Dua Puluh Tujuh

172 34 12
                                    

Sekelompok santri putra berseragam sekolah yang tengah berjalan seraya bercakap-cakap, terpecah seketika menjadi dua bagian. Mereka menepi dan berdiri takzim, sedikit menunduk manakala menyadari keberadaan Abid. Membiarkan pengajar sekaligus menantu pengasuh pesantren Nurul Iman itu untuk lewat terlebih dahulu.

Seperti biasa, Abid mempercepat langkah seraya menyapa ramah. Ia tak ingin berlama-lama menghambat kegiatan para santri. Terlebih lagi, ia menyadari bahwa beberapa santri berdiri di tempat yang terkena sinar matahari sore secara langsung. Jika ia tak mempercepat langkah, kasihan mereka kepanasan dan silau.

Tak hanya sekelompok santri tadi, bahkan setiap santri yang menyadari keberadaan Abid, seketika melakukan hal yang sama, memberi penghormatan dan mendahulukannya.

Sebenarnya, yang mendapat perlakuan seperti ini bukan hanya Abid. Setiap ustadz dan keluarga pengasuh, bahkan keponakan-keponakan Salma yang masih kanak-kanak pun demikian. Ini merupakan sebentuk penghormatan dan bentuk takzim terhadap ilmu. Inilah ciri khas pesantren salaf. Pendidikan pesantren salaf menekankan penghormatan terhadap ilmu yang wajib diwujudkan juga melalui penghormatan terhadap segala hal yang berhubungan; semisal buku, kitab, para pendidik, bahkan keluarga mereka.

Langkah cepat Abid seketika melambat dan akhirnya terhenti manakala matanya menangkap keberadaan kurir paket di depan balai keamanan, sekitar dua puluh meter dari tempatnya berdiri. Seorang santri putra senior sudah keluar dari balai dan menerima paket-paket tersebut. Sebuah kotak hitam berukuran besar—sebesar kardus popok bayi, dan beberapa paket lain berukuran kecil.

Setelah kurir paket tersebut berlalu, Abid meneruskan langkah. Ia mendekati santri penerima paket itu.

Remaja berkoko putih dengan sarung hijau itu seketika menghentikan langkah setelah berbalik. Seperti yang lain, ia menunduk takzim, menunggu Abid.

"Ada paket buat Ning Salma?" tanya Abid ketika telah sampai di hadapan santri tersebut.

"Inggih. Ini yang kotak besar," jawab remaja berperawakan kurus tersebut. Masih dengan gestur takzimnya.

"Oh, biar saya yang bawa. Yang lain apa ada punya kekuarga ndalem?"

"Boten wonten. Semua ini paket kawan-kawan santri." Remaja itu menyerahkan kotak besar dibtangannya setelah meletakkan yang lain di undakan balai santri.

Abid menerima kotak itu, lantas berlalu setelah berterima kasih. Paket kali ini lebih besar dibanding yang biasa datang akhir-akhir ini.

Seraya memegang kotak hitam itu dengan tangan kiri, Abid membuka pintu kamar. Ia langsung berucap Salam dan melangkah masuk. Tanpa diduga, seketika, Salma yang duduk berlunjur di ranjang, membuang muka dan langsung mengubah posisi,  membelakangi Abid. Ia berusaha tampak sibuk dengan bukunya.

Sudah empat hari Salma bersikukuh dengan sikapnya ini. Sejak mereka berselisih perihal izin mengunggah foto diri di media sosial.

Jujur saja, Abid merasa tak nyaman. Tapi, sampai saat ini Salma tetap tak mau menerima setiap solusi perihal keputusannya.

"Ning, ini paket sampean."

"Taruh aja di situ," jawab Salma ketus tanpa sedikit pun menoleh, "lagian mau saya buang, kok."

Tersentak, Abid menghentikan langkah. Kotak hitam itu masih di tangannya, belum juga diletakkan. "Dibuang?"

"Ya, nggak guna juga!"

"Tapi—"

Alih-alih, Salma meletakkan buku dengan keras pada nakas seraya beranjak cepat. Ia bersedekap menghadap Abid dengan senyum miring dan dengkusan kecil. "Iya. Mau saya buang. Uang dengan nominal nggak kecil harus berakhir di tempat sampah!"

Abid tak mengerti sama sekali dengan ucapan istrinya. Perlahan, ia meletakkan kotak hitam itu pada ranjang.

"Itu semua produk yang akan saya jual," lanjut Salma. Masih dengan intonasi ketusnya, "Ada dua puluh paket kecantikan. Dan karena sampean nggak ngizinin saya promosi, mending dibuang aja," Salma kembali mendengkus kecil dan membuang muka sesaat, "Puas?!"

"Tapi, saya nggak pernah melarang untuk promosi dan berjualan. Saya hanya melarang untuk mengunggah foto sampean di media sosial."

"Iya. Kalau produk perawatan wajah tanpa foto wajah, terus mau pake foto apa? Foto kaki?" Salma berdecak.

"Bukannya pakai produk saja bisa? Nggak perlu foto sampean sendiri." Abid melangkah, mendekati Salma yang berdiri di sisi ranjang yang berseberangan denganya.

"Stop!" ujar Salma seraya berisyarat dengan kedua telapak tangan di depan tubuh, berusaha menghentikan Abid mendekat padanya, "Kita nggak usah berselisih lagi. Saya bosen dengernya. Emang kita ini nggak cocok sama sekali. Seharusnya, kita nggak pernah menikah!" pekik Salma. Sepertinya ia sudah berada di puncak amarah.

Seketika, Salma berjalan cepat melewati Abid. Ia keluar kamar dengan langkah mengentak. Bahkan, sempat membanting pintu.

***

"Salma nusyuz?" Abid tersentak tak percaya mendengar pertanyaan—yang rasanya lebih mirip pernyataan—ayah mertuanya. Bagaimana Kiai Mahrus bisa tahu bahwa ada ketidakberesan antara dia dan salma?

Rupanya, panggilan Ayah mertuanya ke ruang mutholaah kali ini adalah untuk mencari jawaban atas kecurigaannya terhadap keadaan rumah tangga Abid dan Salma.

Sebab dianggap sangat penting, bahkan Abid sampai harus izin dari tugasnya mengawasi jam belajar santri malam ini.

"Jadi, benar?!" tanya Kiai Mahrus seraya mencondongkan tubuh ke depan.

Abid terdiam beberapa saat. Setelah berusaha menguatkan diri, ia baru mengangguk dan mengiakan lirih.

"Sudah Abuya duga. Sudah berapa lama?"

"Sejak sekitar seminggu yang lalu, Abuya," jawab Abid lirih. Kedua telapak tangannya saling meremas sebab gugup.

Kiai Mahrus seketika meremas ujung handle kursi kayu tempatnya duduk. Buku-buku jarinya memutih sebab kuatnya tekanan. "Ini pasti gara-gara HP!"

Hening beberapa saat, hanya terdengar samar-samar riuh para santri yang tengah berkegiatan.

Satu decakan diikuti gelengan Kiai Mahrus. Dia mendesah berat. "Kami memang curiga sejak Umma kalian memergoki Salma menelepon. Dia masih sibuk terus dengan HPnya?"

Lagi, Abid terdiam memikirkan pertanyaan ayah mertuanya. "Setahu kulo, akhir-akhir ini Ning Salma sudah lebih jarang sibuk dengan HP."

"Kita ndak menemukan bukti jelas tentang apa yang Salma lakukan. Semua hanya persangkaan. Tapi, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa fatal."

Abid hanya mengangguk pelan mengiakan pernyataan ayah mertuanya.

"Mulai sekarang, Nak Mas awasi Salma dengan ketat. Kalau perlu, kirim foto keadaan Salma di kamar kepada Abuya. Jangan sampai kecolongan lagi." Kiai Mahrus mendengkus seraya memejam.

Sementara itu, Abid merasa janggal dengan kalimat terakhir ayah mertuanya. Kecolongan lagi? Apakah itu berarti ayah mertuanya tahu tentang hubungan Salma dan Ishak? Dari mana dia bisa tahu? Apakah ini juga ada hubungannya dengan penyitaan ponsel Salma sebelum mereka menikah?

Jika benar demikian, artinya perjodohan ini memang sengaja dilakukan untuk memutuskan hubungan mereka?

Sejenak, Abid merasa ditumbalkan dalam masalah ini. Hanya saja, seketika ia menepis perasaan itu. Ia mencoba memahami kecemasan dan ketakutan mertuanya. Jika berada di posisi Kiai Mahrus, bisa jadi ia akan melakukan hal serupa. Hubungan Salma dan Ishak bisa menjadi aib besar jika sampai diketahui masyarakat luas. Bahkan, jika mereka menikah pun, cemoohan tak serta merta bisa hilang. Ada kemungkinan kembali diembuskan sewaktu-waktu.

Titik BalikWhere stories live. Discover now