Enam

158 27 8
                                    


Bakda Isya, Kiai Mahrus kembali memanggil Abid ke ruang mutholaahnya. Ada selaksa gelisah dan dilema dalam hati pemuda berambut ikal itu. Bagaimana caranya menyampaikan yang terjadi jika Kiai bertanya? Sebab, tak ada seorang pun yang tak akan curiga apabila mengetahui apa yang terjadi beserta rangkaian peristiwa sebelumnya.

Tapi, meskipun kecurigaan bahwa Salma telah melakukan pertemuan terlarang dengan kekasihnya begitu besar, Abid terus berusaha berbaik sangka. Siapa tahu Salma memang benar-benar membeli pakaian saja di toko lain. Lagipula, gadis yang suka nekat itu menghubunginya menjelang jam sebelas siang untuk makan di warung masakan Arab tak jauh dari tempat mobil terparkir. Dengan wajah ramah dan tak merasa bersalah sama sekali.

"Maaf, ya, Mas ... siapa tadi?" Salma menyambut Abid dan Husna di depan warung.

"Abid, Ning," jawab Abid takzim.

"Iya, Mas Abid, ya?" gadis berperawakan semampai itu tersenyum saangat ramah, "tadi HP saya rupanya nge-drop. Kayaknya terlalu banyak aplikasi terbuka. Maklum, HP kentang. Saya tahunya pas mau ngubungin tadi itu. Keasyikan milih baju, jadi lupa sama adik sepupu sendiri." Salma tertawa kecil, lalu merangkul Husna yang telah berdiri di sampingnya.

Gadis lugu itu tampak tak nyaman. Ia meremas-remas tali tas selempangnya seraya menggigit bibir bawahnya disertai pandangan tak tenang ke arah lantai. Jelas, Husna tak mampu menyembunyikan kenyataan bahwa Salma telah berbohong. Membuat kecemasan Abid terhadap Husna kembali hadir. Bahkan, bertahan sampai saat ini.

Abid hanya inggih-inggih saja tadi. Lagipula, mana mungkin ia akan mendebat atau menginterogasi Salma.

Satu embusan napas cepat sebelum Abid mengetuk pintu ruang mutholaah. Ia berusaha menetralkan perasaannya agar nanti mampu menyampaikan sesuai fakta. Ia tak mau menambah atau mengurangi sedikit pun. Sebab sejatinya, semua hanya asumsi saja.

Kiai Mahrus membukakan pintu segera dan langsung mempersilakan santri kepercayaannya itu masuk. Sangat tampak jelas ada rasa penasaran dan sejumput kegelisahan pada raut wajah sang Kiai. Hanya saja, beliau tampak mencoba tenang dan berbasa-basi sebentar.

Satu dehaman lantas Kiai berkata, "Jadi ... bagaimana jalan-jalannya tadi?"

Ya Allah ... meskipun Abid sudah tahu dan mempersiapkan diri, tapi ia tetap tak mampu untuk tidak tersentak ketika gurunya bertanya.

"Eh ... niku," jawab Abid sedikit gugup, "kulo tidak menyaksikan hal yang aneh dan mengkhawatirkan."

"Alhamdulillah ..." Lelaki penuh wibawa itu mengusap dadanya. Tampak kelegaan pada wajah beliau.

Ya, sang Kiai lega, tapi Abid merasa terbebani. Ia merasa seperti telah melakukan kebohongan besar sebelum menjelaskan semua. "Tapi Yai," lanjutnya segera, "Ning Salma sempat hilang kontak selama sekitar satu jam lebih."

Kiai Mahrus terperanjat dan menatap Abid dengan mata membola. "Hilang kontak ...?"

"Inggih. Menurut Ning, HP-nya drop. Beliau boten sadar karena tengah sibuk memilih-milih pakaian. Jadi, lupa kalau telah meninggalkan Ning Husna."

Kiai Mahrus tampak semakin terkejut. "Tapi, apa dia melakukan hal aneh selama hilang kontak itu?"

Abid menggeleng. "Kurang tahu, Yai. Hanya itu yang kulo tahu. Kulo berusaha mencari, tapi tidak ketemu. Ning Salma yang menghubungi duluan tadi. Selain itu, selama perjalanan berangkat tadi, sepertinya Ning Salma sibuk dengan HP-nya."

Kiai Mahrus memejam seraya merapalkan istighfar berkali-kali. Kedua tangannya mencengkeram dudukan kursi kayu hingga tampak buku-buku jarinya yang berkulit cerah semakin memutih. Kedua lutut yang berbalut sarung pun tampak bergerak-gerak.

Sementara itu, Abid semakin merasa bersalah. Ya, apa pun yang dia katakan, tentu akan semakin membuatnya merasa bersalah. Menenangkan Kiai dengan kebohongan akan menjatuhkannya pada lubang dusta, sementara mengatakan kejujuran malah seolah menjatuhkannya pada jurang kejahatan lain.

***

"Mbak Ning ..." Husna menatap Salma dengan kecemasan membuncah di hatinya. Sebab, sang kakak sepupu tengah berusaha menghubungi kekasihnya. Earphone sudah terpasang di telinga.

"Shhh ..." telunjuk kanan Salma mendarat pada ujung bibirnya, "jangan rame, Dik. Aku cuma mau ngobrol sama Bibi. Nggak ngapa-ngapain, kok." Ia kembali membenahi pashmina crinkle jingganya. "Cakep?"

Husna mengangguk. Ia masih saja cemas. Mengapa ia harus menyaksikan hal semacam ini? Mengapa Salma membuatnya ikut serta?

Tampak pemuda berpeci muncul pada layar telepon Salma, membuat Husna yang duduk di sampingnya semakin gelisah. "Saya ke asrama aja, ya? Mau belajar sama teman-teman." Hanya alasan itu yang mampu Husna utarakan. Pasalnya, jam delapan malam memang merupakan jam belajar santri. Husna mengunjungi Salma pun sebenarnya untuk belajar bersama.

"Aih ... jangan. Udah, sampean belajar di sana, gih. Yang penting jangan keluar. Nanti, Abuya dan Umma curiga kalau aku sendirian di kamar."

Husna hanya mengangguk, lantas beringsut dari ranjang menuju meja belajar tak jauh dari tempat tidur. Ia masih saja gelisah, karena harus menjadi saksi perbuatan terlarang saudarinya.

Husna mencoba menulikan pendengarannya dan berusaha fokus pada buku di hadapannya. Tapi, ternyata ia masih tetap harus mendengar penggalan-penggalan percakapan antara Salma dan Ishak.

"Gini, gini, seumpama aku menggunakan kata tak baku pada narasi, bukan dialog, apakah itu nggak boleh? Padahal, inti dari menulis sebenernya adalah storytelling. Bukankah storytelling ternyaman itu jika dilakukan dengan bahasa bertutur?"

Hening setelahnya, hanya terdengar riuh suara santri perempuan yang mungkin tengah sibuk belajar. Sepertinya, Ishak tengah menjawab pertanyaan Salma.

Husna menoleh dan mencoba memperhatikan kakak sepupunya. Gadis ceria itu tampak mengangguk-angguk serius seraya menatap layar.

Sebenarnya, yang dibicarakan Salma dan Ishak kebanyakan memang seputar pelajaran Bahasa Indonesia-setahu Husna. Mereka suka sekali membahas hal-hal semacam cerita, puisi, atau kadang film. Entahlah, Husna tak benar-benar bisa mengerti maksudnya. Bahkan, ketika mereka bertemu saat di Ampel kala itu, hanya mengobrol ringan bertiga. Kata Salma, itu pertemuan pertama mereka secara luring. Sebelumnya, mana mungkin keduanya bisa bertemu dengan bebas?

"Bibi itu idaman banget, Dik. Dia itu cool dan smart. Kalau ngobrol sama dia, aku nggak akan kehabisan topik. Hobi kami sama. Baca buku. Apalagi ... tahun depan dia akan jadi sarjana," mata Salma tampak berbinar ketika menceritakan kekasihnya, "Jadi ... kalau aku nikah sama dia, hidupku akan sangat menyenangkan. Gak kaku kayak kanebo kering." Itulah salah satu ucapan Salma yang selalu Husna ingat. Salma memang seolah-olah merindukan dunia lain yang dia temukan dalam diri Ishak.

Tapi ... tak bisakah Salma menahan diri dan bersabar? Bukankah yang dilakukannya kali ini malah akan menimbulkan hal yang mungkin bisa menghalangi keinginannya?

Ya, Salma pernah berkata bahwa semua telah ia pikirkan masak-masak. Tapi ... masa depan itu tak ada seorang pun yang mampu tahu bahkan mengaturnya. Apalagi, mereka berasal dari keluarga pemuka agama yang sangat ketat macam ini. Tentu saja bukan hal mudah. Sudah saling mengenal sebelum menikah, pasti akan menjadi alasan bagi Kiai Mahrus untuk menolak Ishak. Bahkan meskipun ia adalah putra seorang Kiai dan sangat alim sekalipun.

 Bahkan meskipun ia adalah putra seorang Kiai dan sangat alim sekalipun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Titik BalikWhere stories live. Discover now