6. Abang dan Ayah Bedebah

22.2K 2.4K 33
                                    

"Lo jadi anak tuh jangan nyusahin doang bisanya!"

Seni remaja hanya bisa menundukkan kepala. Saat itu usianya baru 17 tahun. Baru lulus SMA dan punya kesempatan emas mendapat beasiswa dari sebuah kampus swasta berkat prestasinya selama sekolah.

"Bang, tapi Seni pengen ngelanjutin kuliah, Bang." Seni masih mencoba untuk merayu. Pikirnya, dengan ia menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ia bisa membantu memperbaiki perekonomian keluarga.

Raga berdecak kesal. "Lo mikir dengan lo dapet beasiswa segalanya udah kelar gitu? Terus lo mau maksa-maksa gue cari duit buat lo? Buat ibu lo yang dari dulu cuma bisa nangis itu? Ogah gue, Ni. Ogah!"

"Bang, Seni janji, kalau Seni kuliah dan lulus nanti, Seni janji bakalan bikin Abang bangga. Seni bakalan bantuin Abang memperbaiki finansial keluarga kita, Bang."

"Tolol!" Raga mendorong kepala Seni dengan keras. "Bacot doang emang lo. Capek gue bantuin ibu nyari duit biar lo lulus SMA. Habis lulus bukannya ikutan bantuin gue nyari duit malah sok-sokan mau kuliah. Sana kuliah, tapi jangan pernah minta duit sama gue. Ngerti lo?"

"Tapi, Bang ...."

"Cari uang itu susah, Ni. Lo dapat beasiswa nggak lantas bikin langkah gue ringan. Sementara lo lihat sendiri, keadaan kita, Ni. Gue kerja ke sana ke mari, rela gue jadi apa aja, hidup kita tetap gini-gini aja. Kalau nggak bisa ngebantuin gue, minimal lo jangan nambah nyusahin, deh."

Setelah mengatakannya dengan tega, Raga—pemuda berusia 21 tahun—itu pergi begitu saja. Seni yang ditinggalkan hanya bisa menangis bersama sang ibu yang diam-diam mendengarkan anaknya berseteru.

"Seni."

Melati—sang ibu—merentangkan tangan, lalu memeluk Seni dengan penuh rasa bersalah. Mereka memang hanya hidup bertiga. Saat Seni berusia 10 dan Raga berusia 14, suami Melati memilih hidup bersama istri barunya.

Istri yang digadang-gadang lebih muda dan lebih cantik dari Melati.

Melati hanya bisa menangis saat berkali-kali hatinya disakiti. Puncaknya, dia pun hanya bisa menangis saat Erlangga memberinya tawaran dimadu atau dicerai. Melati sudah mencoba. Selama 8 bulan dia bertahan di dalam satu rumah yang ditempati oleh 2 ratu. Tapi hatinya terlalu sakit untuk melanjutkan.

Dengan berderai air mata, Melati mengira dia bisa menyelamatkan hati dan anak-anaknya. Ia meminta berpisah. Erlangga yang dimabuk asmara pun mengiyakan tanpa banyak tanya.

Talak dijatuhkan. Melati terusir dari rumah tanpa mendapatkan apa-apa karena bersikukuh membawa kedua buah hatinya, Raga dan Seni.

Namun segalanya tak semulus yang ia perkirakan. Semuanya mulai berubah sejak kehidupan selepas keluar dari istana Erlangga, begitu terasa berbeda. Seni mungkin diam saja dalam menyelami derita sang ibu. Tapi Raga menyesal. Raga menyesal ikut bersama sang ibu sehingga membuat hidupnya menderita dan serba kekurangan.

"Ya udah deh, Bu. Seni besok cari kerja aja di Jakarta."

Melati hanya bisa tersenyum. Selama 7 tahun ini, dia memang membawa anak-anaknya tinggal di Bogor. Melati yang dahulunya terlanjur ketergantungan dengan Erlangga hanya bisa menangis dan berusaha sebisanya.

Perkara terlalu nyaman dan dimanja, membuat Melati tak banyak mengeksplorasi diri dan membuka wawasan. Akhirnya, begitu lepas dari zona nyaman yang diciptakan Erlangga, Melati benar-benar menemui kesulitan.

Maka saat bercerai, yang bisa Melati lakukan adalah bekerja serabutan di perumahan-perumahan. Penghasilannya tak seberapa bagi kebutuhan mereka bertiga. Membuat perangai Raga lama-lama menjadi berubah dan tak terarah.

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now