Dua Puluh Delapan

162 29 10
                                    

Oh, ya ampun ... Salma tak bisa mengerti lagi, mengapa kehidupannya bisa berubah semakin mengerikan begini? Menikah dengan Abid benar-benar hal paling mengerikan yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Harus dipaksa berpisah dengan kekasih hati, lalu menikah dalam keadaan patah, yang paling parah, mengalami rudapaksa menyakitkan yang tak mungkin bisa dilupakan. Dan sekarang, kebebasan serta kebahagiaan itu benar-benar telah hilang. Suaminya berubah menjadi lelaki paling kejam yang pernah Salma temui.

Awalnya, Salma pikir mungkin saja ia bisa perlahan menerima takdirnya. Ya, meskipun untuk jatuh cinta bagi Salma, kok, sepertinya memang tidak mungkin. Abid itu agak sedikit bodoh, pikirnya dulu. Tapi, paling tidak dia lelaki baik dan bertanggung jawab. Ya, terbukti, kan, dia mampu menjaga Husna kala itu. Hanya saja, ternyata penilaiannya keliru sama sekali. Abid hanya tampak bodoh karena terlalu penurut. Nyatanya, dia tetap selalu ingin menunjukkan taring sebagai suami. Egois! Iya, dia lelaki yang sangat egois, patriarkis yang mengekang dan kasar pada istri.

Sesenggukan, Salma mengobrol dengan Jeni via panggilan telepon. Hari ini ada waktu sedikit lebih panjang lagi sebab Abid sedang sibuk di madrasah. Hari ujian terakhir yang katanya akan diteruskan dengan rapat dewan guru sebagai persiapan acara tutup tahun dua minggu lagi.

Segera setelah Abid berangkat mengajar, Salma mengirim pesan obrolan pada Ishak. Sayangnya, harapannya untuk sekadar bisa mencurahkan isi hati dan mendengar suara sahabat baiknya, harus berakhir dengan kekecewaan. Ishak harus menghadiri acara seminar di kampusnya. Tentunya, Salma tidak boleh mengganggu.

Karenanya, Jeni menjadi opsi kedua. Ia mencurahkan isi hati padanya. Ya, pemilik nama asli Jannatin Naimah itu juga merupakan teman yang bisa mengerti Salma. Tentu saja, porsinya di bawah Ishak. Agak sedikit jauh. Obrolan berawal dari kekesalan Salma perihal larangan Abid perihal rencana Salma mengunggah foto diri. Lantas, melebar hingga masalah lain.

"Ya ampun Salma ... sebegitunya suami kamu?" ujar Jeni dengan gaya blak-blakannya. Ternyata, berteman itu bukan seberapa lama, tapi seberapa mampu memahami. Jeni yang hanya kawan baru, bisa benar-benar paham keadaan Salma. Padahal, orang-orang dekat pasti akan menyalahkan dan cenderung membela Abid.

"Aku pingin sabar, Sis. Nggak ada orang kepingin bandel dan jadi pengacau. Tapi, si Egois Bodoh itu terus saja menekan. Bayangin, sekarang aja, rasanya aku terpenjara banget. Dia bahkan sampe rutin ngecekin HP-ku. Rasanya aku nggak punya privasi" Salma mengambil selembar tisu yang memang ada di sampingnya, di atas ranjang. Lantas, menyeka cairan yang keluar dari hidung.

"Ngecek HP? Sampe segala privasi dilanggar? Ampun deh, Buk. Ini suami apa polisi, sih?"

"Iya. Semua foto selfie-ku dia hapusin. Makanya, nama kontak Kak Ishak juga sudah kuubah. Semua chat sama dia juga terpaksa kuhapus. Padahal ..." Salma menelan sisa kalimatnya. Baginya, riwayat obrolan dengan Ishak pun merupakan penghibur.

"Kamu itu cewek bebas dan suka bertualang. Kalau dikekang gini, pasti bakal ngerasa kesiksa." Terdengar desahan panjang dari seberang.

"Nggak cuma itu, Sis. Dia juga pernah ketahuan motretin diem-diem. Aku nggak berhijab dan lagi tidur, kan? Eh, dia ambil gambar dari belakang. Bukannya, dia sendiri yang ngelarang aku selfie. Terus tujuannya apa coba?" Salma masih dengan isak tangisnya. Ia kembali menyeka air mata dan cairan dari hidung.

"Ih, jangan-jangan ..."

Hening beberapa saat. Bahkan, Salma mematung dengan sebelah tangan masih memegang tisu di depan wajah. Kalimat Jeni yang menggantung, membuatnya penasaran.

"Ah, nggak, deh. Nggak jadi."

"Lah, aku kadung penasaran. Masak, sih, tega sama aku. Udah stres berat, eh ditambahin penasaran." Salma mendengkus. Ia meremas tisu di tangannya dan menjatuhkan tangan pada ranjang, di sebelah tubuhnya.

"Ya, ini, kan, cuma dugaan. Kamu, kan, pernah cerita juga kalau pas awal-awal nikah itu dia maksa buat gituan. Mana sampe empat hari terus-terusan juga. Aku pikir, sebab kalian sekarang udah lama nggak hubungan, bisa jadi ... dia jadiin foto kamu sebagai obyek anu. Tahu, kan? Main solo," Jeni melirihkan kalimat terakhirnya hingga terdengar seperti bisikan.

Salma tersentak. "Hah?! Kayaknya nggak mungkin, deh. Dia itu kolot banget, loh. Patuh lagi. Mister Perfect versi idola anak-anak pesantren lugu gitu."

"Loh, Beib ... seculun-culunnya cowok, kalau udah urusan ranjang, ya, akhirnya pasti pinter. Orang kurang akal aja bisa mupeng, kok, apalagi suamimu. Dia normal, kan?"

Satu sisi hati Salma meragukan persangkaan Jeni, sebab sedikit banyak dia tahu bahwa Abid sangat patuh. Melakukan kegiatan seksual sendiri sepertinya tak akan mungkin ia lakukan. Tapi, spekulasi Jeni, mungkin saja ada benarnya. Abid bukan lagi perjaka kolot, kan? Merrka pernah berhubungan badan.

"Kok aku jadi tambah ngeri, sih, Sis?" Kesedihan Salma berubah menjadi ketakutan dan kecemasan hanya dalam sekejap. Bayangan Abid tersenyum dengan wajah mesum, terpampang nyata di hadapannya.

"Beibku, Sayang ... tenang dulu. Itu hal wajar-wajar aja, kok. Laki-laki butuh penyaluran nafsu itu normal." Jeni berusaha menangkan. Tapi percuma, Salma sudah terjatuh semakin dalam dengan pikiran buruknya perihal Abid.

"Nggak, nggak. Ini nggak bisa dibiarin, Sis. Aku ngerasa kalau-kalau sebenarnya aku ini hanya dimanfaatin sebagai pelampiasan. Secara, ya, dia kan masih cinta sama sepupuku. Duh, gimana caranya biar bisa bebas dari suamiku ini, ya?" Salma menggigit bibir bawahnya dengan dahi mengernyit.

"Bebas dari sumimu? Cerai?"

Salma mengangguk. Ia menjawah dengan ho-oh pendek seraya menggigiti ujung jempol dan telunjuknya. Tangisnya kini hanya tinggal sisa.

"Duh, ribet, kayaknya. Cerai itu nggak gampang, lo. Urusan ke pengadilan itu ribet dan panjang. Soalnya, laki-laki itu sulit ngelepas ..."

Salma mendengarkan penjelasan Jeni dengan saksama. Luar biasa, gadis lajang seperti dia bisa mengerti urusan perceraian dengan sangat detail. Padahal jika diingat-ingat, umur kawan barunya ini hanya terpaut tak sampai setahun lebih tua dibanding Salma.

"Duh, ribetnya, ya? Jangan bikin aku putus asa, dong ..."

"Ya ampun, Sayangku. Maafin, ya? Kamu tambah bingung jadinya," terdengar embusan napas panjang, "daripada ribet dengan masalah kamu, gimana kalau hari ini kita main?"

"Hah?! Main?"

"Iya. Udah empat bulan kamu nggak pernah ke mana-mana lagi, kan? Kita jalan-jalan aja keliling-keliling. Aku jemput dan anter utuh, deh. Gimana? Keluar dari pager rumah, kan, bisa? Aku tungguin deket rumah kamu."

Salma terdiam beberapa saat. Bahkan, sampai Jeni kembali menanyakan kesediaannya, ia masih belum bisa memutuskan.

"... bukannya kamu bilang hari ini suamimu bakal sibuk banget?"

Jeni benar. Hari ini Abid pasti sangat sibuk. Salma seketika mengecek penunjuk waktu, masih jam setengah sembilan pagi.

"Boleh, deh. Aku siap-siap.

"Sip. Otewe."

Titik BalikWhere stories live. Discover now