Bukan Drama

205 53 5
                                    

Ojek yang kutumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan rumah tua yang cukup luas. Tempat Esa bekerja, mulai dari produksi, gudang, kantor, semua dilakukan di tempat yang sering Esa sebut warehouse ini. Lokasi ini lumayan jauh dari jalan raya, karena itu Esa bisa menyewanya dengan harga murah.

Setelah membayar ongkos aku bergegas memasuki rumah yang ramai dengan suara mesin jahit serta lalu lalang karyawan. Pada salah satu karyawan kutanyakan keberadaan Esa. Ia kemudian menunjuk salah satu ruangan dengan pintu terbuka, Esa berada di sana, berdiskusi dengan seseorang.

Fokusku langsung teralih pada deretan sample produk yang terpampang nyata begitu aku memasuki ruangan. Samar-samar kudengar Esa berdebat masalah supplier bahan. Aku yakin dia nggak sadar keberadaanku. Sementara aku juga jadi hilang fokus dan malah melihat-lihat sampel produk baru Esa. Deretan blouse dengan warna-warna pastel mencuri perhatianku.

"Kay? Kay! Dari kapan di sini?" Tanya Esa masih duduk di kursinya, menatapku sambil tersenyum.

"Baru aja kok. Produk baru, Sa?" tanyaku masih tak bisa memalingkan mata dari warna-warna cantik itu. Dasar wanita. Tanganku sibuk meraba tekstur bahan blouse itu. Halus, sepertinya sangat nyaman bila dikenakan.

"Iya. Buat photoshoot besok. Bagus, kan?" Esa tidak butuh jawaban. Ia tahu produknya selalu berkualitas.

"Cantik-cantik warnanya." Kataku sumringah.

Karyawan yang tadi berbicara dengan Esa pamit, sehingga aku bisa duduk di kursi yang ia tempati tadi, berhadapan dengan Esa.

Meski sempat gagal fokus gara-gara lihat baju. Kini aku sudah ingat alasanku kemari.

"Sa... Cowok yang dijodohin ke kamu itu namanya siapa?" Tanyaku cepat.

Esa mengangkat alisnya sejenak tapi kemudian berkata santai, "Si Tata?"

Oh iya Tata, dulu Esa sering menyebutnya begitu.

"Nama lengkapnya siapa?"

"Siapa ya... " gumam Esa sambil merapikan berkas-berkas yang ada di mejanya. "...lah! Kok aku lupa, ya. Duh Tata siapa sih? Kalau di rumah panggilannya Tata gitu."

"Kanasta Aldari?" Tebakku.

"Nah iya itu! Bener!" Mata Esa menatapku dengan berbinar, tapi sesaat kemudian mengerjap bingung," Lha kok kamu tau, Kay?"

Aku menghela napas.

"Jadi yang kamu bilang rencana buat gagalin perjodohan kalian itu dengan mengirim Bara sebagai pacarmu?"

Esa makin membulatkan matanya. Ia hanya sempat mengatakan rencananya, tapi tidak mengatakan siapa yang menjadi tumbalnya. Aku tidak menyangka bahwa itu adalah Bara.

"Kok kamu tahu?" Esa menatapku horror. Jangan sampai dia berimajinasi yang enggak-enggak, ya.

Akhirnya aku menjelaskan situasi kami tadi, serta pertemuanku dengan Mas Kanasta secara singkat sebelumnya. Aku sudah memberitahu Esa bahwa mungkin ide recehnya itu sudah mental sejak pertama kali Bara datang dengan tergagap. Kurasa Mas Kanasta cukup pintar untuk bisa membaca akal bulus Esa kali ini.

"Habisnya dia juga nyebelin. Mamah tuh masih ngotot mau jodohin aku sama Tata. Mamah nggak terima penolakanku kecuali Tata yang menolak. Masalahnya Tata juga diem-diem aja. Nerima enggak, nolak juga enggak! Sok ganteng! Sok penting! Huh!" Wajah Esa tertekuk kesal.

"Lagian kenapa kamu panggil dia Mas Kanasta Mas Kanasta segala sih? Kebagusan! Panggil aja Tata kenapa?" lanjutnya lagi.

"Nggak sopan ih! Dia kan lebih tua." kilahku, padahal sih enak juga memanggilnya Mas. Auranya Mas-Mas banget, "Kamu tuh yang harusnya panggil Mas. Kan calon suami." godaku sambil terawa geli.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Where stories live. Discover now