EPILOG

699 84 16
                                    

Angin sejuk menyapa di pagi ini, dengan sentuhan lembut menyentuh pipi itu seakan berbisik, “Bagaimana keadaan hati?” Sepertinya dia sudah baik untuk saat ini. Dan Raya sedikit mengerti, mungkin sudah tak ada harapan lagi.

2 tahun sudah berlalu, satu hal yang mampu Raya katakan setibanya di Jakarta adalah,

“Semuanya masih sama.”

Semuanya masih nampak sama. Nampak terlihat baik-baik saja sama seperti dulu. Setelah 4 tahun lamanya, mungkin yang berubah hanya dirinya. Raya yang sekarang jauh lebih kuat ketimbang Raya 2 tahun yang lalu. Bahkan rambut yang dulunya panjang itu kini ia pangkas lebih pendek menjadi seleher.

Setibanya di kota ini, pikiran Raya langsung tertuju pada ‘Dia’. Dia yang sudah membawa warna untuk kehidupannya. Bagaimana kabarnya? Apakah masih sama seperti dulu? Keputusan Raya untuk kembali ke sini bukan perihal mudah. Tapi ia penasaran, apakah cinta yang pernah ia tinggalkan dulu masih ada di sini? Atau turut pindah dan sepenuhnya lenyap dimakan oleh waktu? Raya tak tahu jawabannya.

Maka, di sinilah Raya sekarang berada. Di suatu cafe yang biasa ia singgahi bersama ‘Dia’. Di sudut ruangan ia terduduk sendiri dengan mengaduk asal kopinya. Entahlah, padahal dulu ia tak pernah suka dengan kopi. Tapi di sini, ia mampu berbaikan dengan rasa pahit di kopi tersebut.

Sendiri, tak ada yang menemani. Sahabat yang dulunya tak pernah meninggalkannya sendiri pun kini sudah disibukkan dengan urusannya masing-masing. Chika, gadis itu kabarnya sedang melakukan project di luar kota. Lea, gadis yang selalu memanggilnya dengan sebutan Queen itu pun telah pindah ke kota kelahirannya di New York. Lalu Luna, kabarnya gadis itu masih berstatus sebagai kekasih Juno dan menjalani LDR karena Luna yang sekarang sedang dipindah tugaskan ke Korea. Kini, Raya merasa menjadi satu-satunya orang yang pengangguran di sini.

Netranya menelisik ke seluruh penjuru ruangan. Tanpa sengaja, netranya itu bertemu dengan seseorang yang pernah terlibat dalam masa lalunya dulu. Lelaki itu berjalan dengan santai bersama dengan seorang gadis beramput ikal. Seketika hatinya menghangat.

“Syukur deh dia udah bahagia.”

Perlahan-lahan, lelaki itu berjalan mendekat. Matanya tak hilang sedikitpun memandang Raya. Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya.

“Apa kabar, Raya?”

“Baik.” Raya menjawabnya dengan senyuman. “Lo sendiri?”

Lelaki itu menjawab, “Jauh lebih baik dari 2 tahun yang lalu.” Ia tersenyum getir.

“Syukur deh,” ujar Raya seraya tersenyum.

Benar sekali, Reza yang Raya lihat sekarang terlihat baik-baik saja. Di matanya seperti ada kebahagiaan.

“Duduk aja gak pa-pa.” Raya mempersilahkan Reza untuk duduk bersama gadis yang ia bawa tadi.

“Oh ya, siapa? Pacar?” tanyanya pada Reza, Raya menoleh sekilas pada gadis yang berada di samping Reza.

“Eh, bukan. Dia temen gue. Kenalin, namanya Elena.”

Elena di sana mengulurkan tangannya pada Raya, “Elena.”

“Raya,” ujar Raya tersenyum.

“Gimana? Udah ketemuan sama dia?” tanya Reza yang spontan malembuat Raya membeku.

Hening sesaat, sebelum Raya mulai bergumam, “Kenapa emangnya? Harus banget ketemu gitu?” perempuan itu kembali menyesap kopinya.

“Gak gitu, Ray. Bukannya kalian pisah karena terpaksa kan? Harusnya sekarang adalah waktu yang tepat buat kalian memperbaiki semuanya. Iya kan?”

Ursa MinorㅣLee Haechan ✔Where stories live. Discover now