Toko Kue

9.1K 435 0
                                    

Dua minggu berlalu, hampir setiap hari sehabis bekerja, Reno menyempatkan diri untuk mengunjungi Raina. Namun, tidak ada kecurigaan yang muncul dari pikiran Naya. Menurutnya, hal yang wajar bagi suaminya itu jika sering pulang larut malam karena pekerjaan.

"Kamu katanya kerja dari rumah, tapi gak ngapain-ngapain dari tadi. Gangguin Rolan terus." heran Naya.

"Nanti malem 'kan masih bisa. Harusnya kamu seneng dong aku main sama Rolan terus. Ya 'kan, Kak." Reno menggoda Rolan yang sedang duduk di ranjang memukul-mukul boneka mainan di tangannya.

"Kakak mau punya adek gak?" Rolan masih sibuk memainkan bonekanya.
"Iya, kakak mau punya adek? Mau?" Reno gemas sendiri dengan anaknya.

"Awh..." Tangan Naya tak sengaja tersengat panas dari teko air. Tangannya sedikit memerah. Dengan sigap Reno meraih dan mengecup tangan itu.

"Kamu gak apa-apa?" Naya mengangguk pelan.

"Kita makan siang di luar aja yuk." Reno peka terhadap keadaan tubuh Naya. Istrinya itu tampak lemas dan lesu sejak pagi, tak biasanya seperti itu.

"Sekalian aku mau pacaran sama kamu." goda Reno untuk membuat suasana hati Naya kembali ceria lagi.

Sesuai ajakan Reno, mereka makan siang di rumah makan sederhana.

"Kamu kenapa liatin aku terus sih?" Naya risih dipandangi terus menerus oleh Reno.

"Aku mau cium." Reno mengerucutkan bibirnya.

Reflek tangan Naya menyingkirkan bibir manyun Reno. Tangan bayi di gendongan Naya juga ikut menyingkirkan wajah ayahnya.

"Kakak gak suka sama ayah ya? Inget ibu itu punya ayah, bukan punya kakak." ucap Reno seolah-olah anaknya sudah mengerti.

"Nay, nanti sore aku mau ketemu Alvin sama anak-anak yang lain boleh ya."
"Di mana?"
"Di kos-an."

"Oh... jadi alasan kamu kerja dari rumah tuh biar bisa main sama temen-temen kamu? Gitu?" Reno menampilkan senyumnya.

"Aku kira biar ada waktu lebih sama aku." ujar Naya dengan nada kecewa. "Pasti kamu mau judi bola lagi ya."

"Enggak, sayang. Aku udah lama gak ketemu mereka. Kamu kalo mau ikut juga boleh, nanti ketemu Melani."
"Gak deh, lumayan jauh. Aku di rumah aja. Kapan-kapan aja."

Sehabis makan, mereka tidak langsung pulang. Reno mengajak Naya untuk mampir ke sebuah toko aneka kue dan roti.

Selagi memilih makanan yang ingin dibeli. Pintu toko terbuka, sepasang kekasih memasuki toko tersebut dengan memamerkan kemesraan. Reno bertatapan dengan perempuan yang baru saja datang, begitupun dengan Naya.

"Eh, Reno." Bukannya membalas sapaan, Reno malah menatap tajam laki-laki di samping perempuan itu.

"Lu ngapain di sini? Bukannya hari ini lu fitting baju?" cecar Reno kepada laki-laki bernama Ari yang merupakan calon suami Raina dan sekarang sedang memeluk pinggang Bianca posesif.

"Dia pacar kamu?" Bianca mengangguk.
"Dia itu calon suami adek aku." tutur Reno.
"Aku tau kok." kata Bianca dengan santai.

"Tunggu, kamu tau dari mana hari ini mereka fitting baju? Bukannya kamu udah gak mau berhubungan dengan keluarga kamu lagi?" Naya membuka suara, membutuhkan penjelasan dari Reno. Namun, tidak ada jawaban dari suaminya itu.

"Saya sepakat sama Raina kalau pernikahan kami cukup di atas kertas aja. Habis nikah, kami jalani kehidupan masing-masing. Lagian bukannya dia pacaran sama kamu? Dia sendiri yang bilang ke saya, dia udah gak perawan dan keperawanannya diambil sama kamu." Pernyataan dari Ari membuat detak jantung Naya tidak stabil, muncul kemarahan dalam dirinya.

Belum sempat Reno memberikan penjelasan, Naya lebih dulu pergi dari toko itu. Air matanya tidak bisa dia tahan lagi. Apa benar yang dikatakan Ari?

Sambil mendengus, Reno menatap tajam pasangan di hadapannya, kemudian secepat mungkin dia menyusul Naya.

"Nay, dengerin aku dulu." Dipeluknya Naya dengan erat.
"Aku mau pulang."

"Aku bisa jelasin..."
"Aku mau pulang." Tanpa reaksi apapun Naya berjalan ke arah motor Reno terparkir.

Rolan yang belum mengerti situasi orang tuanya, menampilkan tawa kecilnya. Melihat itu, Naya menahan untuk tidak menangis.

Sampai di apartemen, Reno terus membuka suara untuk menjelaskan kesalahpahaman. Namun, Naya tak ingin mendengar.

"Jadi itu alasan kamu sering pulang tengah malem. Buat ketemu sama dia."

"Kamu sama aja kayak ayah kamu, Ren." Reno cukup tidak terima disamakan dengan ayahnya.

"Jangan samain aku sama ayah aku. Aku gak pernah berhubungan badan sama adek aku sendiri."
"Ya bisa aja, 'kan kamu brengsek." Air mata Naya tak bisa terbendung lagi.

"Kamu gak percaya sama aku?" Reno menggaruk kepalanya kasar, frustasi, bagaimana lagi dia harus memberikan penjelasan agar istrinya percaya.

"Udah lah, aku lagi gak pengen ngomong sama kamu." Naya berjalan ke balkon bersama Rolan, dan menutup pintu penghubung balkon tersebut.

Bersamaan dengan itu, ponsel Reno bergetar, panggilan masuk dari Alvin.

"Halo, Ren. Lu jadi ke sini?"
"Gak jadi, Vin." jawab Reno singkat dan jelas.
"Oh, oke. Besok juga masih bisa, Ren. Kalo gak transfer aja."

Sekali pencetan, Reno memutuskan sambungan telepon itu.

"Nay?" Reno masih memanggil-manggil Naya dan tidak ada jawaban.

Hingga malam hari tiba, Naya belum juga membuka suaranya. Seperti biasa menjelang tidur, Naya lebih dulu menidurkan anaknya, lalu mengisi buku jurnalnya.

Dari ranjang, Reno memperhatikan Naya yang sedang menulis. Pasti hal-hal yang terjadi hari ini, dituliskan semua oleh Naya.

"Sayang." panggil Reno, memperhatikan istrinya merebahkan diri untuk tidur. Ketika ingin memeluk, tangannya ditepis.

Sepanjang malam mereka terjaga, sulit untuk tertidur, terlalu banyak hal yang dipikirkan.

"Beberapa hari aku sempet ketemu dia. Aku ketemu dia karena dia mau curhat, dia gak tau mau ngomong ke siapa lagi. Dia gak setuju sama perjodohan itu, dan dia akan bilang ke Ari, kalo dia udah gak perawan." Belum ada respon. Reno tahu bahwa Naya belum terlelap.

"Dia sengaja bohong, biar pernikahan itu gak terjadi. Aku juga gak tau kenapa dia bawa-bawa nama aku." Panjang lebar Reno menjelaskan. Namun, tak mendapatkan reaksi. Naya masih menampakkan punggungnya.

Sebenarnya Reno tak menduga, Raina serius dengan niatnya yang akan berbohong tentang keperawanannya kepada Ari.

.

Pagi harinya, meskipun tak bertegur sapa, Naya masih melakukan rutinitasnya membuatkan sarapan untuk Reno sebelum berangkat kerja.

"Makasih." Naya menjawab dengan anggukkan.

Reno menyantap sarapannya seorang diri. Istri dan anaknya menghindar ke balkon. Tampaknya Naya belum mau menerima penjelasannya.

Sungguh keadaan yang menyiksa bagi Reno. Lebih baik Naya menamparnya setiap saat, daripada mendiaminya seperti sekarang ini bahkan pelukannya saja ditolak.

"Aku berangkat dulu ya."

Reno mengawali paginya tanpa ciuman dan pelukan hangat dari istri yang tentunya dia cintai.

...

Air di Atas AwanWhere stories live. Discover now