21. Siapa Yang Teriris, Siapa Yang Menangis

20K 2.3K 113
                                    

"Cinta kamu bilang? Cinta apa? Cinta apa, Ray? Cinta yang kayak gimana maksud kamu, ha?" Kamila berseru menghardik. Bahkan menunjuk dada sang putra semata wayang dengan begitu dongkolnya.

"Kamu larang Seni masak, kamu larang Seni merawat anaknya sendiri, kamu nggak ngebolehin dia menjalani hari-hari yang dia mau. Dia itu manusia, Seni itu istri kamu, Rayi! Bukan penjahat yang harus kamu hukum seperti itu!"

"Aku cuma mau Seni baik-baik aja, Ma. Aku nggak mau Seni kecapekan. Aku yang minta Alsha untuk mengurus rumah ini. Supaya apa yang dibutuhkan Seni tersedia tanpa harus dia yang turun tangan. Kurang apa lagi aku, Ma? Alsha juga istriku, tapi aku menyuruhnya untuk melayani Seni. Semata-mata karena Seni juga sepenting itu buat aku sekarang!"

Alsha pun menunduk. Memang benar adanya. Sejak semua rahasia terbongkar, sebenarnya Arayi tak lagi sama dengan Arayi yang dulu. Mengapa Arayi terlihat bahagia, itu hanya saat sedang ada Bhara di dekat mereka.

Tapi jika hanya sedang berdua, yang Arayi ceritakan hanyalah rasa takutnya akan kehilangan Seni dan Bhara.

Setelah itu, Arayi akan meminta macam-macam. Memintanya untuk menjadi kakak madu yang baik, memintanya merawat Seni, melayani, dan menyediakan semua yang Seni butuhkan termasuk mengasuh Bhara agar Seni memiliki banyak waktu untuk istirahat.

Alsha sadar. Dirinya kini tak seistimewa dulu di hidup Arayi. Dirinya kini hanya teman berjuang Arayi untuk mempertahankan Seni.

"Kamu tahu nggak, Seni itu sekarang kesepian, Ray. Kenapa kamu nggak peka-peka dan malah lebih sering menghabiskan waktu sama Alsha? Seni itu butuh Bhara dan kamu!" Kamila marah, mendorong tubuh Arayi lalu pergi dari ruangan itu dengan tak kalah terluka. 

"Mama bener, Mas," kata Alsha begitu Kamila menjauh dari ruangan. "Kamu salah strategi. Kamu nggak bisa mempertahankan Seni dengan cara memperbudak aku."

Arayi menghela napas, lalu menoleh ke arah Alsha dengan gamang. "Apa kamu bilang, Al? Aku memperbudak kamu? Kamu ngerasa aku perbudak?"

Seperti biasa, wanita itu hanya bisa menundukkan kepala dalam diam. Sementara Bhara dalam gendongan masih sedikit terisak ketakutan.

"Aku setuju nikah sama Seni di saat aku berusaha setia dan menerima kamu apa adanya itu karena kamu yang suruh! Aku melakukan hubungan suami istri  sama Seni di saat aku berusaha untuk tetap jadi milik kamu satu-satunya juga kamu yang suruh! Kamu juga yang minta aku supaya cepet-cepet punya anak. Jangan ngerasa jadi yang paling sakit di sini, Al. Aku juga! Pikirin aku juga! Pikirin juga seperti apa rasanya jadi aku, Al!" 

Arayi mengepalkan tangan. Merasa bersalah sudah sekeras itu terhadap Alsha, wanita yang sedari remaja sudah dia ikuti segala kemauannya.

***

"Ni, aku kangen makan masakan kamu." Belajar dari perkataan mamanya, Arayi kini mendekati Seni yang sedang sibuk bercocok tanam di kebun belakang rumah.

"Kenapa? Ada apa sama masakan Mbak Alsha?" Seni menimpali tanpa berpaling dari tanaman hidroponiknya.

"Aku mau makan masakan kamu aja. Malam ini, masak buat aku, ya."

Arayi tersenyum sambil menatap punggung Seni. Tak berani menyentuh, meski rasanya rindu begitu bergemuruh.

"Jangan. Sebenernya, makanan yang kamu makan barusan buat sarapan, itu masakan aku." Seni menepuk tangan, meluruhkan kotoran yang menempel di sana. "Kamu kan pernah bilang, kamu gampang bosen. Nggak mau kalau makan masakanku tiga kali sehari."

Arayi terdiam. Teringat benar kalau ia pernah mengatakan hal seperti itu kepada Seni di awal mereka menikah dulu.

"Nggak mau tahu, malam ini, kamu yang masak. Aku berangkat kerja dulu. Alsha juga mau nengok toko bunganya. Kita berangkat bareng. Kamu nggak apa-apa, kan?"

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now