mendarat di punggung laki-laki itu.

Saat Eira hanya berjarak satu meter dari tangga, tiba-tiba muncul orang yang sampai ayam jantan bertelur pun tidak mau Eira lihat lagi.

"Wah, kebetulan banget." Jevrio menyunggingkan senyumnya yang terlihat menyebalkan di mata Eira.

Tanpa ba-bi-bu, Eira langsung berbalik dan mencari alternatif jalan lain menuju kelasnya. Tapi tangan Dion lebih cepat mencegat Eira dan membuatnya berhenti melangkah.

"Pas banget kan ada orangnya di sini? Sana gih, kalian omongin baik-baik," bisik Dion dengan senyum.

"Males, ah. Mending ke kelas gue." Eira mendengkus.

"Ehh, eh, jangan gitu dong, Ra. Habis lo ngomong baik-baik sama Jevrio, gue traktir es krim, oke?" Dion menarik Eira yang tadinya sudah berjalan beberapa langkah darinya.

"Masa es krim doang?" Dion tersenyum masam.

"Ya udah, gue traktir pizza entar." Eira menodongkan kelingkingnya di hadapan Dion sebagai tanda janji. Dion menyambut kelingking Eira sambil tersenyum miring.

Sedangkan Jevrio dari tadi kebingungan melihat dua manusia yang tengah berbisik-bisik itu.

"Good luck." Dion meninggalkan Eira sambil mengangkat kedua alisnya.

Eira "terpaksa" harus berhadapan dengan makhluk menyebalkan itu lagi. Jevrio menampilkan senyumnya dengan pose menunggu perkataan yang akan keluar dari mulut Eira.

"Dengerin baik-baik, Jevrio. Cukup sampe sini aja. Gue gak mau ada urusan lagi sama lo. Impas, oke?" Eira menghela napas berat sembari berkacak pinggang.

"Oh, oke. Berarti maaf gue diterima, kan?"

"Idih, sejak kapan!"

"Loh, katanya tadi gak mau ada urusan lagi sama gue. Berarti lo udah maafin gue." Jevrio mengeluarkan jurus smirk.

Kedua alis Eira bertaut. "Maaf lo masih gak gue terima tapi gue anggep sekarang semua udah selesai, titik."

"Kalo dibawain kue lagi, berarti mau nerima, dong?"

"Iih!! Apasih lo! Udah deh, ya, males gue ngomong sama lo!"

Karena kesal, Eira langsung balik kanan menuju kelasnya. Sementara itu, di belakang Jevrio tertawa puas meledek cewek itu.

***

"Lo pulang naik bus?" Vanka bertanya sambil berjalan berdampingan bersama Eira.

"Iya." Eira menjawab singkat.

"Ngomong-ngomong, tadi ada anak kelas lain yang bilang ke gue kalo tadi lo berduaan sama Dion. Paling mereka cuma salah liat doang, kan?" Pertanyaan Vanka sukses membuat Eira membelalakkan matanya.

"Tadi gue cuma bantuin Dion bawain buku ke mejanya Pak Rono di ruang guru, Van! Demen banget, sih, mereka ngasih tau sesuatu yang gak sesuai fakta!"

"Ah, gue kepikiran soalnya dari tadi. Sorry, ya, Ra." Suara Vanka merendah.

"Santai aja, Van! Ya kali gue beneran ngerebut Dion, bisa-bisa gue ditendang sampe ke pulau sebelah." Eira dan Vanka tertawa bersama.

"Ya udah, ya, gue duluan. Takut ketinggalan bus, nih," pamit Eira, ia melambai dengan ceria.

Tepat setelah Eira setengah berlari keluar gerbang sekolah, Dion tiba-tiba merangkul Vanka dari belakang. Dion tersenyum gemas pada Vanka. Sebagai balasan, Vanka mendorong Dion untuk tidak merangkulnya di depan murid-murid lain yang masih bertebaran di koridor. Akhirnya mereka pun pulang berdua dengan motor Dion.

"Mama?"

Eira menyipitkan matanya untuk melihat seseorang yang sedang melambai dari dalam mobil. Beberapa detik kemudian, Eira menyadari bahwa itu benar ibunya sendiri saat melihat plat mobilnya. Sedang apa Mama di sekolah? Bukankah biasanya ia pulang malam? Eira segera berlari menghampiri mobil putih itu.

"Mama kok tumben pulang siang?" tanya Eira sembari membuka pintu mobil depan dan duduk di sebelah Maya, ibunya.

"Iya, Mama sengaja pulang awal supaya bisa jemput kamu." Maya memasang wajah ceria.

"Oh gitu," balas Eira pendek sambil menganggukkan kepalanya.

"Hm, enaknya kita jalan-jalan kemana dulu nih?" Maya menyalakan mesin mobil lalu tancap gas keluar gerbang sekolah.

Eira terkejut mendengar perkataan Maya. "Eh?"

"Kamu maunya ke mana? Oh! Ke kafe aja gimana? Ada kafe di deket sini gak ya?"

Deg.

Eira cepat-cepat membawa topik pembicaraan ke arah lain. "Di sini gak ada kafe, Ma! Em, kayaknya aku kepengen pizza, deh, Ma. Iya, pizza aja, ya, Ma! Pleasee."

"Duh, kalo makan pizza bareng Papa aja, ya, sayang. Gak enak, kan, kalo kita makan pizza sendiri padahal Papa lagi sibuk-sibuknya." Maya mencoba menghibur Eira sambil tetap memperhatikan jalan, "eh, itu ada kafe di sana! Kita ke sana aja, ya, sayang."

Eira hanya bisa menghela napas pasrah saat Maya memarkirkan mobil di tempat Jevrio bekerja.

Mereka berdua turun dari mobil dan segera masuk ke dalam kafe. Jika bukan karena Maya, Eira tidak akan lagi menginjakkan kaki di kafe ini. Lain kali Eira harus mengajak ibunya pergi ke kafe lain yang jauh lebih enak makanannya daripada kafe ini. Eira memastikan ini adalah untuk kedua dan terakhir kalinya ia masuk ke tempat Si Menyebalkan itu bekerja.

"Selamat datang di kafe kami! Silahkan pesanannya." Orang kasir itu tersenyum ramah.

Maya menyebutkan pesanannya. Sementara itu Eira hanya memesan lemon tea saja.

"Baik, pesanan—"

"Eira?"

Eira kaget saat Jevrio menghampiri meja kasir dan menyebutkan namanya. Daripada membuat keributan, Eira bertingkah pura-pura tidak kenal dengan laki-laki menyebalkan itu.

"Wah, Tante mamanya Eira, ya? Kenalin, Tan, saya Jevrio, temennya Eira."

Perkataan Jevrio berhasil membuat bola mata Eira hampir keluar dari tempatnya. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu?! Teman? Ch! Nama Jevrio bahkan ada di posisi paling atas daftar orang-orang yang harus dihindari Eira.

"Kamu temannya Eira? Keren, ya, udah bisa kerja," balas Maya ramah dan antusias saat menyambut uluran tangan Jevrio. Maya terkesan mendengar gaya bicara Jevrio yang ramah dengan senyum yang menurut Eira itu adalah senyuman manipulatif.

Interaksi antara dua orang itu membuat Eira semakin memanas sampai seolah ada asap putih mengepul di atas kepalanya.

"Ra, itu lho, kamu disapa sama temen mu, kok gak nyaut?" Maya terheran.

"Gak kenal, Ma."

Eira langsung berjalan ke arah tempat duduk tanpa mempedulikan respon Maya. Mood nya yang tadinya berada di level baik saat bertemu dengan ibunya menjadi turun drastis saat bertemu Jevrio. Dasar perusak suasana!

"Selamat menikmati." Eira membentuk mulutnya seperti garis lurus saat Jevrio menaruh makanan dan minuman itu. Sementara itu, Jevrio berusaha tersenyum walaupun ia tahu ia hanya akan ditanggapi oleh Maya.

"Terima kasih, ya, Jevrio." Maya masih mempertahankan senyum ramahnya.

"Eira, kamu kenapa gak sopan begitu sih sama temen sendiri? Baru kali ini Mama liat kamu kayak begini."

"Ma, andai Mama tahu apa yang terjadi sebenernya!!" Eira berteriak-teriak dalam hati.

---


Hi guys! Update nya malem2 nih hehe. Jangan lupa vote dan komen! Karena satu vote dari kalian bikin aku tambah semangat hehe:> Thank youu!! <3

You are My Moonlight [END✓]Where stories live. Discover now