Empat Belas

150 30 5
                                    

Untuk kesekian ratus kalinya, Abid mengetikkan nama Husna pada setiap fitur pencarian akun medsos yang ia miliki. Lantas, memeriksa setiap foto profil yang muncul. Setelah berulang kali kecewa, ia tetap tak mampu menemukan Husnanya. Tentu saja, dia hanya tahu nama gadis itu sebagai Husna saja.

Apa mungkin di zaman seperti ini masih ada gadis yang tak memiliki medsos? Rasanya tidak mungkin.

Atau jangan-jangan, salah satu akun medsos tanpa foto diri jelas adalah Husna. Tapi, tak mungkin Abid tiba-tiba berkomentar atau mengirim pesan pribadi. Dia bisa malu. Untuk apa juga ia bersikap konyol begitu? Tak secuil pun hadir keinginan mengobrol secara lebih pribadi. Ia hanya ingin … melihat gambarnya atau kalau tidak, mengetahui kabarnya saja sudah cukup.

Abid masih 22 tahun. Tak pernah terpikir bahwa ia akan menikah muda. Tahun ajaran yang akan datang, ia masih harus mengabdi di pesantren. Mungkin setelahnya, ia akan pulang dan membantu di pesantren ayahnya sembari berdagang dan mengurus sawah. Nanti, jika sudah waktunya tiba—saat ia sudah bisa menjadi imam rumah tangga yang bertanggung jawab dunia dan akhirat—ia baru akan memikirkan pernikahan. Urusan Husna … akan ia serahkan saja pada Allah.

Sepertinya Abid benar-benar bisa menjadi Majnun gara-gara seorang gadis. Bayangan Husna nyatanya tak pernah bisa pergi bahkan setelah berbulan-bulan tak bertemu.

Masih terbayang jelas bagaimana kegugupan dan kecemasan Husna kala itu. Ekspresi cemas yang tiba-tiba berubah senang saat keinginannya terkabul. Atau mimik gugup dan malu-malunya setiap kali mereka berdekatan. Dan sepertinya, penglihatan Abid kala pertama menjadi supir pengganti tidaklah keliru. Husna memang memperhatikannya.

Bunyi ketukan pintu disertai panggilan ibunya membuat Abid seketika meletakkan ponsel dan beranjak. Ia membuka pintu seraya menjawab.

"Ada Kiai Mahrus." Bu Nyai Nikmah berisyarat dengan jempol ke arah ruang tamu.

"Abah Yai?" tanya Abid terkejut.

Perempuan paruh baya yang masih tampak cantik itu mengangguk. "Iya. Baru rawuh. Nyariin kamu. Cepat ke depan."

Abid mengangguk, lantas berbalik untuk mengambil dan memakai peci. Seraya membenahi penampilan, ia berjalan cepat ke ruang tamu.

Tampak senang, Kiai Mahrus bangkit dari duduknya dan menyambut Abid. Bukan hanya menerima salam hormat sang murid, lelaki paruh baya bersahaja itu bahkan memeluk dan menepuk-nepuk punggung santrinya itu. Seolah-olah Kiai Mahrus sangat merindukannya.

Biasanya, setelah memberi salam hormat, Abid pamit masuk dan meninggalkan sang Ayah bersama gurunya untuk bercakap-cakap. Tapi kali ini, Kiai Mahrus tak mengizinkannya masuk.

Demi takzim, ia menuruti. Untuk beberapa saat, setelah seorang santri putra datang menyuguhkan kopi dan kudapan, Kiai Mahrus menyampaikan bahwa kedatangannya bukan hanya bersilaturahmi lebaran biasa, tapi beliau ada kepentingan khusus terhadap Abid.

Kepentingan macam apa sehingga sang Kiai tak bisa menunggu sampai jadwal kembali ke pesantren tiba? Bukankah tersisa hanya seminggu lagi?

"... jadi Nak Mas, aku ini mau minta tolong sekali lagi sama kamu. Ya sama Kiai Muhib juga."

Kiai Muhib menatap putra dan sahabatnya bergantian. Tampak jelas beliau juga penasaran.

"Dengan segala kerendahan hati, aku melamarmu untuk Salma," lanjut Kiai Mahrus yang membuat Abid seketika mendongak sebab terkejut.

Tidak, dia pasti salah mendengar. Ia tak mampu menjawab.

"Bagaimana Kiai?" lanjut Kiai Mahrus pada ayah Abid.

Titik BalikWhere stories live. Discover now