BAB 8. Tukeran (Nomor) HP

172 40 10
                                    

BAB 8. Tukeran (Nomor) HP

Satu kalimat motivasi untuk hari ini. Tolong ditulis di sini, ya💙

🎸

Dari lantai dua aku dapat melihat anak kelas sebelas sedang berolahraga. Hembusan angin pada pagi hari ini membuat rambut panjangku sedikit terbang.

Aku yang sedang memegang notebook bewarna biru seketika ingin menulis sebuah puisi.

Sembari sesekali memandang laki-laki yang sedang sibuk dengan bola volly-nya. Aku menggoyangkan pulpen di atas kertas. Hingga detik kemudian satu kalimat telah kubuat.

Ilham Ardian. Nyatanya nama itu terus menerus membuatku candu. Dari lantai dua saja, pesona miliknya membuatku terus menatap.

Kamu lucu dan jail
Selalu menggangguku di setiap detik
Berlari ke sana ke mari di dalam pikiran
Menuntun arah pandang hingga enggan tuk menoleh

Kamu ....

Kenapa harus kamu?

Si jail dan si kejam

Membiarkan hati ini terus terkurung

Seakan tidak memberikan kesempatan tuk keluar

Aku tersenyum di kala satu puisi yang aku buat ini sudah jadi. Hingga satu senyuman yang sempat terbit ini seketika harus redup.

“Ilham! Sini gak Lo! Balikin sepatu gue woy!”

Dari lantai dua dapat terlihat dengan jelas, Ilham dengan raut wajah yang terlihat bahagia itu sedang di kejar oleh seorang perempuan.

“Ilham! Sini!” teriak perempuan itu kembali, perempuan dengan rambut gelombangnya.

“Lari lo kek siput! Kejar gue kalau bisa!” teriak Ilham yang masih dengan raut wajah yang sama.

Tidak ada lagi pandangan orang yang sedang bermain volly, yang ada hanya sebuah adegan bak drama India yang dilakukan oleh Ilham dan ... aku tidak tahu siapa perempuan itu. Namun, sepertinya perempuan itu adalah kakak kelas.

Saling mengejar di tengah lapangan sana. Eratan pada pulpen semakin kencang.

Mengapa harus sesakit ini? Apakah jatuh cinta memang seperti ini? Kalau kata Rindu, jatuh hati itu indah.

Namun, mengapa aku merasakan hal sebaliknya?

“Mereka cocok, ya?”

Seketika aku menoleh, memandang salah satu teman perempuanku yang bernama Nindi itu dengan terkejut. Perempuan itu menolehkan pandangannya ke arahku sembari berujar, “Menurut Lo gimana?”

🎸🎸🎸

Buku novel yang kemarin aku pinjam sudah selesai aku baca. Alur ceritanya cukup bagus, namun ada beberapa hal yang membuatku tidak ingin menjadi Bumi Shafira si pemeran utama di dalam novel yang kupinjam.

Menurutku, mencintai dalam diam lebih baik, ketimbang mengungkapkan secara terang-terangan. Terlebih lagi ditolak berulangkali. Itu sangat memalukan dan juga menyakitkan.

Jelas aku tidak ingin merasakan hal tersebut. Meski tidak dapat dipungkiri jika menyatakan secara langsung terlebih dahulu itu bisa membuat hati menjadi lega. Ya, setidaknya orang yang kita cinta tahu akan perasaan yang kita alami dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh perempuan yang memiliki wajah tebal dan mental baja.

Perpustakaan hari ini cukup sepi, biasanya perpustakaan akan dipenuhi oleh orang-orang yang hanya ingin mencari Wi-Fi saja.

Di sudut ruangan, aku kembali membaca part novel yang menunjukkan adegan Bumi Shafira yang sedang menembak Kumara Ransi di depan bengkel jurusan Teknik kendaraan Ringan membuatku menjadi berangan. Seandainya saja ... aku menggeleng kepala dengan pelan. hei! Apa-apaan aku ini! Sepertinya aku sudah gila.

Kata Ilham Where stories live. Discover now