31 | Selamat tinggal

499 82 18
                                    

"Kuharap tak akan pernah ada kata selamat tinggal di antara kita."

_____oOo_____


Hal pertama yang dilakukan Chandra saat keluar dari kelasnya yaitu menghubungi Raya. Istrinya itu bilang jika sedang menuju tempat Chika yang usai kecopetan. Sudah menunggu lama, tapi tak ada jawaban dari sana. Chandra sedikit kesal jika ponsel Raya tak dapat dihubungi seperti ini. Sesibuk itukah sampai-sampai tak ada waktu untuk mengangkat telepon.

Chandra beralih menelepon Luna. Tak mungkin juga ia harus menghubungi Chika, karena Raya tadi sempat bilang jika seluruh barang temannya itu dibawa semua oleh pencopet. Di seperkian detik, Chandra bisa bernapas lega saat Luna mengangkatnya.

"Hallo, kenapa, Chan?"

"Raya lagi sama lo gak?" tanyanya.

"Nggak kok, kenapa emang?"

"Tadi dia pamit ke tempatnya Chika, katanya Chika kecopetan dan hp sama uangnya dibawa sama pecopet semua. Dan sekarang masalahnya, Raya gak bisa dihubungin," jelas Chandra.

"Chika kecopetan?" tanya Luna di seberang sana. Chandra hanya berdeham.

"Mana ada kecopetan, dari tadi Chika sama gue." Perkataan Luna seketika membuat Chandra tercekat.

"Jangan bercanda lo, tadi Raya bilangnya Chika yang ngomong."

"Kalo lo gak percaya, nih gue kasih hp-nya ke Chika." Luna menyalurkan ponselnya ke Chika agar Chandra bisa berbicara dengan gadis itu.

"Hallo, Chan." Jantung Chandra semakin berdegup kencang kala ia benar-benar mendengar suara Chika di sana.

"Hallo, Cik, lo beneran gak kecopetan?"

"Nggak, gue dari tadi sama Lun--- jangan-jangan---," kata Chika tertahan di ujung sana.

"Jangan-jangan apa?" Chandra semakin panik.

"Jangan-jangan Raya dijebak." Chandra sudah mengepalkan tangannya.

"Kemarin dia sempet cerita ke kita kalo lagi diteror sama orang, gue takutnya itu orang udah ngejebak Raya."

Chandra memutuskan panggilan secara sepihak. Ia sudah siap menghajar orang itu jika berani menyentuh istrinya, bahkan satu helai rambutnya pun tak akan ia biarkan.

***

Terdengar suara hujan nampak turun dengan derasnya di luar. Gelagar petir berhasil membangunkan Raya. Perempuan itu mengangkat kepalanya perlahan, pening yang ia rasakan. Segalanya yang ia lihat pun nampak mengabur. Raya tidak tahu ia berada dimana sekarang. Apa ia sudah berpindah alam? Atau ia hanya bermimpi? Jika benar ia hanya bermimpi, Raya memohon agar secepatnya terbangun dari mimpi ini. Tempat ini sangat menakutkan baginya.

Netranya samar-samar menangkap bayangan yang bergerak menghampirinya. Ah, apakah itu malaikat maut? Raya tidak tahu persis.

"Udah sadar?"

Suara perempuan? Apakah malaikat maut berjenis kelamin perempuan? Raya benar-benar pening.

"Gue udah peringatin lo ya, tapi lo keras kepala sih. Yaudah." Orang itu berjalan memutarinya. Raya heran, apa orang itu tidak pusing harus berputar terus. Raya saja yang melihatnya dibuat pusing.

"Lo inget gak? Gue pernah bilang bakalan ngasih hadiah?" Raya tak menjawab, kepalanya benar-benar sangat pusing.

"Dan ini hadiah buat lo, pinter kan gue ngasih kejutannya?" Setelahnya, orang itu tertawa dengan sangat keras.

Tunggu, suara itu-sepertinya Raya pernah mendengarnya. Tapi dimana? Terdengar sangat familiar. Tapi yang jelas itu bukan suara Luna ataupun Lea. Apalagi suara Chika, jelas bukan. Suara Chika lebih cempreng dibandingkan dengan suara perempuan yang baru saja ia dengar itu.

Ursa MinorㅣLee Haechan ✔Where stories live. Discover now