Terlelap

11.7K 593 9
                                    

Esok harinya, sejak pagi Naya menahan diri untuk melihat Reno, menunggu para penghuni kos pergi dulu menjalankan aktivitas masing-masing, terutama Melani dan Rian. Jika mereka berdua ada, sudah pasti Naya akan dilarang untuk menemui Reno.

Naya mengetuk pintu kamar Reno dua kali. Salah satu tangannya menggenggam salep luka memar pereda nyeri.

"Masuk aja gak dikunci." teriak Reno dari dalam kamar.

Naya membuka pintu di hadapannya dengan senyuman. Matanya melihat Reno yang sedang berbaring di kasur.

"Lu ngapain ke sini? Nanti temen-temen lu marah lagi ke gua." sinis Reno. Dia tidak ingin lagi berurusan dengan teman-teman Naya, apalagi Rian.

"Mereka lagi gak ada. Aku ke sini mau obatin kamu." Naya memberanikan diri menghampiri Reno.
"Gausah." tolakan mentah-mentah dari Reno.

Bukannya takut atau pun pergi, Naya malah menarik kasar lengan Reno.
"Argh!! sakit gobl..." Reno tidak meneruskan kata terakhirnya.

"Cepet, mau diobatin gak?" Naya mengerutkan dahinya kesal.

Mau tidak mau Reno membuka bajunya. Perlahan tangan Naya mengoleskan salep itu pada memar di badan Reno.

"Pelan-pelan ah!!"
"Ini udah pelan-pelan. Mangkanya kamu diem, jangan gerak-gerak." Naya semakin kesal.

"Ya, sakit... gimana dong." rintih Reno menahan perih.

Reno melirik Naya yang sedang fokus mengobatinya. Dengan telaten tangan perempuan itu mengusap luka memar di badan dan kakinya.

"Udah selesai." Naya menutup kembali salep di tangannya, lalu keluar kamar.

Selang beberapa saat, perempuan itu kembali lagi. Kali ini dia membawa gelas berisi air dan piring berisi makanan yang telah dia buat sendiri.

"Sekarang makan. Kata Alvin kamu belum makan dari kemaren."
"Gak napsu." tolak Reno.

"Cepet sini aku suapin." Naya berani memarahi Reno.

Setengah terpaksa Reno membuka mulutnya. Dia menolak bukan tanpa alasan, dirinya sangat tidak suka dikasihani.

"Uhukk...hukk..." Naya segera menyodorkan gelas berisi air untuk diminum Reno.

"Kunyahnya pelan-pelan."
"Iya, iya."

Reno hanya perlu dimarahi sedikit agar menuruti Naya atau karena saat ini dia sedang sakit, jadi hanya bisa menurut saja.

Selesai makan, Naya beranjak ingin keluar kamar. Reno segera menahan tangannya untuk tetap di kamar itu. Entah dari mana muncul perasaan kecewa dari dalam tubuh Reno saat Naya beranjak pergi.

Naya seakan mengerti apa maksud Reno, "Iya nanti aku ke sini lagi, aku cuci piring kotor ini dulu."

Selama mencuci piring, Naya salah tingkah dan tak berhenti menampilkan senyumannya. Dia senang Reno menuruti apa katanya, walaupun laki-laki itu masih memberikan reaksi yang menyebalkan.

Ada kalanya otak dan hati saling bersebrangan. Otak dengan segala ego dan gengsinya menyuruh untuk mengusir. Sedangkan hati menolak perintah dari otak itu, dan memilih untuk menahan.

.

Ketika kembali ke kamar Reno, Naya disuruh untuk ikut berbaring.

"Gara-gara lu gua putus sama Bianca." racau Reno sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Kok gara-gara aku?" Sewot Naya.
"Iyalah, dia taunya dari lu." Reno memiringkan tubuhnya menghadap Naya.

"Sekarang gua gak bisa 'main' lagi, lu yang harus gantiin dia." Wajah Reno menyelusup pada leher Naya.

"Jadi kamu pacaran sama dia cuma buat 'main'?" selidik Naya.
"Enggak. Udahlah lupain aja." Reno kembali menatap langit-langit kamarnya. Masih ada rasa sedih karena perpisahannya dengan Bianca, secara tidak baik-baik.

"Skripsi kamu udah selesai?" tanya Naya mengalihkan pembicaraan.
"Udah, tinggal sidang akhir." Saat ini harapan Naya hanyalah Reno. Entah laki-laki itu akan benar-benar bertanggung jawab untuknya atau tidak.

"Kenapa lu masih nungguin gua?" Reno kembali menatap Naya.
"Ya, aku cuma punya kamu." Apa lagi yang Naya tunggu selain Reno?

"Rian?"
"Kenapa Rian?" Naya tahu arah pembicaraan Reno ingin kemana.

"Lu sadar gak sih, Rian tuh suka sama lu."
"Terus?"

"Ya, mungkin aja dia mau nikahin lu." Naya cemberut kemudian dengan sengaja menekan luka memar di tubuh Reno.
"Arghhh!!! Sakit ah!!"

"Rian udah aku anggap sebagai kakak aku sendiri." Saking kesalnya, Naya memposisikan tubuhnya membelakangi Reno.

"Tapi, 'kan belum tentu orang tua lu nerima gua. Mungkin kalo yang kayak Rian diterima."
"Orang tua aku juga belum tentu nerima aku yang sekarang."

Reno terdiam, dari belakang dia memeluk erat tubuh rapuh yang ada di depannya itu. Baru kali ini Reno merasa bersalah setelah mendengar pernyataan dari Naya.

"Gua bakal tanggung jawab, tapi gak tau kapan. Gua juga belum siap." ucap Reno pelan hampir tak terdengar.

"Gak apa-apa aku tunggu sampe kamu siap." balas Naya sambil mengelus tangan yang ada pada perutnya, yang semakin menonjol.

Naya melihat sisi lain dari Reno. Laki-laki itu sangat manja saat dia sedang sakit. Namun, gengsinya masih sangat tinggi.

×_+

Tak terasa Naya dan Reno tertidur bersama hingga petang. Suara motor pun mulai berdatangan. Termasuk Alvin yang pulang membawakan obat yang dipesan Reno.

"Ren, nih obatnya." Alvin menerobos pintu kamar Reno yang memang tidak terkunci.

Teriakan Alvin membangunkan sepasang manusia yang sedang tertidur pulas di kasur. Dia terkejut melihat Reno yang tertidur sambil memeluk Naya.

Naya pun setengah panik, dirinya terciduk sedang berada di kamar Reno dan tidur bersama. Walaupun mungkin Alvin telah mengetahui kenyataannya dengan Reno, tapi tetap saja belum terbiasa.

"Taro aja di meja situ, Vin." Reno berucap dengan santai, mengerjapkan matanya sambil menguap.

Sedangkan teman dan perempuan di pelukannya terjebak dalam kecanggungan.

"Gua taro sini ya." kemudian Alvin pergi, tidak lupa menutup pintu kembali.

"Ngagetin aja dah tuh orang." gumam Reno.

Naya masih menetralkan dirinya dari kegaduhan tadi. Tiba-tiba perutnya berbunyi. Sepertinya anaknya ingin dikasih makan.

"Kamu laper?"
"Hh..Hah??" Seketika otak Naya kosong, bingung bukan karena pertanyaan itu, tapi kata ganti yang diucapkan oleh Reno, yaitu 'kamu'.

Kenapa laki-laki itu tiba-tiba berubah?

"Cari makan yuk." ajak Reno.
"Emang kamu bisa jalan?"
"Gua memar doang kali, bukan lumpuh." Reno mengangkat tubuhnya, kemudian berdiri mengambil jaket dan celana panjangnya.

Ternyata belum sepenuhnya berubah.

"Gak mau cari makan?" tanya Reno pada Naya yang masih tiduran.
"Mau.. mau aku siap-siap dulu." Naya pelan-pelan bangun dari tidurnya.

Saat keluar dari kamar, mereka berdua berpapasan dengan Rian.

Beberapa detik Rian menatap sinis Reno, kemudian beralih menatap Naya dengan senyuman, "Mau kemana, Nay?"

"Aku mau cari makan sama Reno." jawab Naya. Diapun dapat merasakan ketegangan antara Reno dan Rian.

"Yaudah kita duluan ya, Mas." Naya segera menarik tangan Reno, lalu berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil jaket dan dompet.

Air di Atas AwanWhere stories live. Discover now