12. Bhara dan Bara di Antara Rasa

19.9K 2.2K 31
                                    

"Bhara mau minum susu?" Seni tersenyum, menatap ke arah bayinya yang makin hari makin pintar saja. Bhara namanya, Abhara Alshad Madaharsa. Usianya sudah hampir 2 tahun, sedang lucu-lucunya, sedang nakal-nakalnya.

Seni bersyukur memiliki Bhara. Meski tak terlalu banyak, tapi Arayi mampu memberi cinta sejak kelahiran Bhara. Lebih sering di rumah. Mau memberi bantuan apabila istri dan anaknya sedang membutuhkan. Tidak 100% menjadi suami dan ayah idaman, tapi Arayi sudah jauh lebih baik.

Arayi juga bahagia. Kelahiran Bhara memberinya semangat tersendiri, memberi kebahagiaan yang tak ia dapat di lain tempat. Dan ia mau tidak mau juga bahagia karena ada Seni yang hadir di hidupnya. Memberinya kesempatan untuk merasakan betapa hebatnya bisa menjadi seorang ayah.

"Minum ama ayah." Bhara jongkok di bawah kaki Seni sambil menyesap empeng.

"Ayah masih tidur. Sama mama aja, ya?" Seni mencoba bernego.

"Bala bangunin ayah ya, Ma." Lalu tanpa bisa dicegah, balita itu berlari pelan dari dapur menuju kamar orang tuanya yang sudah pindah di dekat ruang keluarga. Sementara akses tangga menuju lantai kedua sudah sejak Bhara bisa merangkak dipagari dengan baby gate untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Arayi sendiri yang kala itu memasangnya, membuat Seni terharu sekaligus bahagia.

Tak lama kemudian, sepasang ayah anak itu kembali ke dapur. Meminta jatah sarapan dari Seni dengan semangat.

Semangkuk nasi tim daging sapi untuk Bhara dan sepiring nasi goreng sosis untuk ayahnya.

"Kamu nggak sarapan, Ni?"

Sayangnya, dari sekian perubahan baik yang ada, untuk satu itu, segalanya tetap sama. Arayi tetap memanggil istrinya dengan nama. Bukan dengan panggilan sayang lainnya.

Seni mengangguk sembari duduk di depan Arayi. "Sarapan kok. Mau makan roti aja."

Arayi mengangkat bahu. Lalu sibuk menggoda anaknya lagi. Bhara makan sendiri, meski belepotan tak apa. Namanya juga anak kecil, masih latihan mandiri.

"Aku hari ini mau pergi, ya. Ada urusan kantor. Urgent, Ni," kata Arayi sambil curi-curi pandang ke arah Seni. Seni yang ada di hadapannya kini terlihat semakin dewasa. Sejak melahirkan, paras ayunya terlihat makin segar. Meski kata orang, perempuan kalau habis melahirkan biasanya lupa perawatan, Seni justru beda. Entah ini nyata atau hanya di mata Arayi saja, tapi Seni memang terlihat makin cantik. Tak jarang, hatinya bergetar meski sudah ia tahan-tahan.

"Iya nggak apa." Seni tak protes. Meski ia gagal berpisah dengan Arayi, meski Arayi sudah jauh lebih baik, tapi ia masih berusaha menahan mundur perasaannya. Tak bisa ia kelabui bahwa tiap hari ia makin cinta dengan sang suami. Tapi sebagaimana Arayi yang gengsi, Seni pun masih bergulat dengan rasa mindernya.

"Kamu nggak marah, Ni?" Arayi diam-diam menginginkannya, ingin Seni posesif dan melarangnya pergi, karena sejujurnya ia pun kini betah di rumah. Menatap wajah istrinya lama-lama, bermain dengan putranya sampai malam menyapa.

"Aku marahnya kalau kamu ketahuan selingkuh, Mas." Seni menjawab dengan ringan sambil menelan roti selai cokelatnya.

Sementara jantung Arayi baru saja loncat dari tempatnya. "Kok ngomongnya gitu?"

"Iya aku cuma lagi berusaha jujur aja, Mas. Kamu mau dilarang kayak apa, mau aku marah kayak apa, pasti akan tetep pergi, kan? Jadi buat apa aku marah. Kecuali untuk satu hal itu, Mas."

"Aku nggak selingkuh." Arayi berdeham. Memang dia tidak selingkuh. "Beneran pergi buat kerja. Toh aku kerja selama ini juga buat siapa lagi kalau bukan buat kamu dan masa depan Bhara." Untuk soal yang kerja, barulah Arayi dusta.

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now