Empat

191 30 12
                                    

Perlahan, Husna mengetuk pintu kamar Salma yang tertutup seraya berucap salam dan memanggil kakak sepupunya.

Hanya sepersekian menit, pintu sudah terbuka dan Salma berdiri di hadapan Husna. "Huft … kok lama banget, Dik?"

"Masih setoran, Mbak Ning. Ngejar ketinggalan," jawab Husna seraya tersenyum tipis.

"Ya ampun … anak baiknya Ammi Djalal …" Salma menepuk pipi adik sepupunya, "nggak pernah lupa buat selalu mencapai target hapalan. Kok, bisa, sih, Dik, sampean itu jaga hapalan Al Quran sekaligus ngapalin Alfiyah. Apa gak ngebul otaknya?" Salma menggeleng-geleng dengan tatapan kagum. Ia membenahi pashmina kuningnya.

Husna hanya tersenyum. Sebenarnya, ia ingin menjawab pujian tersebut dengan mengungkap berbagai fakta dan opininya perihal gadis ceria di hadapannya. Hanya saja, rasanya akan seperti menggarami lautan. Salma bukan gadis kaleng-kaleng meskipun tanpa jejeran piala atau sertifikat penghargaan. 

"Udah, yuk, kita segera berangkat. Cak Mail pasti udah nunggu. Aku gak sabar buat segera nyari hadiah buat si Belo." Salma menggandeng Husna, lantas melangkah bersama.

Hari ini, keduanya berencana berbelanja sekaligus berjalan-jalan ke Kota Pasuruan untuk membeli hadiah bagi Nabila. Ia adalah adik Salma, yang akan memperingati hari lahirnya minggu depan. Kebetulan, adik bungsunya yang baru lima belas tahun itu masih nyantri di Darul Mukhtar, salah satu pesantren hifdzil Quran di daerah Kediri. 

Baru saja keduanya melewati pintu samping ndalem—pintu khusus penghuni dan tamu perempuan, Salma menghentikan langkah tiba-tiba. "Kok, bukan Cak Mail?" Salma tampak terkejut dan ada kekecewaan serta secuil kekesalan di sana.

Husna heran melihat keterkejutan Salma terhadap sosok pemuda berkopiah hitam yang tengah mengobrol dengan Kiai Mahrus di samping SUV merah. Mengapa Salma harus sereaktif ini? Bisa jadi pemuda itu hanyalah santri yang kebetulan dipanggil Kiai. Dan kalaupun ia yang akan mengantar kali ini, apa masalahnya?

Seketika, Salma menarik tangan Husna dan berjalan cepat ke arah ayahnya. "Abuya, kok, bukan Cak Mail?"

"Oh, Abuya ada kepentingan sama Mail. Dia sedang Abuya suruh mengantar sesuatu ke rumah teman Abuya. Ndak apa-apa, kan, kalau Nak Mas Abid ini yang ngantar kalian?"

Kiai Mahrus memanggil pemuda di sampingnya dengan sebutan Nak Mas? Artinya, pemuda itu bukanlah santri biasa.

Salma mendengkus. "Nggih, wis, lah. Mboten masalah." Ia lantas mencium tangan Kiai Mahrus, bergantian dengan Husna. Kemudian, kembali menarik sepupunya untuk masuk mobil. 

Pemuda yang sepertinya cukup sopan itu kini sudah duduk dengan tenang di kursi kemudi. Sementara itu, Husna dan Salma duduk di kursi penumpang tengah. 

Mesin mobil telah menyala. AC pun diatur senyaman mungkin. Setelah Salma memberi sedikit arahan, mobil mulai melaju perlahan. Tiba-tiba, Husna merasakan tangan Salma mencolek bagian paha sampingnya. Ia seketika menoleh dan melihat Salma berisyarat dengan alisnya ke arah bawah. Ternyata, Salma menyodorkan ponsel kepadanya. Ya, Husna memang tak memegang telepon pintar dikarenakan masih berstatus santri di Nurul Iman. 

Segera, Husna mengambil ponsel itu dan tampak aplikasi obrolan telah terbuka pada kontak Salma sendiri yang ia beri nama "Awesome Girl". Itu ponsel kedua Salma yang biasa digunakan khusus untuk kepentingan usahanya mengurus online shop.

Tak lama kemudian, satu gelembung obrolan muncul

Awesome Girl
Jangan terlalu bereaksi. Jangan liatin supirnya. Cuekin aja. Kita ngobrolnya lewat chatingan aja. 
08.47

Husna seketika kembali menoleh yang langsung dibalas Salma dengan isyarat mata membola dan kepala menengleng ke arah Abid. Cepat-cepat Husna mengangguk dan kembali fokus pada ponsel.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang