XVI. Fallin'

Mulai dari awal
                                    

Satu kebiasaan buruk Alda yang Aksa ketahui adalah ini, dia tidak pernah mengunci pintu. Entah lupa atau memang sudah terbiasa. Bukan hanya kamar, pintu depan saja sering tidak ia kunci. Saat mereka tinggal di satu kamar pun selalu dirinya yang mengunci kamar. Tidak heran jika sekarang pun dia tidak mengunci pintu.

Hal pertama yang Aksa temukan adalah suasana kamar yang temaram. Dia terdiam beberapa saat di dekat pintu, matanya menelusuri ruangan. Ini pertama kalinya Aksa berkunjung ke sini sejak seminggu Alda menetap di kamar ini. Dan terlihat ada beberapa perubahan yang sepertinya Alda ubah sendiri.

Pandangannya lalu jatuh pada sosok perempuan yang memunggunginya di atas kasur. Tanpa dikomando, kakinya melangkah mendekat. Tepat jarak satu langkah dari sisi ranjang, tubuh Aksa menjulang tinggi, terdiam lagi. Sepertinya Alda sudah tidur. Tapi, ada yang aneh. Sepasang mata Aksa memicing saat menyadari badan Alda tampak menggigil.

"Al?" Tidak ada sahutan. Ia memilih naik dan memeriksanya sendiri. "Al, ya ampun badan lo panas banget!"

Suhu tubuhnya jauh di atas suhu orang normal. Bahkan ketika telapak tangannya bersentuhan dengan dahi kecil Alda, Aksa sempat meringis karena suhunya sepanas itu. Beberapa jam yang lalu wanita ini baik-baik saja, suhunya normal walau Aksa menangkap wajahnya lumayan pucat. Tapi kenapa panasnya bisa naik drastis seperti ini?

"Lo demam."

"Mas ...."

Saat ia beranjak dari duduknya dan hendak melangkah, suara serak Alda masuk ke telinga. Aksa menoleh, lalu menjawab dengan nada khawatir. "Iya?"

"..., sakit."

Si pria menghela napas mendengarnya. Dia memilih keluar daripada menanggapi rengekan sang istri, kembali tak berapa lama bersama kotak P3K di tangannya. Ketika menyalakan lampu, Aksa dibuat lebih membelalak saat melihat wajah Alda jauh lebih pucat dari terakhir ia melihatnya.

"Minum dulu." Dia membantu Alda bersandar sebelum kemudian menyodorkan segelas air putih yang ia ambil dari atas nakas. Lantas memeriksa suhu tubuh Alda dan ketika mendapat hasil 40 derajat, sepasang matanya membola panik. "Astaga empat puluh derajat?!" Dia sampai mengucek kedua matanya karena takut salah lihat. Bahkan ketika Aksa memeriksa untuk yang kedua kali, hasilnya tetap sama. "Lo kenapa bisa sepanas ini sih? Tadi perasaan biasa aja."

Tidak ada balasan dari Alda. Perempuan itu memilih memejamkan mata setelah bersandar pada dinding di sisi kanannya. Membuat Aksa kontan mendecak. "Pakai fever patch dulu buat sementara, pagi kita ke dokter."

Sekali lagi, Alda memilih tidak menanggapi karena jujur, seluruh tubuhnya sakit bukan main. Kepalanya pusing dan badannya seperti remuk. Alda tak berdaya.

Perempuan itu lekas meringis saat dahinya ditempeli sesuatu yang dingin. Sangat dingin sampai ia refleks menggigit bibir. Dia sempat ingin melepasnya, tangannya sudah terangkat, tetapi Aksa cekatan menahan lengannya.

"Dingin, pusing," keluh Alda. Suaranya serak.

"Lo harus pakai itu biar panasnya turun."

"Tapi dingin ...."

Aksa menarik napas dalam, berusaha sabar. Ternyata karakter wanita kuat yang selalu Alda tunjukkan tidak lebih dari topeng semata, dia sama saja dengan perempuan lainnya yang cengeng ketika sakit. Tapi walau mendumel seperti itu, Aksa menarik tubuh sang istri hingga bersandar di dadanya. Menarik selimut Alda yang melorot hingga kembali menutupi tubuhnya. "Sekarang udah nggak?" tanyanya.

Balasan dari Alda hanya rintihan super pelan. Badannya tetap menggigil sampai Aksa kembali memangkas jarak di antara mereka. Satu tangannya ia gunakan untuk merangkul bahu Alda, satu lainnya meremas tangannya yang mengeluarkan keringat dingin.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang