XIV. We're Empty

319 30 100
                                    

Naufal: pernikahan kalian belum genap 3 bulan, tapi alda udah keliatan stress berat
Naufal: lo apain dia?
Naufal: apa peringatan gue belum cukup?
Naufal: jangan pernah sakitin alda
Naufal: lo ngerti gak sih?

"Gak jelas," respon Aksa refleks saat membaca keseluruhan pesan Naufal.

Matanya berotasi dengan jengah saat ia memilih mengabaikan pesan si adik. Sepertinya Naufal sedang mabuk sampai mengiriminya pesan aneh. Apa? Dirinya tidak pernah sekalipun menyakiti Alda. Lagipula Alda terlihat baik-baik saja pagi tadi, kata siapa dia stress berat?

Lobby rumah sakit tampak ramai setibanya ia di sana, tidak seperti tadi pagi yang benar-benar lengang. Setelah mengantongi ponselnya, Aksa melanjutkan langkah. Tangan kirinya menenteng tas cokelat muda yang berisi beberapa baju untuk dipakai Alice selama di sini. Disiapkan langsung oleh Alda.

Terdengar tidak mungkin, tapi itu memang kenyataannya. Aksa tidak tahu bagaimana ceritanya, hanya saja saat ia keluar kamar mandi, di atas kasur sudah disiapkan baju yang sedang dipakainya, juga tas yang ia bawa saat ini. Berikut notes yang isinya lumayan menghibur.

Mas Aksa baju di atas kasur itu buat kamu, terus yang di tas ini beberapa baju aku buat mbak Alice, siapa tau butuh. Aku ke toko duluan, maaf nggak pamitan. Semoga cepet sembuh mbak alicenya.

Alda.

Setibanya di depan pintu ruangan, Aksa sudah bisa mendengar tangisan Alice. Memang samar, tapi ini cukup mencubit hati kecilnya. Dari semalam perempuan itu masih belum bisa dikatakan baik-baik saja. Selama menemaninya, Aksa beberapa kali terbangun karena harus menenangkan Alice yang mengigau memimpikan anaknya.

Lalu Alice yang berteriak di detik selanjutnya membuat ia bergegas masuk. Kedua matanya membulat panik saat menemukan perempuan itu menggoreskan ujung tajam pisau ke kulit tangannya.

"Demi Tuhan, Alice kamu ngapain?!"

Walaupun telat, Aksa tetap membuang jauh-jauh pisau yang dipegang Alice saat melihat gadis itu hendak membuat luka kedua di tangannya. Tatapannya lalu tertuju pada aliran darah yang terbuat di pergelangan tangan si wanita.

Dua kali. Dua kali Aksa menggagalkan rencana bunuh diri dua wanita di awal tahun ini. Dua kali jantungnya dibuat hampir lepas. Dua kali dia dibuat menahan napas saking ngilunya.

"Kamu ngapain sih?" Akhirnya ia memilih membentak Alice yang terlihat sesenggukan.

"Let me do this, please ...." lirihnya dengan suara serak. "..., nyawaku pantas buat membayar perbuatanku."

Aksa terlihat frustasi sekaligus jengah dengan kalimat yang dikatakan si wanita. Tapi sebelum dia sempat bersuara, Alice melanjutkan dengan lirihan yang sarat akan penyesalan.

"Seandainya ... seandainya aku nggak menuruti perkataan dia. Aku nggak mungkin kehilangan bayiku ...."

Dahinya mengerut mendengar itu. Tapi Aksa tak diberi waktu untuk berpikir lebih lanjut sebab perempuan itu menangis lebih kencang sedetik setelahnya, persis seperti kemarin. Aksa lagi-lagi merengkuh tubuh mungil itu, memberinya kehangatan karena hanya itu yang ia bisa.

"Semuanya udah pergi ninggalin aku, jadi buat apa juga aku hidup lagi? Akan lebih baik kalau aku ikut dia ...."

"Terus aku? Apa kamu pernah mikirin gimana aku tanpa kamu?" Pria itu memejamkan mata dan jatuhlah setetes air matanya, meluncur bebas melalui pipi dan jatuh tepat di atas rambut Alice. "Kamu nggak sendirian, aku di sini. Aku jadi satu-satunya orang yang nggak akan pernah ninggalin kamu, Al. Ingat itu."

Magic In You | Haechan ✓Where stories live. Discover now