Curiga

230 47 0
                                    

Hari ini aku sudah ijin bila mungkin sedikit terlambat. Perjalanan dari rumah ke sekolah cukup memakan waktu, apalagi kalau jam berangkat kerja begini. Macetnya saja bisa setengah jam bahkan lebih, meski aku menggunakan sepeda motor. Karena alasan itu juga aku memutuskan untuk kos di dekat sekolah setahunan ini. Alasan lainnya karena aku ingin mengurangi intensitas pertemuanku dengan Ayah dan Ibu yang selalu merujuk pada urusan jodoh.

Untungnya jalanan cukup lancar hari ini, jadi aku aku hanya terlambat beberapa menit saja setelah Pak Eddy—sang kepala sekolah sudah memandu apel pagi. Setelah apel selesai, aku mengecek ponsel sejenak untuk sekadar tahu ada pesan yang terlewat atau tidak. Meskipun ya... tentu saja tidak ada. Memangnya siapa yang mau mengirim pesan pada jomlo yang satu ini, kecuali nomor baru yang menawarkan pinjaman online. Rasanya isi kotak masuk pesanku didominasi pesan dari bank, operator, dan pinjaman online. Kadang-kadang, saking sebalnya sering mendapat SMS tawaran pinjaman online, ingin sekali aku membalas...

Udah kaya, nggak butuh riba.

Tentu saja aku tidak sekaya itu, tapi paling tidak, gajiku cukup untuk memenuhi kebutuhan dan liburan. Nggak perlu sampai pinjam lah. Lagipula, kalau dipikir-pikir para operator pinjaman online ini pada dapet nomorku darimana, sih? Kalau operator pinjaman online aja bisa dapet nomorku, kenapa pula jodohku susah dapat nomorku, huh?

Aku tersenyum geli dan geleng-geleng kepala sendiri dengan pemikiran absurd yang tiba-tiba mampir itu.

"Pak Roni lho... kirain habis kencan sama siapa gitu. Ya... mana tahu kan... lagi dekat sama salah satu guru di sini. Bu Kay atau Bu Salma gitu..."

Lamat-lamat kudengar namaku disebut dalam pembicaraan seseorang. Ada Bu Lia, Bu Agnes, dan Bu Indah yang berjalan di depanku. Wooo...wait! Kenapa juga aku jadi bahan gossip mereka, padahal jelas-jelas aku berjalan mengekori mereka menuju ruang guru. Apa mereka sengaja?

"Kalau Bu Kay sih kayanya enggak ya... apa nggak terlalu tua? Bu Kay mah cocoknya sama Pak Lukito." Timpal Bu Agnes.

Hei... memangnya anda siapa ngatur-ngatur hidup saya? Ini mereka sadar atau enggak sih kalau yang lagi diomongin tuh di belakang mereka. Definisi ngomongin orang di belakang yang sesungguhnya.

"Ehem! Bu ini yang diomongin bisa denger lho, Bu." Aku sengaja menegur mereka.

Bukannya merasa tidak enak, ketiga ibu muda itu malah tertawa senang.

"Memang sengaja biar Bu Kay denger ih." Kata Bu Lia sambil menggamit lenganku, menyejajarkan posisiku dengan mereka.

Oh ya? Bukan karena kebetulan kepergok? Batinku sinis.

"Jadi gimana, Bu? Mau sama Pak Roni atau Pak Lukito nih?" goda Bu Indah.

Ya ampun pilihannya nggak ada yang bikin lebih bingung lagi apa ya? Tentu saja tidak ketiganya. Roni, si guru honorer baru itu masih terlalu muda. Baru 24 tahun, tampangnya sih lumayan tapi pendiam dan agak-agak geek gitu. Bukan tipeku banget.

Pak Lukito? Astaga, guru senior yang satu itu memang ramah dan baik pada semua orang. Aku juga sangat menghormatinya, meski begitu tentu saja aku tidak berniat menjalin hubungan asmara dengan orang yang seumuran dengan Omku.

"Iya nih, di sini yang jomblo kan tinggal Bu Kay, Bu Salma, Pak Roni, sama Pak Lukito. Pas nih satu-satu! Hihihi." Bu Lia kembali menimpali.

Mohon maaf ini urusan jodoh apa main puzzle? di-pas-pasin segala.

"Buibu, Ini urusan jodoh saya biar Tuhan aja yang urus. Buibu nggak usah. Berat. Nggak akan kuat. Kurang kerjaan amat. Bantuin saya bikin soal UAS aja gih kalau gabut."

Ingin rasanya aku membalas obrolan mereka dengan kalimat itu. Tapi tentu saja kalimat itu hanya cukup berputar di kepala, tidak sampai keluar di mulut. Bisa-bisa aku jadi bahan gosipan tujuh turunan, tanjakan, dan tikungan kalau sampai kalimat itu benar-benar keluar dari mulutku.

Akhirnya aku tak membalas apapun perkataan Bu Lia, Bu Agnes, maupun Bu Indah. Meninggalkan mereka adalah keputusan bijak, mendekati Bu Agustin yang sibuk membawa dokumen-dokumen dengan dalih membantu beliau. Entah habis ini bahasan apalagi yang dipilih mereka untuk gossip selanjutnya. Aku memilih tak peduli.

***

Aku merapikan beberapa dokumen agar meja terlihat bersih sebelum aku pulang. Kantor sudah sepi, hanya ada Pak Sandi dan Pak Cahyo yang masih sibuk di mejanya masing-masing. Aku pamit seperlunya pada dua guru senior itu dan keluar dari kantor.

Area sekolah juga sudah mulai sepi. Anak-anak sudah dijemput orangtuanya, banyak juga murid yang jalan kaki sendiri, naik sepeda, atau naik angkot. Hanya tinggal satu dua anak yang masih berkeliaran di lapangan atau jajan di depan sekolah karena masih menunggu jemputan.

Aku menghidupkan mesin motor dan mengemudinya sampai depan gerbang sekolah, niatku sudah bulat sejak awal. Jajan dulu sebelum pulang. Bayangan es cincau dan telur gulung di depan sekolah sudah menari-nari sejak tadi. Bisa kunikmati sambil istirahat dan menonton reality show di kos nanti.

Masih dari atas motor, aku memesan es cincau dan telur gulung untuk dibungkus. Sambil menunggu pesanan dibuat, aku melihat sekeliling. Saat itulah aku melihat Rayhan, salah satu anak kelas 3—yang mana aku jadi wali kelasnya—sedang mengobrol dengan pria asing. Maksudku, aku belum pernah melihat sosok yang tampak menonjol itu di area sekolah sebelum-sebelumnya. Apalagi bersama Rayhan. Aku mengamati dari jauh. Pria itu memakai jaket kulit dan ada helm fullface di dekatnya. Masker yang dikenakannya pun tergantung di lehernya.
Meski mengobrol dengan Rayhan sambil duduk, aku bisa melihat postur tubuhnya yang tinggi, tidak terlalu kurus maupun gemuk. Pas, terlihat atletis. Tampangnya... masuk kategori good looking, meskipun bukan ganteng yang heboh banget, lebih mengarah ke manis. Tampak seperti lelaki baik-baik.

Tapi bukankah tampang baik-baik begitu malah mencurigakan? Apalagi yang goodlooking misterius gitu? Tokoh-tokoh villain di drama korea bergenre thriller biasanya begitu tuh. Moo Tae Goo dari drama Voice season 1 misalnya. Ampun deh, seganteng itu ternyata psikopat.

"Bu, sudah." kata si penjual telur gulung dan es cincau hampir bersamaan. Aku menerima pesananku dan membayar. Aku kembali menghidupkan mesin motor dan menjalankannya. Ketika melewati Rayhan dan pria itu aku masih sempat menoleh dan melihat mereka masih mengobrol.

Ah sudahlah, mungkin saudaranya. Tapi kalau saudaranya kenapa ngobrol di sekolah? Lagipula aku tidak pernah melihat Rayhan dijemput orang lain selain Ibu atau Kakaknya. Atau mungkin ojek yang ditugaskan orangtuanya untuk mengantar-jemput Rayhan? Tapi tukang ojek kok keren banget, ya? Malah mirip cerita di FTV yang kayanya cocok kalau judulnya' cowok manis itu tukang ojek hatiku!' Eh kenapa aku jadi ngaco dan malah fokus ke tampangnya yang manis sih?

Materi apel yang disampaikan Pak Eddy tiba-tiba saja menghentak kepalaku.
Tadi pagi Pak Eddy khusus membahas tentang penculikan anak yang akhir-akhir ini kembali marak. Pak Eddy memberi pesan agar kami waspada dengan orang-orang mencurigakan yang berkeliaran di dekat sekolah.

Orang mencurigakan?

Tanpa pikir panjang aku langsung putar balik. Aku belum melaju terlalu jauh. Bagaimana kalau lelaki manis tadi penculik? Bagaimana kalau Rayhan diculik? Masih untung kalau hanya minta tebusan dan dikembalikan dalam keadaan hidup. Kalau dijual atau diambil organnya dan dibuang begitu saja, bagaimana?

Jodoh Juseyo {TAMAT}Where stories live. Discover now