Tanggung Jawab?

14.1K 563 3
                                    

"Pesen aja, nanti gua yang bayar." Selagi Naya melihat-lihat menu, Reno sibuk sendiri dengan ponsel di tangannya.

"Ren—" Tak ada tanggapan.

"Reno!"
"Hmm??" Reno mendongakkan kepalanya.

"Kamu mau makan apa?" 
"Samain aja," kemudian Reno kembali memainkan ponselnya.

Naya memanggil pegawai restoran untuk memesan makanan. Tiba-tiba Reno berdiri dari duduknya, lalu berlari begitu saja ke luar restoran. Naya yang sedang menyebutkan pesanan, menoleh kebingungan.

"Udah itu aja, Mbak," ucap Naya pada pegawai itu. 

Dari balik kaca restoran, Naya melihat Reno yang sedang mengejar seorang perempuan, yaitu Bianca. Dari kejauhan Naya memperhatikan mereka walaupun tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Ketika sedang memainkan ponselnya, tidak sengaja pandangan Reno melihat Bianca yang berjalan ke arah restoran tempatnya berada. Secara spontan kakinya melangkah ke arah perempuan itu.

"Bianca," panggil Reno, membuat perempuan yang dipanggil menatap ke arahnya.

Melihat siapa yang ada di depannya, Bianca langsung membalikkan badannya, kemudian berusaha menjauhi sosok Reno.

"Bi, tunggu." Reno tidak tinggal diam. Sebisa mungkin dia menghampiri Bianca, walau mendapatkan penolakan.

"Bi—" Kini Reno tepat berdiri di depan Bianca.
"Maafin aku." Reno menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Bianca.

"Aku masih sayang sama kamu, Bi. Aku juga gak mau kayak gini," tutur Reno dari dalam hatinya.
"Maafin aku." Untuk saat ini hanya ada kata maaf yang bisa dia keluarkan.

"Aku juga masih sayang sama kamu." Bianca memukul pelan dada Reno berkali-kali, dengan air mata yang dia tahan. 

Mereka pun berpelukan. Sepasang mata Naya melihat pemandangan itu. Daripada dirinya semakin sakit dan terbakar api kecemburuan, lebih baik dia pergi dari tempat itu.

"Tapi, kita udah gak bisa bareng lagi, kamu harus tanggung jawab sama apa yang udah kamu lakuin ke Naya," tegas Bianca melawan dirinya sendiri. Meskipun belum seratus persen menerima kenyataan.

"Kamu maafin aku?" Bianca mengangguk dengan tangan kanannya yang menyentuh pipi Reno. Dia melihat bekas luka tonjokkan di wajah Reno. 

Sebenarnya Bianca ingin bertanya dari mana luka-luka itu berasal, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbincang lebih jauh, dengan seseorang yang sekarang sudah berstatus sebagai mantan pacarnya.

×_+

Di tengah perjalanannya yang tanpa tujuan, ponsel Naya berbunyi. Tanda masuk panggilan berupa video. Naya merapikan penampilannya yang sayu. Menetralkan napasnya karena panggilan video itu dari ibunya.

"Halo, Mah." Naya berusaha tersenyum, agar Ibunya tidak khawatir.
"Kamu abis nangis ya?" Namun, sayangnya sang Ibu terlalu peka terhadapnya.

"Gak kok," sanggah Naya.
"Keliatan kok kamu bohong." Naya masih berusaha menampilkan wajah yang terlihat baik-baik saja.

"Gak, Mah, cuman tugas kuliah aja lagi banyak, buat penilaian akhir," bohong Naya.
"Santai aja, kerjain sebisa kamu. Ini kan bagian dari proses hidup kamu. Yang penting kamu banyak istirahat." 

Mendengar nasihat ibunya, Naya semakin tak bisa membendung air matanya. Teganya dia membohongi ibunya sendiri. 

Minggu ini teman-temannya sedang berjuang untuk nilai akhir semester. Seharusnya Naya ikut, tapi dia lebih memilih untuk mengundurkan diri.

Siang itu, setelah pertimbangan yang panjang. Akhirnya, Naya mengundurkan diri dari kampus, tidak jadi mengambil cuti. 

Sesuai persyaratan dari kampusnya, pengambilan cuti hanya bisa dilakukan setelah penilaian akhir dan perkuliahan semester ini selesai, sedangkan Naya belum tentu sanggup menyelesaikan semua tugasnya.

"Huu—jangan nangis dong, mama jadi sedih." Sang ibu sedang menenangkan anaknya. Naya mengangguk dan mengelap air matanya. 

"Kamu lagi di mana?" 
"Abis makan, Mah," sahut Naya.

"Hati-hati ya, anak mama." 
"Iya, Mah." 

Ada satu pertanyaan yang masih bersarang di otaknya, yaitu 'Bagaimana reaksi Ibu dan keluarganya jika mengetahui tentang kehamilannya?' 

Panggilan terputus, Naya memejamkan matanya untuk menentramkan hati dan kepalanya. Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini.

×_+

Reno kembali ke restoran, Naya sudah tidak ada di kursinya. Reno bertanya pada pegawai yang sedang mengantarkan makanan dan minuman ke mejanya. Pegawai itu sempat melihat Naya yang keluar dari restoran.

"Mbak ini saya bayar aja, saya harus cari—" Sejenak Reno terdiam, "—istri saya yang keluar tadi." 

Selesai membayar, Reno mencari Naya dengan motornya. Kemungkinan besar Naya belum terlalu jauh dari area restoran tersebut. Belum lagi dia sedang hamil.

Benar, tidak membutuhkan waktu yang lama. Reno berhasil menemukan Naya yang sedang berjalan lurus seperti tanpa tujuan.

"Naik!" pinta Reno.

Naya tidak mendengarkan, dan tetap melanjutkan langkah kakinya.

"Nay, cepet naik nanti gua digebukin Rian lagi." Jika sampai kosan, Naya dalam keadaan yang tidak baik. Reno otomatis akan diinterogasi oleh Rian.

Naya menghentikan langkahnya, lalu menghadapkan tubuhnya ke arah Reno. Menatap tajam laki-laki di depannya.

"Jadi kamu baik sama aku biar gak digebukin sama Rian? Bukan karena kesadaran kamu?" Ternyata laki-laki itu baik kepadanya karena takut dengan Rian

"Naik, Nay." Reno menurunkan nada bicaranya.

"Gak usah aku bisa pulang sendiri." Air mata Naya kembali keluar.
"Anterin aja pacar kamu itu," kata Naya di dalam hati.

Tanpa aba-aba Reno memeluk Naya dari belakang. Tak memedulikan berapa banyak pasang mata yang melihat perseteruan mereka.

"Lu ngeliat gua tadi sama Bianca?" Reno tau apa yang ada di pikiran Naya. Tidak mungkin Naya pergi tanpa alasan dan tiba-tiba marah kepadanya.

"Gua udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama Bianca. Dia juga nyuruh gua buat tanggung jawab ke lu." Reno menjelaskan dengan lembut.

"Sekarang makan dulu, baru kita pulang." Naya luluh mendengar penjelasan Reno. Semoga laki-laki itu memegang omongannya dan tidak menarik kata-katanya.

.

"Pelan-pelan makannya." Dengan sigap Reno membersihkan mulut Naya dengan tisu. 

Saat ini mereka tidak duduk saling berseberangan. Reno sendiri yang berinisiatif duduk di samping Naya selagi makan.

Menurut Naya, ini pertama kalinya Reno bersikap benar-benar lembut kepadanya. Entah kenapa tiba-tiba perlakuan laki-laki itu berubah kepada Naya.

"Melani bilang ke gua, kata dia lu berhenti kuliah. Gak jadi cuti?"
"Ya gimana, baru jalan beberapa langkah kayak tadi aja aku udah kecapekan. Aku juga gak mau banyak pikiran, aku takut 'Dia' kenapa-napa." Naya mengelus perutnya pelan.

"Lu benci gak sih sama gua?" 
"Sedikit." Naya mengilustrasikan kata 'sedikit' itu dengan jempol dan jari telunjuk yang seperti sedang memegang sebuah kelereng.

Reno menghembuskan napasnya sambil terkekeh, kemudian sedikit tersenyum.

"Ih kenapa? Kok kamu ketawa?" Naya mengerutkan dahinya, yang justru terlihat menggemaskan daripada galak.

Reno tertawa lagi. "Gak apa-apa." sambil menggelengkan kepalanya.

"Ih!!" Refleks Naya menekan luka memar yang ada pada perut Reno.

"Awhh—Sakit, Nay." 
"Rasain." Naya melanjutkan kegiatan makannya, dan wajahnya penuh dengan senyuman.

Air di Atas AwanWhere stories live. Discover now