31. Nyanyian Perkara

20.6K 2.5K 104
                                    

Seharusnya, kedatangan Alvela dan Belia adalah hal yang membahagiakan. Dua soulmate Seni itu akhirnya menyusul dengan membawa banyak euro hasil dari jual mobil ke sesame ekspatriat dan menyewakan apartemen.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Seni pusing!

Setibanya di Jakarta, Alvela dan Belia langsung menuju Pakubuwono, daerah rumah Arayi berada. Mana di situ masih ada Kamila dan Alsha. Kalau ada ribut dan rebut kan Seni yang agak kurang enak.

"Nggak bisa kayak gitu lho, Mas. Kerjaan ya kerjaan, urusan lain ya urusan lain." Alvela menggeram sambil meremas kertas-kertas perjanjian kerja antara agensi dan Seni. Heran beribu heran, sampai sekarang Seni masih kurang paham kenapa Mr. Kahn dengan sangat legowo membiarkan Arayi membeli 60% saham dan menanam investasi di sana.

"Asal kamu tahu, Al. Seni itu masih sah, resmi sebagai istri saya." Arayi pun ikut menggeram. Wajah pria tampan itu tampak memerah karena keputusannya diusik Alvela.

"Mana ada! Ngawur! Kalaupun kamu nggak ngurus perceraian kalian di pengadilan, tapi selama 12 tahun kalian udah pisah ranjang. Kalian nggak pernah berhubungan sebagai suami istri. Secara agama, kalian itu udah cerai! Udah mantan!"

"Kamu yang ngawur!" Arayi mencebik. Lalu membanting gelas hingga pecah ke lantai. Semua orang yang berada di sana nyaris jantungan. Bahkan Belia yang tadinya hanya menguping bersama Bhara spontan berbalik dan memeluk anak yang lebih tinggi darinya itu. Bhara pun lumayan ketakutan.

"Dicopot aja ya airpods-nya." Belia berbisik. Menatap kasihan kepada Bhara yang mukanya memucat. Seni sudah menceritakan segalanya, termasuk Bhara yang ternyata menjadi penyintas tuna rungu. Belia tahu bagaimana rasanya dunia yang begitu kejam, jadi ketika ia melihat Bhara, ia sepakat kepada hatinya sendiri untuk tidak membuat anak itu merasa dikasihani dan dijahati. Alih-alih menyebut hearing aids, Belia lebih nyaman menamai benda itu sebagai airpods saja. "Biar nggak denger apa-apa dulu, Bhar."

Bhara menggeleng. "Nggak mau, Mbak. Aku mau denger mereka ngomong apa."

Belia mendesah. Lalu kembali merapatkan tubuh ke tembok disusul oleh Bhara.

"Kamu kalau mau ngomong soal hukum jangan sama saya, Al." Arayi mengepalkan tangan, serasa ingin meninju manajer Seni dengan keras hingga perempuan itu terkapar. "Kamu lihat UU Perkawinan kalau perlu. Ada pasalnya. Ada Kompilasi Hukum Islamnya. Pisah ranjang di antara saya dan Seni nggak bisa dianggap sebagai perceraian. Kami nikah resmi secara agama dan negara. Saya nggak pernah urus dokumen perceraian dan saya nggak pernah sama sekali ngucapin talak untuk Seni.

"Seni pun pergi atas kemauannya sendiri, juga nggak pernah dia menggugat cerai saya. Jadi, jangan sekali-sekali kamu mendikte saya soal urusan rumah tangga saya sama Seni. Karena sekarang, saya adalah suami Seni sekaligus komisaris di agensi kalian!"

Seni menunduk sambil memijit kening.

"Saya bahkan sudah mengirim leader terbaik saya untuk kolaborasi ngurus agensi bersama Mr. Kahn di Belanda. Nggak akan ada yang ganggu gugat keputusan saya. Alvela, kamu saya kasih tugas dan naik jabatan buat mengelola sekolah modeling di sini. Tapi sebagai gantinya, kamu berhenti jadi manajernya Seni. Karena mulai sekarang, saya sendiri yang akan atur pekerjaan dia."

"What!" Seni dan Alvela berteriak berbarengan mendengarnya.

"How dare you!" Seni berdiri dan mengepalkan tangan di seberang meja, di hadapan Arayi.

"Iya, mas suami kamu, mas berhak tahu dan ngarahin kamu ke arah yang lebih baik. Mas yang akan sortir mana-mana job yang boleh kamu ambil dan ke mana kamu boleh pergi buat bekerja."

"Oo jadi kayak gini cara lo buat ngehancurin hidup gue sekali lagi? Gini?" Seni mendesis. Sementara Arayi berusaha untuk tetap dingin dan tak terpancing emosi lagi.

"Pokoknya kalau Mas tetap pada pendirian Mas, berarti Mas juga harus siap dengan konsekuensi kehilangan Seni sekali lagi." Kali ini Alvela yang mencondongkan tubuh ke depan, menantang keseriusan Arayi dalam mengambil keputusan.

"Dia bukan lagi Seni yang dulu, yang bisa diperlakukan tanpa kamu mikirin perasaan dia, Mas. Kalau kamu emang ngerasa masih jadi suaminya, this is not the way husband treat his wife thou. Seni punya pekerjaan yang harus dia jalani karena itu adalah passion-nya. Kamu mengekang dan membatasi dia, sama aja kayak kamu mau membunuh dia untuk yang kedua kalinya.

"Kamu nggak tahu kan kehidupan dia setelah pergi dari rumah ini dulu kayak gimana? Pernah nggak kamu mikir dua tahun pertama Seni ninggalin rumah ini dia gunain buat apa? Pernah nggak kamu nyariin dia? Nyembuhin dia? Nggak, kan?" Alvela menatap Arayi dengan begitu sengit.

"Al, kamu nggak tahu apa-apa soal saya dan kehidupan saya. Kamu bahkan nggak tahu kalau saya sama menderitanya dengan Seni. Demi mencari dia saya bahkan sampai ke ...." Arayi mengepalkan tangan. Nyaris ia mengungkapkan hal yang selama ini masih ia tutupi. Rahasia dan kehancuran yang hanya Bhara, Alsha, dan Kamila yang tahu.

"Sampai apa? You look so fine! Di mana letak menderitanya?" Alvela menantang kembali. "Aku yang nemenin Seni nangis siang malam, aku yang bawa dia ke dokter, aku yang ada di saat sakit sehatnya dia. Kamu di mana? Di sini, kan? CEO muda yang punya istri dua, tapi ngibulin salah satunya. Lalu ngebiarin istri mudanya pergi, memisahkan anak dari ibu kandung demi bisa ngasih momongan ke istri pertamanya yang mandul!"

"Alvela Zivana, tutup mulut kamu! You are going too far!" Kembali Arayi berteriak.

Ruangan itu terasa semakin panas. Seni duduk kembali dengan napas menderu. Sementara Alvela dan Arayi masih berdiri beradu tatap dengan menyeramkan.

Seni menghela napas dan menatap kedua orang yang berseteru itu secara bergantian. "Gue capek banget loh asli. Gue kira urusan kayak gini udah kelar bertahun-tahun lamanya tapi kenapa sekarang masih-masih aja gitu loh?"

"Sayang." Arayi membalas tatapan Seni dengan sedikit sendu. "Kamu masih mau kan dengerin apa kata mas, Ni? Mas ini masih suami kamu, segala sesuatu yang mas lakuin ke depannya semua demi kebaikan kita."

Alvela mencebik. Merasa kesal dengan drama hidup Seni yang tak kelar-kelar. "Kebaikan kamu sendiri kali! Dasar pria egois!"

"Al, diam, Al!" Arayi menunjuk Alvela dengan telunjuknya. Tanda ia sudah sangat kesal dengan perempuan itu. Seumur-umur ia menjabat sebagai CEO di perusahan turun temurun keluarganya, tak pernah ia marah-marah hingga panas seperti itu. Tak pernah ada direktur atau lini manajer di kantor yang ia hardik sedemikian keras. Baru kali ini ia mengalami emosi yang begitu ganas.

"Balik ke komitmen awal, ya. Kita sama-sama kerja profesional. Nggak ada yang namanya ganti regulasi di tengah kontrak berlangsung kecuali kedua belah pihak sama-sama setuju." Alvela mengembuskan napas, berusaha lebih santai dari sebelumnya. 

***See You Tomorrow***
Day 31

Alhamdulillah masih bisa menyapa. 
Terima kasih yang sudah votes dan komen, ya.

Nah, silakan kupersilakan maki-maki Arayi-nya.

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang