Eleventh

209 26 2
                                    

   Seharusnya (Name) meminta Ryou untuk menyuruh Kuroo tetap di sini, namun Ryou malah mengantarkan Kuroo untuk pulang ke rumahnya. Dia agak kecewa.

   "(Name), kau kenapa? Wajahmu terlihat kecewa, ada masalah dengan sekolahmu?"

   (Name) langsung menggeleng, dia menoleh ke arah seorang pria tua yang dia panggil dengan sebutan "Jī-chan". Terlihat pria itu menatap khawatir cucunya, dia menghampiri cucunya itu dan duduk di sampingnya.

   "Kalau ada masalah, kau bisa cerita dengan Ryou atau Maria, jangan dipendam lagi, ya. Aku tidak mau kau ke psikiater atau rumah sakit lagi."

   Apakah (Name) boleh menumpahkan air matanya? Rasanya dia ingin sekali dia menangis sekencang-kencangnya tanpa dilihat siapapun.

   "Jī-chan tahu kalau kau kecewa karena dia pulang, kau ingin dia tetap di sini, 'kan?" Tebakkan pria ini tepat, membuat (Name) membeku di tempat. Dia tidak bisa berkata-kata atau mengelak jika Kakeknya yang membaca isi kepalanya.

   Pria itu tersenyum, dia masih terlihat tampan walau kulitnya memiliki banyak bekas luka di wajahnya. "Bagaimana kalau kau utarakan perasaanmu," celetuknya enteng.

   Mata (Name) membulat. "Hah?! Mana bisa semudah itu, itu sulit." (Name) langsung merubah tatapannya menjadi menyendu, "Dia juga sepertinya tidak menyukaiku, aku cuma dianggap temannya."

   "Ya, cuma teman. Aku terlalu banyak berharap."

   Kepalanya terasa seperti kaset film, dia teringat pada pertama kali ia bertemu dengan seseorang saat SMP dulu, hanya kejadian yang ingin sekali ia ingat dengan jelas, dan sekarang ia bisa mengingat kejadian dan orang itu dengan jelas.

   Dia mengingat kejadian itu dengan jelas, sangat jelas.

<|Flash back

   "Siapa saja..." suaranya begitu pelan, membuat Kuroo yang berada di sana mengira kalau ada hantu yang berbisik di dekatnya. Pemuda itu mencoba untuk berani menghadapi ketakutannya.

   "Si-siapa—" Kuroo langsung berlari ke arah seorang gadis yang terduduk di bawah pohon dekat sekolahnya. Dia menyadari bahwa itu bukan hantu melainkan salah satu teman kelasnya, dia menandai gadis itu dengan perban yang ada di sekujur lengannya.

   Dia cepat-cepat mengecek gadis itu, sesekali menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu. "Kanzaki-san, bangunlah!" Kuroo melirik ke arah kaki gadis itu, banyak luka dan luka-luka itu terlihat seperti dilakukan dengan sengaja.

   Kuroo berhati-hati saat dia ingin menggendong si gadis, "Siapa yang melakukan ini?" dalam hati dia memaki siapapun yang melakukan ini pada gadis yang bermarga Kanzaki ini.

   Dia menggendong gadis itu di punggungnya, dia mencoba untuk mengantarkan gadis itu ke rumahnya. Tentu dia tahu tempat kediaman Kanzaki.

   Pada saat sampai di kediaman keluarga besar Kanzaki, Kuroo menekan bel rumah yang ada. Lalu, tampaklah seorang pria dengan wajah yang kesal, Kuroo juga melihat wanita muda yang sedang bersolek di depan cermin.

   "Ada apa?" Kanzaki Riko menatap datar pemuda yang menggendong anak perempuannya. Dia terlihat biasa saja ketika Kuroo menggendong anaknya.

   "Anak anda terluka, saya melihatnya terduduk di pohon dekat—"

  Sebelum Kuroo menyelesaikan perkataannya pria itu sudah lebih dulu memotongnya, "Masuklah, bawa dia ke kamarnya yang di atas. Pintu kamarnya berwarna putih."

   Tanpa basa-basi lagi Kuroo langsung masuk ke dalam rumah itu, tak lupa untuk memberi salam dan membuka sepatunya.

   Dia menaiki tangga untuk menuju ke kamar Kanzaki (Name), itu adalah nama si gadis yang ia tolong.

   Setelah menemukan kamar (Name), Kuroo membuka pintu kamar itu. Dia melihatnya, dia melihat betapa berantakannya kamar perempuan itu, persetan dengan keadaan kamar tersebut dia langsung merebahkan tubuh gadis yang ia gendong.

   Kuroo merasakan suhu tubuh perempuan itu, suhu tubuhnya terasa dingin. Sepertinya ia akan demam.

   Dengan sedikit panik Kuroo mencari sesuatu yang bisa membuat gadis itu ke suhu tubuh normal. Tiba-tiba ada suara serak membuat dirinya terkejut.

   "Aku... Aku tak apa-apa. Terima kasih karena telah membawaku pulang." (Name) mencoba duduk di tempat tidurnya, dia mengulas senyum untuk pemuda dengan surai hitam itu.

   Kuroo mendekati gadis itu, tangannya mencoba untuk meraih pipi gadis itu, namun tampaknya gadis itu langsung melindungi dirinya dengan tangannya sambil mundur terburu-buru. Dia ketakutan.

   Menyadari kalau tindakkannya membuat (Name) takut, dia langsung mengundurkan niatnya.

   "Kalau boleh, apa kau bisa ambilkan kantung plastik yang ada di sampingmu?"

  Kuroo langsung melihat ke arah meja yang tepat di sisi kanannya, dia meraih kantung plastik itu dan memberikan pada (Name). (Name) menerima kantung plastik yang berisi obat-obat dari resep dokternya.

   "Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu, kalau kau tidak ada di sana mungkin aku sudah mati," diakhir kalimatnya dia terkekeh, seolah-olah itu adalah hal yang lucu. Namun bagi Kuroo tidak.

   Kuroo memungut tasnya, "Tidak masalah, Kanzaki-san. Ngomong-ngomong, apa kau dibully oleh seseorang?" Kuroo bertanya untuk memastikan apa yang ia tebak benar atau salah. Namun, (Name) bisa merasakan kalau Kuroo sedang khawatir, walau pandangannya mulai terasa berat.

   "Aku akan menceritakannya padamu, aku merasa sangat mengantuk, juga ini sudah larut malam pasti keluargamu menunggumu." (Name) tak ingin jatuh pingsan di depan pemuda ini.

   Kuroo mengangguk, "Baiklah, aku akan pulang. Jaga dirimu, Kanzaki-san."

<|Flash back end

   "Jī-chan, aku mengingatnya dengan jelas."

   "Ingat apa?"

   (Name) mengulas senyumnya, "Aku mulai mengingat semua memori lama, aku juga mengingat kejadian itu dengan sangat jelas."








---------------
Bersambung
---------------


Halooo

Maaf kalo gaji ya:)

Jangan lupa vote dan komen ya, supaya Ai makin semangat. Apalagi kalau kalian komen, langsung semangat 45

Type [Kuroo Tetsurou]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang