"Kak Atar, Cla mohon biarin Cla pergi. Cla nggak mau ada di sini," lirih Clarissa dengan harapannya yang kecil kemungkinan akan terwujud.

"Duduk," tegas Altair seraya menunjuk sebuah kursi kosong dengan sudut mata elangnya.

Clarissa melihat sosok Altair yang berdiri angkuh di hadapannya. Pandangan memohonnya tertuju pada Altair.

"Kak Atar—"

"Gue bilang duduk Cla!!" teriak Altair membuat Clarissa terlonjak kaget.

Clarissa bangkit dari posisi setengah duduknya lalu menarik sepasang kakinya. Langkah kecil yang diiringi dengan rasa ketakutan itu terus berjalan mendekati kursi kosong tersebut. Clarissa memainkan jemarinya seraya menatap Altair sekali lagi. Tetapi cowok itu hanya menatapnya datar.

Setelah Clarissa mendudukkan dirinya di kursi tersebut, Clarissa dapat mendengar suara derap langkah yang perlahan mendekatinya. Dari sudut matanya, Clarissa dapat melihat Altair yang tengah duduk santai di meja seraya menatapnya penuh arti. Clarissa yang mendapat tatapan itu meneln salivanya gugup.

"Kenapa? Takut?" tanya Altair dengan tawa meremehkan. Suka ketika Clarissa takut akan dirinya.

Clarissa hanya bisa terdiam tanpa ada niat untuk mengeluarkan suaranya. Dirinya terlalu lemah untuk melawan ketidakadilan yang terjadi kepadanya. Altair terlalu kejam untuk Clarissa yang lemah.

"Lo punya mulut, kan? Apa perlu gue ajarin cara ngomong?" Altair mendekatkan wajahnya sehingga mimik ketakutan Clarissa terlihat jelas di kedua bola matanya.

"Ma-maafin Cla, Kak. Cla janji gak akan ngelakuin kesalahan itu lagi." Lebih baik jika dirinya meminta maaf walaupun dia tau bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Sosok Altair terlalu memperngaruhi kehidupannya.

"Melakukan apa, Sayang? Katakan kepadaku. Aku ingin mendengarnya."

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Clarissa. Mendengar nada halus yang baru saja keluar dari bibir Altair, bisa dipastikan bahwa kesalahan itu adalah kesalahan yang fatal. Karena semakin lembut sikap Altair semakin berbahaya pula lelaki itu.

"Cla janji, Cla akan jadi gadis yang baik dan penurut. Cla gak akan buat Kak Atar marah lagi." Clarissa menyentuh tangan Altair, berusaha menenangkan cowok itu agar emosinya mereda.

Dengan kasarnya Altair menyingkirkan tangan Clarissa lalu menatapnya sengit. "Gue gak minta lo janji, Cla! Gue pengin dengar kesalahan apa yang lo perbuat!"

"Cla mohon, Kak. Cla takut kalau Kakak kayak gini," isak Clarissa.

Brak!!

Clarissa mencengkram kursi yang didudukinya, wajahnya pucat pasi ketika dengan emosinya Altair melempar meja tersebut. Urat-urat leher cowok itu menonjol keluar, membuktikan bahwa cowok itu berada di tahap atas amarahnya. Clarissa menunduk, tidak berani menatap Altair yang menyeramkan.

"Tadi malam lo dimana?"

Clarissa tidak dapat berpikir lagi, pikirannya sudah terbagi-bagi. Ditambah Altair yang menatapnya seperti singa yang kelaparan.

"Jawab gue, Clarissa!!"

"Cla nggak ke mana-mana, Kak. Cla di rumah sendirian."

Altair mencengkram lengan Clarissa dengan keras, membiarkan gadis itu diserang rasa kesakitan yang menderanya.

"Lo nggak mau ngaku Cla?!" Clarissa menggeleng. Bukan karena dia tidak mengaku tetapi karena dia memang tidak tau kesalahan apa yang Altair maksud.

"Arrgghh!! Anjing lo!!"

Setelah mengatakan umpatan kasar itu, Altair terdiam dengan napasnya yang memburu. Sedangkan Clarissa tetap terdiam, tidak terkejut lagi dengan umpatan-umpatan kasar yang Altair lontarkan kepadanya. Clarissa sudah terbiasa dengan semua itu.

"Vito, seret dia ke hadapan gue!!"

Beberapa menit setelah titah itu keluar dari bibir Altair, Vito keluar dengan menyeret seseorang. Lensa Clarissa membesar saat mengenali lelaki tersebut. Rama, teman satu olimpiadenya. Kenapa dia bisa berada di sini? Dengan keadaan yang seperti itu?

Clarissa terdiam, melihat keadaan Rama yang mengenaskan. Sudut bibirnya yang terluka, matanya yang lebam, kakinya yang berjalan dengan terpincang-pincang, darah yang melumuri seragamnya, serta luka baretan yang menghiasi lengannya.

"RAMA?!!" teriak Clarissa histeris.

Saat Clarissa bergerak menuju Rama tangannya dicekal oleh Altair. Cowok itu mengancam Clarissa dengan mata elangnya. Clarisaa berusaha untuk melepaskan dirinya tetapi nihil, tangan Clarissa telah terbelenggu.

"Kenapa Kakak lakuin ini sama Rama?!" tanya Clarissa meninggi.

"Peduli banget lo sama si cupu? Kenapa? Suka lo?" Altair menaikkan sebelah alisnya, mengejek Clarissa dengan pertanyaannya.

"Kakak ngomong apa sih?!"

"Tadi malam ngapain aja lo sama dia?" Altair menatap Clarissa dari atas hingga ke bawah, seolah menilai Clarissa.

Clarisaa mendorong Altair sekuat tenaga, seakan melimpahkan rasa sesaknya pada cowok itu. "Rama cuma kasih buku untuk persiapan olimpiade, Kak, gak lebih!!"

Altair maju selangkah demi selangkah, kembali mendekatkan dirinya dengan Clarissa. "Malam-malam, hanya berdua, dengan tangan dia yang berani sentuh kepala lo, senyum sama lo. Itu yang lo bilang cuma?"

Clarisaa menatap Altair dengan tatapan tidak percayanya. "Kakak nguntit aku lagi?!!"

"Jangan alihkan pembicaraan, Cla," tekan Altair.

Altair kembali mencengkram lengan Clarissa. Memberikan gadis itu rasa sakit yang lebih dalam lagi. "Kayaknya lo belum paham posisi gue di dalam hidup lo, Cla. Tapi detik ini juga gue akan tunjukin, jadi lo akan paham bagaimana cara bersikap yang baik."

Seolah mengerti Vito memberikan tongkat kayu kepada Altair lalu memegangi Clarissa yang mulai memberontak. Teriakan melengking Tarisa seolah dihiraukan oleh Altair. Kini cowok itu hanya berfokus pada mangsanya saat ini.

Altair menoleh singkat ke arah Clarissa yang tengah memberontak. "Tangan ini kan? Yang berani nyentuh area kesukaan gue?" tanya Altair sembari menyentuh tangan kanan Rama dengan tongkat kayu itu.

Rama yang sudah tidak ada tenaga lagi memilih diam dan pasrah. Dirinya sudah tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar menggerakkan tubuhnya. Sementara itu Clarissa meraung, meminta Altair untuk menghentikan semua kegilaan ini.

Tangan Altair terangkat bersiap untuk menghempaskan tongkat tersebut ke arah lengan Rama. Sedetik kemudian Rama menjerit kesakitan saat tongkat itu mendarat mulus di lengannya, sehingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Altair tersenyum di sela kegiatannya.

"There no boys can have her except for me!" ucap Altair lantang, semakin keras mengayunkan tongkat kayu tersebut.

"Rama, rama!!!" ronta Clarissa berusaha menolong Rama yang terlihat kritis.

Rama meringkuk, melindungi tubuhnya sebisa mungkin. Walaupun kecil kemungkinan Rama bisa menyelamatkan lengannya yang terlihat mengenaskan. Setidaknya dia sudah mencoba.

Altair melempar tongkat kayu tersebut lalu mencengkram kerah Rama. Menatap baik-baik bibir Rama yang sudah bersimbah darah. Dengan tidak berperasaan Altair menekan bibir itu. Rama meringis kesakitan karenanya.

"Bibir lo ini kan, yang lancang senyum sama milik gue?" Tanpa aba-aba Altair langsung melayangkan tinjunya kepada Rama. Cowok itu langsung kehilangan kesadarannya ketika menerima beberapa pukulan keras Altair di bibirnya.

Setelah puas dengan kegilaannya itu, Altair memberikan tendangannya kepada tubuh Ramah yang sudah tergolek lemah tak berdaya. Bersamaan dengan itu Vito melepaskan tubuh Clarissa yang oleng. Clarissa jatuh terduduk ketika melihat kondisi Rama. Syok dan takut menjadi satu seakan mengocok isi perutnya.

Altair mensejajarkan posisinya dengan Clarissa lalu mengusap lembut puncak kepala Clarissa.

"Jadi lah gadis baik, maka semuanya akan baik-baik saja, Sayang ..."

.
.
.
.
Halo gais maaf ya pink baru update minggu ini karena baru selesai uas hehe.

JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN SPAM KOMENNYA!!!!
.
.
.
.
.
TBC

ToxicWhere stories live. Discover now