19. Maaf Yang Tak Bersambut

20.7K 2.4K 83
                                    

Sungguh, Seni sudah bertekad tak ingin melanjutkan ini semua. Hanya saja, benar kata Arayi. Saat ini ia belum bisa melakukan apa-apa. Seni harus mengulur waktu. Ia harus mencari jalan itu, tanpa harus menghentikan pengobatan ibunya.

"Sudah saatnya kamu mencari kebahagiaan kamu sendiri, Nak. Ibu akan selalu bangga dan sayang sama Seni. Meski ibu mungkin nggak bisa nemenin Seni lebih lama lagi, tapi Seni harus ingat. Seni harus bahagia. Kamu harus tetap menjadi orang yang baik. Urusan orang yang nyakitin kamu, biarlah itu jadi masalah di antara mereka dan Tuhan. Tapi untuk jadi bahagia dan baik, semuanya adalah urusan kamu."

Seni tersenyum sambil menitikkan air mata. "Ibu nggak boleh pergi. Ibu harus nemenin Seni selama-lamanya. Tanpa ibu, Seni rasa Seni nggak akan bisa jadi baik. Seni masih di sini, masih berusaha berpikiran baik, karena ada Ibu."

Melati menghela napas. Matanya tiba-tiba menjadi lebih kosong. Napasnya pun berembus lebih pelan dari sebelumnya. Seni yang melihatnya segera menegakkan badan. "Bu, Ibu, ibu kenapa?"

Melati mencoba untuk tersenyum. Tangannya terangkat, lalu dibalas genggam oleh Seni yang kini ketakutan bukan main. "Kamu harus jaga diri baik-baik, Nak. Ibu nggak bisa melindungi kamu."

"Ibu, Ibu, nggak boleh ngomong gitu." Seni terisak keras. Kepalanya menggeleng, mencoba menepis perasaan buruknya yang menyergap gila-gilaan.

"Nggak boleh ada yang nyakitin kamu lagi, Nak."

Melati memejamkan mata. Lantas membukanya lagi. Kali ini sudah tidak bisa berkata-kata. Ia hanya menatap sang putri dengan penuh belas kasih.

Sementara Seni mengembuskan napas beratnya. Bukan ia tidak paham. Ia hanya masih ingin ingkar. Tapi tatapan Melati membuatnya harus berbesar hati. Ia memaksakan diri untuk tersenyum. Lalu mencondongkan kepalanya untuk mencium kening Melati. "Ibu, Ibu juga harus bahagia. Ibu adalah ibu terbaik di dunia. Ikutin Seni ya, Bu."

Melati mengangguk perlahan.

Seni mengeratkan genggaman tangannya dengan Melati. "Ibu adalah orang yang baik." Lamat-lamat, Seni menyebut doa. Lalu mulai menuntun Melati untuk melantunkan syahadat.

Seni tersenyum. Begitu pula dengan Melati yang perlahan menutup matanya. Malam itu menjadi terasa begitu lengang. Hanya ada suara tangis Bhara yang masih terdengar begitu lirih dari kejauhan.

Sekali lagi, Seni mencium kening Melati. Setetes air mata jatuh di pipinya. Benar, ibunya telah pergi. Benar, kini ia sebatang kara. Benar, kini ia sudah tak punya siapa-siapa.

Seni menghela napas. Lalu menegakkan tubuh setelah menyelimuti ibunya. "Selamat jalan, Bu."

Perempuan itu bergegas bangkit, membuka pintu dan mendapati ada Arayi yang berdiri di sana.

Arayi mengangkat wajahnya. Lalu menatap Seni yang bersimbah air mata. "Mas mau minta maaf."

Seni mengangguk.

"Mas juga mau minta maaf sama ibu, Ni. Mas janji mulai sekarang, mas akan memperbaiki semuanya. Mas mau janji di depan ibu, mas bakalan jadi suami yang baik buat kamu."

Namun kali ini Seni menggelengkan kepalanya. Lalu tersenyum sambil berkata, "Ibu udah nggak butuh janji, Mas. Ibu hanya butuh pemakaman yang layak."

Tubuh Arayi menegang seketika. Pria itu lantas bergegas memasuki kamar dan menatap Melati yang sudah membisu dengan wajah begitu pucat dan kulit yang mendingin. Ayah dari Bhara itu menggelengkan kepalanya, lalu perlahan memanggil nama Melati dengan lirih. "Bu, Ibu, ini Arayi, Bu. Ibu bangun, ada yang mau Arayi bicarakan sama Ibu. Arayi mau minta maaf sama Ibu. Bu bangun, Bu! Arayi mau minta maaf, aku minta ampun, Bu. Tolong bangun, Bu! Arayi minta ampun, Bu, ampun! Aku salah, Bu. Aku minta ampun, Bu!"

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang