Delapan Belas

192 33 2
                                    

Pesta telah usai. Insiden pingsannya Husna memang membuat panik, tapi syukurlah bisa diatasi dengan cepat. Gadis lugu itu masih belum benar-benar pulih, katanya. 

Kenyataan bahwa dalam kurun waktu berdekatan Husna harus dirawat di rumah sakit lagi, menghentikan fitnah dan berbagai spekulasi yang bisa muncul. Hampir semua beranggapan pingsannya Husna karena memang ia belum pulih benar. Hanya Abid dan Salma yang jelas berpikiran lain. Semoga tak bertambah dan tetap menjadi rahasia.

Malam sudah merangkak larut. Hingar bingar meriahnya pesta telah surut. Abid tengah mengobrol dengan Kiai Mahrus dan ketiga kakak iparnya di ruang tamu ndalem. Obrolan ringan ngalor-ngidul biasa. 

Sebenarnya, ia merasa kelelahan dan ingin beristirahat. Tapi, demi takzim ia mengikuti ajakan mertua dan ketiga iparnya untuk mengobrol. 

"Akhirnya, Abuya bisa tenang sekarang," Kiai Mahrus mengembuskan napas lega, "sudah ada yang akan menjaga Salma." Dia menepuk pundak menantu barunya yang duduk di sofa paling dekat dengannya.

"Ya, syukurlah," sambung Haidar, putra tertua Kiai Mahrus, "yang menjadi suami Salma ini Dik Mas Abid. Jadi, tidak perlu repot merombak penataan kepengurusan pesantren lagi. Tinggal meneruskan saja."

"Benar. Ndak perlu mencarikan tempat baru karena memang sudah jadi pengurus sejak muallimin," tukas Kiai Mahrus.

"Memang kadang masalah kepengurusan ini agak bikin pusing," ujar Fairuz, kakak kedua Salma. "Seperti di pesantren teman kulo, Abuya, adiknya maksa nikah sama gadis yang sama sekali belum pernah mondok." Lelaki berkacamata dan bertubuh berisi itu mendesah seraya bergeleng-geleng. "Ya, keluarga dan pihak pesantren jadi pusing."

"Terus, bagaimana?" Haidar tampak penasaran. Begitu pula dengan Abrar yang seketika menegakkan punggung. Sama penasarannya.

"Ya, diputuskan harus sekolah lagi di pesantrennya. Mau tidak mau, masuk ibtidaiyah paling bawah. Mau bagaimana lagi, wong awam thothok." Fairuz mendesah, lalu menyeruput kopi hitam di hadapannya.

"Anaknya mau?" tanya Abrar.

"Iya. Mau. Soalnya kata teman saya sudah dibicarakan sejak awal. Tapi jadi masalah lagi karena umurnya sudah dewasa malah sekolahnya sama anak seumuran SD." Fairuz kini bersandar pada sandaran sofa.

"Kok, nggak diajari privat saja sama suaminya, Cak?" tanya Abrar kemudian.

"Sampean pikir, ngajari istri awam banget itu mudah? Jangankan ngajari dari awal mulai nulis pegon sampai masalah tata Bahasa Arab, wong kita sendiri aja, masak iya ada sempat ngaji kitab bareng istri? Itu, kan, cuma ada di film-film." Fairuz menggeleng seraya tertawa kecil yang mengundang gelak tawa yang lain.

"Iya juga, ya, Cak," lanjut Abrar, "suami ngajari istri dengan telaten hanya idealisme dan khayalan semu. Ya benar, sih, ngajarin. Tapi, hanya sedikit-sedikit. Sampai saat ini, saya belum pernah menemukan suami istri yang benar-benar ngaji kitab kayak sorogan di masjid, apalagi kayak sekolah." 

Lagi, seisi ruangan tergelak.

"Anak sekarang," Haidar berdecak," Pergaulan sudah terlampau bebas. Mereka tidak berpikir bahwa menikah itu bukan cuma urusan mereka berdua. Keluarga besar seharusnya juga dipikirkan. Untungnya Salma tidak ikut-ikutan. Padahal, kulo dulu sempat khawatir juga."

Seketika, Kiai Mahrus terbatuk kecil. Begitu pula dengan Abrar yang sontak berdeham, lalu meraih kopi dan menyeruputnya pelan.

Mereka masih larut dalam obrolan hingga malam semakin larut. Abid sudah dihinggapi kantuk yang teramat. Hanya saja, dia tetap berusaha bertahan. Beberapa kali ia menahan kuap dengan telapak tangannya.

Padahal, ia ingin cepat-cepat beristirahat. Acara ngunduh mantu di rumah orangtua Abid di Probolinggo akan langsung dilaksanakan lusa. Karenanya, besok siang, ia dan Salma harus berangkat.

"Sepertinya Nak Mas sudah kecapekan. Kita akhiri dulu mengobrolnya." Kiai Mahrus beranjak dari duduknya. Ia menepuk pundak Abid, "Istirahatlah. Abuya titip Salma." Lantas ia berlalu ke dalam ndalem.

Dan tepukan serta kalimat terakhir mertuanya, tak henti terngiang di telinga Abid. Bahkan, sampai ia tiba di kamar, di mana tampak Salma sudah lelap dalam tidurnya, di balik selimut merah jambu—selimut pengantin—yang masih belum diganti.

Abid menutup pintu perlahan, tak ingin mengganggu istirahat istrinya. Ia membuka songkok hitam dan meletakkannya pada meja rias. Sambil membuka kancing koko bagian atasnya, ia melangkah mendekati ranjang di sisi Salma tidur. Lalu duduk pada kursi yang memang kebetulan ada di dekat ranjang.

Dalam hening ia mengamati Salma. Temaram lampu tidur dinding menjadi satu-satunya penerang kamar. Pendingin ruangan dinyalakan dengan pengaturan suhu yang pas, tak terlalu dingin. Sang istri tampak tenang dalam tidurnya. Rambut lurus panjangnya tampak indah dan legam terawat. Mata dengan tatapan liar membidik itu kini tertutup rapat, tampak damai. Napas teratur dan pelan, menandakan bahwa Salma benar-benar telah lelap.

Cantik, batin Abid. Fakta yang merupakan salah satu karunia baginya. Insyaallah tidaklah sulit menumbuhkan mawaddah nantinya. 

Memang bayangan Husna masih melekat kuat. Tapi, Abid yakin, dengan tekad kuat dalam memegang teguh sumpah pernikahan, cinta itu akan hadir. Bayangan yang tak seharusnya pasti memudar. Bukankah Allah maha membolak-balikkan hati?

***

Salma tampak sibuk berdandan di depan meja rias. Rambut lurus panjangnya dikucir kuda dengan bandana telinga kelinci di kepalanya. 

"Saya ke depan dulu, ya, Ning." Abid yang tengah memasang kancing kemeja berbalik dan menghadap Salma.

"Terus, saya mau ditinggal gitu aja?" Salma menatap tajam ke arah Abid melalui pantulan cermin. "Bisa nggak, sih, nggak keburu-buru da nungguin bentar."

"Oh. Oke." Abid mengangguk pelan.

Apakah Salma benar-benar bisa menerima perjodohan ini? Sejak bangun dini hari tadi, dia bersikap biasa saja. Abid pikir, Salma akan marah atau bagaimana. Tapi, ternyata tidak. Hanya saja, sikapnya datar. Membuat Abid tak bisa menebak-nebak. 

Abid menunggu istrinya selesai berdandan. Tak sampai lima menit kemudian, Salma beranjak seraya melepas bandana dari kepalanya. Ia kemudian memasang hijab.

"Ayo, saya udah selesai," ujarnya seraya menyampirkan sling bag pada pundak.

SUV premium putih yang akan mengantar mereka sudah siap di halaman. Ismail, yang awalnya duduk bersila pada karpet lesehan di teras, seketika beranjak dan membukakan pintu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang ke arah Probolinggo. Abid dan Salma duduk pada kursi penumpang tengah. Hanya Ismail yang mengantar mereka kali ini, tak ada kang ataupun mbak ndalem. Rombongan keluarga Salma akan datang saat resepsi besok.

Untuk beberapa kilometer perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Hanya terdengar deru mobil dan embusan sejuk pendingin ruangan. Sesekali, Ismail terbatuk kecil.

Saat hampir setengah perjalanan, Salma berdeham. "Ehm … Mas," ujarnya. Ia menjeda kalimatnya cukup lama. 

Abid yang awalnya hanya menatap lurus ke depan, seketika menoleh. Salma masih dengan posisinya yang tadi, badannya santai bersandar dengan wajah lurus ke depan. Hanya saja, kali ini tatapannya sedikit turun, tapi mengambang.

"Aku … boleh, nggak, kalau misal pegang HP lagi?" lanjutnya kemudian.

Abid seketika mengernyit. "Pegang HP?"

Apa maksudnya selama ini Salma tak menggunakan ponsel? 

"Iya. Aku mau mengurus olshop-ku lagi." Salma menoleh dan menatap Abid. Tatapan n ekspresinya masih sulit ditebak.

Abid terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, dari pertanyaan Salma ini mengisyaratkan bahwa entah sejak kapan dia tak memiliki ponsel. Dan pastinya, itu karena dilarang.

Jika Abid mengiakan, apakah akan aman? Tapi, jika melarang, apakah tak akan membuat Salma kesal?

Titik BalikWhere stories live. Discover now