Dua Belas

146 29 2
                                    


"Cak Mas!" suara Gufron dan tepukannya pada lengan membuat Abid tersentak, "Jedingnya sudah kosong, loh!"

Abid hanya tertawa kecil. Sebenarnya, ia malu karena pasti tampak konyol. Ia langsung saja melangkah masuk.

"Ealah, Cak Mas … santri teladan ternyata bisa galau juga." Terdengar cekikikan Gufron mengiringi kalimatnya, bersamaan dengan pintu kamar mandi tertutup.

Cepat-cepat, Abid mandi. Ia tak mau berlama-lama sampai kembali mengundang ejekan. Terlebih lagi, waktu Subuh sudah semakin dekat, suasana kamar mandi Kibriya'—kamar mandi khusus santri tingkat muallimin—sudah ramai.

Sudah hampir dua minggu Kiai tak memanggil Abid, baik ke ndalem maupun menitahkan untuk mengantar Salma. Padahal, Bu Nyai sudah pulang dari rumah sakit sekitar seminggu yang lalu.

Andai tak ada kejadian tempo hari, tentu hal semacam ini akan terasa biasa saja, tidak akan menjadi kegalauan baginya. Tapi, sebab kejadian kaburnya Salma, membuatnya merasa terbebani. Selain itu … sungguh ia tak mampu memungkiri keinginan untuk melihat Husna meskipun hanya sekilas. Paling tidak, tahu kabarnya saja walau hanya dari angin yang berbisik.

Kacau! Mengapa rasanya Abid sebentar lagi akan menjadi pujangga?

Abid keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan bagian belakang rambutnya dengan handuk. Sebelah tangannya membawa gayung berisi peralatan mandi. "Cepet mandi, Fron. Baumu itu, lo. Kuecut!" Ia lantas memercikkan air yang tersisa di tangannya ke wajah Gufron, lalu segera berlari sebelum remaja cungkring itu membalas.

Gufron memang berusaha membalas, tapi tak sampai benar-benar mengejar Abid. Ia lebih memilih segera masuk kamar mandi.

Sebab merasa telah aman, Abid berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah normal. Ia berusaha agar tak tampak galau. Jangan sampai kembali melamun dan ketahuan yang lain. Ia pun bersegera ke Masjid untuk mengaji hingga Subuh tiba. Berharap kegalauannya—baik perihal Kiai Mahrus, terlebih Husna—bisa segera teratasi.

Sebenarnya, sehari setelah kejadian Bu Nyai Saudah dilarikan ke UGD, kedua orangtuanya datang untuk menjenguk. Abid pun dipanggil Kiai Mahrus ke ndalem saat orangtuanya mampir ke pesantren. Tapi, tak ada pembicaraan perihal Salma. Semua hanya pembicaraan mengenai keadaan Bu Nyai Saudah dan hal ringan lain.

Abid memang berjanji kepada Husna untuk tak dengan sengaja melaporkan Salma pada Kiai Mahrus. Ya, ia akan menepati janji itu. Abid tidak akan dengan sengaja melapor. Ia hanya akan menjawab semua pertanyaan Kiai dengan jujur. Dia bukan Qais yang bisa gila hanya karena Laila. Baginya, pengabdian adalah yang utama.

Jamaah Subuh baru usai. Sebagian besar santri sudah keluar masjid. Kegiatan mengaji bakda Subuh akan segera dilaksanakan di kelas masing-masing. Abid masih duduk bersila di tempatnya melaksanakan salat tadi. Tak bergeser sedikit pun. Resah masih menggelayuti hatinya.

"Cak Mas," sapaan tiba-tiba Gufron mengejutkan Abid.

"Oh, sampean, Fron?" Abid mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Gufron yang kini duduk bersila di sampingnya.

"Kok, masih di sini?" Gufron menatap Abid dengan tatapan penasaran.

"Sampean sendiri, kok, malah ngampiri aku? Nggak ngajar? Kelas ngaji sampean bentar lagi harus dimulai, loh."

Sebagai santri tahun terakhir yang tengah menunggu ujian kelulusan dilaksanakan minggu depan, Abid sudah dibebastugaskan dari kegiatan mengajar ataupun tadarus Subuh rutin.

"Ya, gara-gara sampean kelihatan galau. Aku iki khawatir."

"Oalah … aku ini cuma mikirin ujian akhir. Bukan apa-apa." Bohong, yang Abid utarakan hanya kebohongan.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang