Di Kafe ini Kita Bertemu (Kembali)

Bắt đầu từ đầu
                                    

Tidak ada obrolan lagi. Sepertinya jawaban pendekmu berhasil membuat dia tahu diri. Atau memang kehabisan bahan pertanyaan. Entahlah.

Namun, pemikiranmu ternyata salah. Selang dua menit yang terasa panjang itu, kembali dia mengajukan tanya, yang kali ini membuatmu sedikit bersemangat menjawab.

“Sudah pernah menerbitkan buku?”

“Ya, beberapa. Alhamdulilah. Aku membawanya satu.”

Segera saja kau mengeluarkan sebuah buku yang kau bawa dari dalam ransel, menyodorkan padanya yang tampak sedikit tertarik. Terlihat bibir tipisnya bergerak-gerak membaca bagian belakang buku bersampul merah darahmu. Kemudian tatapannya beralih padamu yang menunggu reaksinya.

“Menarik. Pembunuhan?”

Kau tersenyum senang, meski masih sedikit canggung. Satu hal yang selalu kau tanamkan dalam diri bahwa dilarang tersenyum lepas kepada orang yang baru kenal. Namun, kau tidak bisa menutupi rasa senangmu waktu itu, dan dia tidak bisa menutupi ketertarikannya.

Dan perkenalan singkat di kafe yang belakangan menjadi tempat favoritmu itu, mengubah pandanganmu tentang sebuah pertemuan. Sedikitnya kau percaya bahwa tidak ada yang namanya benar-benar kebetulan di dunia ini. Sebab Tuhan selalu mempunyai jawaban di setiap akhir pertemuan.
Seperti kisahmu kali ini yang berakhir pisah meski kau dan dia tidak bersama.

Sejak hari itu, entah bagaimana mulanya kau dan dia sedikit lebih akrab dari orang-orang yang dia temui hari itu—setidaknya begitulah menurutmu. Intensitas pertemuan kalian menjadi sedikit lebih sering. Bermula dari dia yang mengajak kerjasama, hingga berjalan sama-sama. Saat itu kau tidak pernah berpikir sama sekali bahwa ternyata hal singkat yang terjadi dapat mengubah sebagian pandangan hidupmu. Kau, merasa menjadi sedikit dewasa dari sebelum bertemu dengannya.

Bahwa adakalanya kauharus sekadar berteman atau jatuh cinta saja. Bukan keduanya. Sebab, yang ditinggalkan oleh rasa tak berbalas hanyalah kenangan-kenangan yang ingin kaubilas dengan pertemuan baru.

Dan kau cukup jelas memahami hal ini saat dia tak sengaja atau memang sengaja mengatakan; Aku ingin sukses dengan pekerjaanku.

Hari itu kau merasa menjadi orang paling buruk sepanjang hidupmu. Kau terluka tanpa tahu pasti hal apa yang melukai hati yang kaujaga utuh setelah tiga bulan lalu memutuskan untuk tetap hidup dan bahagia tanpa cinta—ketika kekasihmu terlalu berlebihan dalam hubungan kalian yang berlangsung cukup lama. Kau merasa ada sesuatu yang salah pada perasaanmu sendiri, tetapi kau yakin pasti bahwa tidak menyukainya sebagaimana kau menyukai lautan berwarna keemasan. Sampai suatu ketika kau melihatnya tengah tertawa lebar di layar gawai bersama seorang gadis yang tidak pernah kau temui sebelumnya. Pun di hari setelahnya.

Hatimu, entah mengapa sakit sekali.
Sejak saat itu, kau memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi, tentu saja dengan banyak alasan yang kau buat. Memilih berhenti dari kerjasama yang belum sempat terjadi seutuhnya. Kau dengan caramu mencoba melupakan perjalanan singkat itu. Namun, lagi dan lagi kau malah kembali ke kafe ini. Bersama ingatan yang seolah tidak ingin pergi cepat-cepat.

Bahkan terkadang kau seringkali mendengar suaranya dari titik terjauh pendengaran. Seolah ia benar-benar ada di sana. Atau seolah-olah kau dan dia kembali ke sana. Berbicara banyak hal, hingga lupa waktu kalian sebenarnya tidak banyak.

Dan kau terkejut saat suara itu tepat terdengar dari samping kananmu. Menyebut namamu dengan fasih.

"Aykayat?"

♥♥


Suara itu sangat jelas dan nyata. Namun, kau berusaha menepisnya. Mencoba berdamai dengan keadaan. Akan tetapi, satu sentuhan kecil di lenganmu berhasil membuatmu tersadar. Kau menoleh, mendapati dia tengah tersenyum. Tidak manis, tetapi berhasil membuatmu terhipnotis.

"Apa kabar?" tanyanya. Hal lumrah yang seringkali kau dengar dari orang-orang yang tidak pernah kau temui lama. Namun, bukan itu yang sebenarnya ingin kau dengar dari bibirnya.

"Alhamdulilah." Kau menjawab singkat, tanpa menyuruhnya duduk di kursi kosong di depan atau di sebelahmu. Hatimu sedikit cemas jika perasaan yang kau sendiri tidak memahami dapat membuatmu kembali ke keadaan paling tidak menyenangkan. Hidup tetapi seperti tidak hidup. Seolah ada yang kurang, tetapi tak tahu apa.

Dia mengangguk. Ada binar khawatir di matanya, atau rindu? Entahlah, kau tidak mau berharap lebih akan kemustahilan yang terjadi setelahnya.

"Hanya sendiri?"

Kau mengangguk kecil. Pertanyaan basa-basinya itu sedikit menyebalkan dari perpisahan kalian yang tanpa ikatan.

Lagi, dia mengangguk. Mungkin sedikit bingung mau mengatakan apa. Kau cukup peduli akan hal itu. Maka kau pun bertanya untuk membuat keadaan kalian tidak canggung.

"Pekerjaan? Kali ini seminar apa?"

"Iya, penyuluhan narkoba generasi muda. Masih buka pendaftaran sampai besok, kamu mau ikut?"

"Tidak. Aku kerja beberapa hari ke depan. Tidak bisa libur."

"Masih di tempat lama?"

"Ya, berniat pindah tapi bukan sekarang."

"Rumahmu?"

"Begitulah. Kenapa? Kau ingin membeli rumahku?"

"Bukan. Mau main saja."

"Tidak ada mainan di rumahku."

"Bukan begitu maksudku. Kita bisa—”

"Abang!"

Panggilan singkat dari suara perempuan membuatnya tidak melanjutkan kalimat, tetapi kau tahu. Dia ingin bicara denganmu lebih banyak, tentang impiannya yang tidak bersamamu itu.

Kau melihat seorang perempuan berjilbab modis berjalan cepat menghampiri. Tersenyum ke arahmu dan kau yakin bahwa senyum itu adalah senyum yang sama yang pernah kau lihat di layar gawai beberapa waktu lalu.

Terlihat keduanya bicara sebentar. Kau tidak peduli. Pandanganmu jatuh ke cangkir kopi. Tidak menyentuhnya. Sampai suara itu berkata, "Aku pamit dulu. Aku akan menghubungimu nanti, Ay. Masih nomor lama, 'kan?"

Kau hanya mengangguk tidak berniat menjawab. Kalimat barusan adalah basa-basi yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak ingin menyinggung perasaan orang lain, kau pun sering melakukannya. Kemudian, kau akan berdalih lupa jika orang itu menanyakan kenapa kau tidak menghubungi. Itu hal yang lumrah terjadi di kehidupan ini, bukan?

Sepeninggalnya, kau buru-buru mengambil tas selempang abu-abu monyet dengan gantungan namamu. Berjalan ke luar sebelum dia berbalik menghadapmu atau sebaliknya. Kau hanya ingin pertemuan ini sekadar pertemuan saja. Tidak lebih.
Sebab kehilangan rasa telah membuatmu berubah menjadi orang paling dewasa. Dalam hal asmara.
Gerimis menghilang dari pandangan, dan kau kembali merasa tenang.

♥♥

Bumi Rafflesia, akhir Juni 2019
(Teruntuk senja yang tetap menjingga)

Bạn đã đọc hết các phần đã được đăng tải.

⏰ Cập nhật Lần cuối: Nov 01, 2022 ⏰

Thêm truyện này vào Thư viện của bạn để nhận thông báo chương mới!

Semesta KisahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ