Ayah Ibu Pengin Mantu

286 52 0
                                    

Meskipun di acara resepsi aku berhasil kabur, tapi tentu saja tidak di rumah. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan topik yang paling ingin dihindari jomlo sepertiku.

Sepulang dari resepsi, Ibu langsung menyeretku ke kamar. Beliau kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya.

"Tadi... Dara ngasih ini. Katanya buat kamu." Kata Ibu pelan. Matanya berbinar dan memegang benda itu dengan hati-hati sekali.

Astaga! Aku cuma melongo hebat ketika Ibu mengeluarkan rangkaian bunga melati yang tadi nemplok di kepala Dara.

"Katanya biar kamu cepetan dapet jodoh." Ujar Ibu lagi sambil berusaha meletakkan bunga itu di tanganku.

Kuterima rangkaian bunga itu sambil menghela napas pasrah. Oh jangan tanya berapa banyak koleksi bunga melatiku setelah dari kondangan. Kalau boleh nih, pengin kutuker pakai angpao pengantin aja. Aku nggak butuh bunga melati, aku butuhnya duit! Jiwa matreku meronta-ronta.

"Katanya kalau mau dapat jodoh, kembangnya nyolong, Bu. Emang ngaruh kalau dikasih?" kataku. Meski sejujurnya aku juga nggak percaya hal-hal begitu sih, tapi ini usaha biar aku nggak dipaksa lagi menyimpan bunga itu seperti biasanya.

Lagipula urusan bunga melati ini, mau nyolong kek atau dikasih langsung sama pengantinnya bener-bener nggak ngaruh sama sekali. Aku sudah membuktikannya kok. Terhitung sejak aku lulus kuliah beberapa tahun lalu, setiap bunga melati yang dicolong Ibu-Ayah atau saudara-saudara buatku, mungkin kalau dikumpulin bisa kali buat nyekar satu TPU. Tapi sampai sekarang nggak nikah-nikah juga tuh aku. Masih menyandang status jomlo.

"Tenang aja, Kak. Ibu juga punya rencana cadangan kok." Kata Ibu cepat. Aku mengerutkan dahi, urusan bunga melati aja pakai rencana cadangan segala.

"Kalau itu dikasih," Ibu menunjuk bunga melati yang ada di tanganku.

"Kalau ini ibu nyolong sebelum dikasih." Kali ini ibu menyerahkan segenggam melati ke tanganku. Astaga! Punya Ibu kok ya kelewat kreatif.

"Ih Ibu, nyolong dosa lho, Bu." Balasku memakai senjata terakhir.

"Ya kan buat kebaikan, Kak."

Aku mencebikkan bibir tanpa terlihat oleh Ibu. Kebaikan apanya...

"Oh iya, ibu tadi dapet pisang juga. Tahu kan yang di depan itu. Ini pas dapet pisangnya yang dempet lho Kak. Biar cepet dapet jodoh." Ibu kembali menyerahkan pisang dempet padaku.

Aku cuma mendengus. Ibu mah apa sih yang enggak dikaitkan sama jodoh. Dari yang masuk akal sampai yang nggak masuk akal kaya gini. Segala pisang dempet dikata biar cepet dapet jodoh. Apa yang dempet dibilang cepet dapet jodoh. Pernah satu kali, ketika itu Ibu mengunjungi tetangga yang baru pulang haji, bersama dengan ibu-ibu yang lain. Memang sudah jadi kebiasaan di perumahan tempat kami tinggal seperti itu. Nah, ketika dihidangkan kurma yang konon dibawa langsung dari Mekkah, serta merta Ibu langsung mencomot kurma yang dempet. Dan dibawa pulang untuk kumakan. Padahal kata Bu Haris, salah satu tetangga yang akhirnya bercerita kepadaku kejadian yang sesungguhnya, kurma itu sebenarnya sudah di tangan bu RT, hendak dimakan, tapi dengan kejam Ibu memintanya untuk dibawa pulang dan diberikan kepadaku. Ya ampuuun... malunya tujuh turunan.

Untuk urusan jodoh ini, bukan cuma Ibu yang rempong, Ayah pun nggak kalah heboh. Hampir di setiap pengajian yang diadakan tetangga yang akan berangkat umroh atau Haji Ayah selalu menitipkan doa untuk jodohku. Bahkan di pengajian tarawih! Iya, pakai pengeras suara yang bisa didengar satu RW itu, Ayah pernah meminta doa untuk jodohku.

Maluuuu...pake banget! Untungnya para tetangga maklum, malah turut mendukungku. Aku pun tahu betapa Ayah dan Ibu amat menginginkanku menikah. Bahkan sejak aku lulus kuliah.

Jodoh Juseyo {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang