Takut Karma

197 53 8
                                    

Aku tak membodohinya kali ini. Kami kini berada di café yang kumaksud. Aku memakai sweater rajut untuk menutupi seragam yang kupakai siang ini. Hendra duduk di depanku dengan tenang. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan duduk bersama lagi seperti sekarang. Tapi aku perlu bicara dengan manusia bebal ini, sebelum semua makin parah.

"Tahu darimana kamu aku kerja di sini?" tanyaku tanpa basa-basi. Tawaran Hendra untuk sekadar memesan minum pun aku tolak. Meskipun ya pada akhirnya dia tetap memesan.

"Proyek baruku dekat sini. Minggu lalu itu aku beneran nggak sengaja lihat kamu. Terus akhirnya aku tanya sama Arie."

Arie. Teman kuliahku, dan teman tongkrongan Hendra. Arie lah yang mengenalkan kami berdua. Waktu itu aku lagi desperate ngerjain skripsi, dan seperti mahaiswi tingkat akhir pada umumnya bawaannya pengin nikah aja daripada stress. Eh malah ditanggapi serius sama Arie. Aku terima saja tawaran Arie untuk mengenalkanku pada Hendra. Sialnya kami ternyata nyambung, lalu berlanjut ke pertemanan dan akhirnya pacaran. Kalau boleh diedit episode waktu itu, aku lebih baik gila ngerjain skripsi daripada harus ketemu Hendra yang akhirnya malah membuatku sakit hati.

"Terus maksudmu apa bagi-bagi donat ke kolegaku?"

"Dua hari aku mampir terus ke sekolahmu, tapi nggak ketemu kamu. Hampir aja ditangkap sama tukang kebun sekolahmu yang serem itu. Terus ya inisiatif aja bagi-bagi donat sambil tanya tentang kamu. Sekalian promo perumahan juga, sih." Hendra nyengir lucu sambil garuk-garuk tengkuk. Oalah sambil menyelam minum air toh.

"...Tapi kamu katanya sakit? Sakit apa, Kay? Sekarang sudah lebih baik, kan?"tanyanya lagi, raut wajahnya berubah khawatir.

"Ya kalau sekarat nggak bisa di sini, dong!" jawabku jutek. Hendra malah mesam-mesem.

Pesanan Hendra datang mengalihkan fokus obrolan kami. Dua gelas ice lemon tea dan calamari. Hendra mengangsurkan minuman ke arahku.

"Sejak kejadian itu, kita belum pernah ngobrol lagi kan, Kay." Ujar Hendra, kali ini nadanya serius. Aku masih enggan menatapnya.

"Kamu blokir semua aksesku menghubungimu, aku bahkan dicekal masuk ke perumahanmu. Padahal aku cuma mau minta maaf dan memperbaiki pertemanan kita." lanjutnya.

Aku terdiam lama. Memilih membuang pandangan ke arah lain. Sampai sekarang aku bahkan nggak tahu sudah memaafkan Hendra atau belum. Mengenai perasaan... aku sudah yakin hatiku sudah ikut tercabut bersamaan dengan pengakuannya malam itu. Saat dia mengakui bahwa ia telah meniduri wanita lain ketika ia masih jadi pacarku. Hendra adalah pacar pertamaku, untuk pertama kalinya aku berani menitipkan hati pada seorang pria, tapi malah dilukai secara brutal.

Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, aku sungguh beruntung karena tidak menjadi korban dari nafsunya sebelum pernikahan. Kini aku juga bisa menghargai niat baiknya untuk jujur mengakui pengkhianatannya dan meminta maaf dengan tulus. Tapi untuk berteman, ya harus pikir-pikir lagi. Lebih untuk menjaga kesehatan jiwaku sih, soalnya Hendra ini semacam punya bakat menyebalkan gitu lho. Waktu masih pacaran saja aku sering dibuat jengkel olehnya.

"Kamu nggak perlu minta maaf lagi, Ndra. Aku juga nggak mau kita berteman." Kataku pelan dan lugas, mencoba memahami perasaanya yang ingin bicara serius tentang ini.

Hendra terdiam, terlihat berpikir. Baguslah! Kupikir otaknya sudah karatan nggak bisa buat mikir lagi.

"Kamu maunya kita balikan, Kay?" tanyanya dengan memasang Wajah tanpa dosa. Membuatku ingin melempar gelas ke arahnya. Bagaimana bisa kalimat 'aku nggak mau berteman' disimpulkan menjadi 'mau balikan'?

Kurasa harusnya kami ke restoran nasi padang. Bukan ke café. Di sini nggak ada yang jualan otak.

"Aku belum resmi menduda, Kay..."

"Nggak mau berteman kenapa jadi balikan...Mahendra Wijayaaa?" Geramku menahan emosi. Padahal sudah bagus kami tadi ngomong serius sebagai sesama orang dewasa, kenapa ngeselinnya kumat lagi, sih?

Demi menjaga kestabilan emosi, mataku mengedar ke seluruh area café yang ramai, menghindari wajah Hendra yang mendadak ingin kucakar saking kesalnya. Tapi saat itu aku justru menangkap sosok misterius yang terasa mengawasi kami.

Apa sejak tadi?

Sosok itu kemudian berpaling ketika mataku hampir saja menangkap matanya.

Mungkin hanya perasaanku saja.

"Ya terus kenapa nggak mau temenan Kayyisa Danatri? Kamu takut jatuh cinta sama aku lagi, ya?" katanya sambil nyengir lebar.

"Minggir dikit, Ndra!"

"Kenapa, Kay?"

"Pede-mu kelewatan." Aku mendengus kasar. Hendra malah tertawa.

"Aku nggak bermaksud mengulang masa lalu kita kok, Kay. Ya... meskipun kalau kamu mau juga ayok aja sih. Tapi tunggu aku resmi duda dulu, ya."

"Sekali lagi ngomongin balikan gue tendang lo, Ndra!" sungutku.

Aku yang gila, mau meladeni orang gila macam Hendra. Tapi biar gila dan menyebalkan begitu, Hendra ini orangnya jujur. Kalau dia bilang tidak berniat ngajak balikan, berarti 90% betul. 10% Kalau edannya kumat. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak menjadi pelakor kok. Dan lagipula kenapa dari tadi dia menyinggung masalah duda, sih?

"Oke...! Oke..!" Hendra menyerah. Please! Semoga selanjutnya obrolan kami kembali normal.

"Aku mau minta maaf, Kay. Katanya kan doa orang terdzalimi itu gampang dikabulkan. Aku takut karma nyakitin orang sebaik kamu. Meskipun sekarang aku juga sedang merasakan karma sih. Tapi paling tidak, kalau kamu sudah baik-baik saja, aku lebih tenang."

Aku menghela napas. Nggak tahu harus menanggapi bagaimana. Fakta kalau Hendra membuatku sakit hati itu memang benar, tapi aku nggak pernah doain dia yang aneh-aneh kok. Eh kayanya pernah sih khilaf doain dia impoten saking kesalnya. Apa jangan-jangan dia sekarang impoten?

"Ndra... kamu...?" Aku tercekat. Waduh! Jangan-jangan doaku pas lagi emosi itu betulan terkabul? Kok jadi kasian.

Hendra mengangguk dramatis.

"Impoten, Ndra?"

"Proses cerai dengan Dina."

Kami mengucapkannya bersamaan. Kini mata Hendra membeliak ketika menyadari perkataanku.

"Kamu doain aku impoten, Kay?"

Jodoh Juseyo {TAMAT}Where stories live. Discover now