Pulang

9.9K 503 0
                                    

"Kamu pusing ya?" tanya Reno yang duduk di sebelah Naya. 

Pagi ini di hari sabtu, sesuai kesepakatan bersama mereka akhirnya jadi untuk pulang ke rumah orang tua Naya. Ternyata Reno tidak melupakan perkataannya.

Sehari sebelum berangkat, mereka sibuk mempersiapkan barang apa saja yang harus dibawa. Memberitahu penghuni kos yang lain, termasuk Rian dan Melani. Entah berapa lama mereka pergi.

Mereka keluar kota menggunakan jasa travel, dengan penumpang yang tidak terlalu banyak dan aman. Jarak antar kota menggunakan mobil via tol kurang lebih tiga jam perjalanan. 

"Gak, aku gak apa-apa." ucap Naya dengan pandangan melihat luar jendela. Sedangkan Reno sibuk merapikan rambut perempuan di sampingnya itu.

Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti sebentar di sebuah tempat peristirahatan. 

"Kamu mau ke toilet gak?" Naya menggelengkan kepalanya. 
"Yaudah aku ke toilet dulu ya." Sebelum keluar, Reno memberikan kecupan di pipi Naya, yang dicium pun tersenyum kecil. 

Sejak sebelum mereka berangkat, Naya lebih banyak diam karena sedang memikirkan banyak hal. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan, memprediksi apa kemungkinan reaksi orang tuanya, dan bagaimana rencana untuk mengantisipasinya. Apalagi dia merupakan anak satu-satunya.

Walaupun dia tidak begitu peduli dengan reaksi dan ocehan tetangga, maupun saudaranya, tapi tetap saja akan membebankan orang tuanya. 

"Nay, aku beli roti sama biskuit kesukaan kamu." Reno kembali dengan bungkusan berisikan cemilan di tangannya.

Bukannya mengambil makanan, tangan Naya malah memeluk lengan kanan Reno, dan menyandarkan kepalanya. Reno pun tersenyum, dan mengecup kening Naya.

Mobil kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, mereka menikmati pemandangan di luar jendela. Memandangi langit dan persawahan yang masih melintang luas. Sambil menikmati makanan. Seakan di dalam mobil itu hanya ada mereka saja.

.

Sampai di tempat penurunan, Reno lanjut memesan taxi online dengan tujuan ke rumah orang tua Naya, yang tidak jauh dari titik keberangkatan.

Tangan Reno tidak pernah lepas menggenggam tangan Naya. Dia tahu Naya sedang takut dan cemas. Perempuan itu hanya butuh seseorang untuk menenangkannya. 

Jantung Naya berdegup lebih cepat ketika sampai di halaman depan rumahnya. Rumah yang menjadi tempat dia pulang. 

Reno keluar lebih dulu untuk mengambil tas di bagasi mobil. Naya dengan pelan membuka pintu mobil. 

"Makasih ya, Pak." ujar Reno. 
Mobil itu pun pergi. 

"Ayo masuk." Reno meraih dan menggenggam erat tangan Naya.

Sebenarnya Reno juga sama seperti Naya, tapi sebisa mungkin dia harus menyembunyikan ketakutannya itu. Siap dengan apapun konsekuensi yang akan dia dapatkan.

Sejenak Naya menghentikan langkah kakinya. 
"Tenang, ada aku di sini." Tatapan hangat Reno membuat Naya lumayan tenang.

Setelah empat kali ketukan, pintu itu pun terbuka. Muncul sosok perempuan paruh baya, Naya menunduk tidak berani menatap perempuan di hadapannya. Dada dan tenggorokannya seketika sesak, seperti ada sesuatu yang ingin dia keluarkan.

Kemudian Naya memberanikan diri memeluk ibunya dan mulai menangis. Sang Ibu awalnya kaget, dan bingung. Kenapa anaknya tiba-tiba menangis. Perlahan dia mulai menyadari perubahan bentuk perut anaknya itu. 

"Ada siapa, Mah?" tanya sang Ayah yang baru saja keluar dari kamar. 

Mereka berempat saling memandang satu sama lain. Mencerna situasi yang canggung dan tidak biasa seperti ini.

Sang Ibu menghampiri suaminya sambil menangis, lalu memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Aryo, selaku sang Ayah, saat mendengar kenyataan itu tidak mengeluarkan reaksi apapun. Dia hanya diam dan duduk di kursi ruang tamu. Elena pun menyuruh Naya dan Reno untuk ikut duduk menghadap Aryo.

Naya bisa melihat dengan jelas dari kedua mata orang tuanya yang penuh dengan kekecewaan. Bagaimana bisa anak yang mereka anggap baik, patuh dan sopan terhadap orang tua, tidak memiliki kelakuan yang buruk. Namun, berakhir seperti ini?

"Jadi, kamu yang hamilin anak saya?" tegas Aryo dengan tatapan tajam menatap Reno.

"Iya, Pak. Saya ke sini mau tanggung jawab. Saya salah dan saya minta maaf." Reno menjawab tanpa ragu.

"Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari awal kehamilan?" Aryo sangat marah melihat anaknya yang pulang dalam keadaan hamil dengan laki-laki asing.

Reno terdiam beberapa detik, memikirkan jawaban yang tepat, tidak mungkin 'kan dia menceritakan semua yang terjadi. Naya terlihat ingin membantu, tapi Reno segera menjawab.

"Karena waktu awal kehamilan Naya, saya masih ngerjain skripsi dan belum dapat kerjaan. Sekarang saya sudah lulus, bulan depan saya mulai kerja." jelas Reno dengan penuh keyakinan. Jika matanya dilihat tidak tampak kebohongan di sana. 

Setidaknya Reno jujur untuk masalah pekerjaan, yang akan menjadi bekal dirinya menafkahi Naya dan anaknya.

"Naya." Naya sedikit terkejut mendengar panggilan dari ayahnya itu, "Kuliah kamu gimana?" Lagi-lagi belum sempat Naya menjawab, disela lebih dulu oleh Reno.

"Saya yang nyuruh Naya buat berhenti kuliah." Mendengar itu, rahang Aryo mengeras, lalu dia bangkit, kembali ke kamar dan terdengar bunyi gebrakan pintu.

Seumur hidupnya baru kali ini, Naya melihat ayahnya penuh dengan amarah seperti itu. Masalahnya, ayahnya itu sangat memetingkan pendidikan dan ingin anak semata wayangnya sukses dalam pendidikannya.

"Maafin aku, Mah." Naya kembali menangis dan memeluk Ibunya. Meskipun kecewa, sedih dan marah, Elena tetap peduli dan tidak membenci putri semata wayangnya itu. Beruntungnya Naya memiliki Ibu seperti Elena. 

"Iya, iya." Elena menenangkan dengan merangkul dan mengelus-elus punggung Naya. "Sekarang kalian istirahat, pasti capek 'kan? Biar mama yang bujuk papa." 

Reno ikut berdiri, lalu dengan tulus meminta maaf kepada Elena, dan dibalas dengan senyuman.

"Maafin saya juga, Bu." Reno tulus meminta maaf.

"Panggil aja 'mama'. Yaudah kalian ke kamar aja dulu."

Naya berjalan lebih dulu ke arah kamarnya, tempat satu-satunya untuk dia dan Reno beristirahat. Sampai di kamarnya, dia langsung meringkuk di atas kasur. 

Sedangkan Reno, sibuk melihat seisi kamar Naya. Kamar tersebut lumayan bersih, walaupun lama tidak berpenghuni. Sepertinya setiap minggu dibersihkan. 

Kamar yang polos, seperti pemiliknya. Untuk ukuran kamar perempuan, kamar ini tidak memiliki terlalu banyak barang. Temboknya pun bersih tanpa serba-serbi tempelan maupun gantungan. Hanya ada beberapa bingkai foto di meja belajar sebagai hiasan.

Reno melihat satu persatu foto-foto itu. Naya sangat imut saat kecil hingga remaja. Begitu dewasa keimutan itu diiringi dengan kecantikkan yang membuat Reno senyum-senyum sendiri ketika melihatnya.

"Nay?" Tidak ada sahutan dari yang dipanggil.

Reno menghampiri ranjang, dan mendapati Naya yang tertidur lelap. Mungkin dia kelelahan akibat perjalanan yang jauh. Reno mengelus rambut dan kening Naya sambil tersenyum kecil. Satu kecupan dia berikan di pipi Naya.

Napas yang sejak tadi tertahan, akhirnya bisa Reno keluarkan semuanya dengan setengah kelegaan. Setidaknya langkah pertama berhasil dia lewati. Saat ini dia gunakan untuk beristirahat menunggu langkah selanjutnya.

×_+

Air di Atas AwanWhere stories live. Discover now