XXI. Unable To Love

361 23 0
                                    

ps. 2.5k word. tanpa lulus revisi jadi kalau ada typo mohon maklumi.

———

Apa yang terjadi?

Telah berapa lama ia tidur?

Begitu melihat jam di atas nakas, sepasang mata Alda terbelalak tidak percaya. Bagaimana bisa sekarang sudah jam 11 malam? Lalu, Naufal? Kenapa ia masih di kamarnya?

Dan malah bersama Aksa?!

Lalu apa-apaan tangannya ini? Alda menghempaskan tangan yang melilit perutnya dengan kesal, masa bodoh dengan Aksa yang mungkin akan terbangun. Ia bangkit dalam sekali gerak, bodoh karena itu membuat pandangannya gelap sesaat. Refleks, tangannya memijat dahi.

Selang dua detik, lampu menyala terang. Membuat ia mengerjap karena harus menyesuaikan cahaya. Di belakangnya, Aksa bangun dengan mata yang menyipit.

"Ngapain bangun? Belum pagi ini."

"Kamu ngapain di sini?" Tanpa menoleh, apalagi menatap, Alda berujar dengan nada yang cukup dingin. "Harusnya kamu nemenin Mbak Alice aja sana."

"Berhenti libatin dia di antara kita, balik tidur lagi ayo, lo harus banyak istirahat."

"Aku lapar."

Hening. Aksa mengerjap, kemudian beranjak. "Bentar, gue bawain buah."

Alda ingin menolaknya, tetapi belum sempat suaranya keluar, pria itu sudah berlalu dari kamar. Kembali tak lama bersama sepiring semangka yang sudah dipotong dadu.

"Semangka?" Ujung bibirnya tertarik tipis ketika dia kembali naik ke kasur. "Lo suka kan," lanjutnya, lantas menusuk satu potong buah dengan garpu.

Ketika hendak disuapkan pada Alda, perempuan itu justru membuang muka. Menolak dengan tegas. "Biar aku aja," katanya lalu, hendak mengambil alih piring namun Aksa menjauhkannya.

"Gue mau ngerawat lo," ujarnya, yang sontak membuat Alda pasrah. Lebih tepatnya, malas berdebat.

Satu demi satu potong buah masuk ke mulutnya dengan lancar. Rasanya dingin, besar kemungkinan buah ini diambil dari dalam kulkas.

"Buat yang tadi—"

"Tadi Naufal ke sini?" Alda menyela karena malas mendengar omong kosong si pria. "Harusnya Naufal jemput aku tadi."

Atmosfer ruangan berubah sedikit panas. Namun Alda tak menangkap perubahan itu. Pun dengan raut Aksa yang berubah tegang. Pria itu berdeham pelan. "Dia ke sini. Tapi gue suruh balik lagi."

"Kenapa?"

"Buat apa lo pergi sama dia?"

"..."

"Jangan pergi. Gue gak izinin lo pergi sekarang."

"..."

"Makan lagi." Tangannya terulur lagi, tapi bahkan setelah beberapa saat berlalu, Alda tak juga menerima suapan ketujuh ini. Membuka mulutnya saja tidak. "Buka mulut lo," titahnya.

Kepala si perempuan menggeleng pelan. "Udah cukup. Kamu bisa pergi."

"Lo ... ngusir gue?"

"Tolong tinggalin aku sendiri." Suaranya bergetar. Alda membuang muka, terus berbaring menyamping.

"Lo bisa lanjut tidur sendiri?"

"Tiap hari juga aku sendiri, kan."

"Oke, gue pergi. Tapi kalau butuh apa-apa, panggil gue." Aksa diam beberapa saat, dan menyadari tidak ada balasan, ia kemudian melanjutkan. "Denger gak?"

Magic In You | Haechan ✓जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें