21. Siapa Yang Teriris, Siapa Yang Menangis

Start from the beginning
                                    

Seni tersenyum. "Silakan aja."

Sebagai istri yang baik, Seni mengantar Arayi dan Alsha hingga ke depan pintu. Dengan hati yang begitu berat, dia menatap kepergian mereka. Tak bisa dibayangkan betapa irinya dia saat ini. Arayi dengan leluasa membawa Alsha ke mana-mana. Sedangkan dia saat ini masih tetap disembunyikan statusnya.

Entah sampai kapan.

Hingga malam menyapa, Kamila sengaja menemani Bhara di kamar agar tak mengganggu makan malam yang dipersiapkan Seni untuk Arayi.

Namun hingga malam beranjak lebih larut, Arayi masih belum menampakkan batang hidungnya. Begitu juga dengan Alsha.

Seni terpekur di meja makan. Menatap ponsel yang bergeming tanpa kabar. Sementara jam sudah menunjuk pukul sembilan.

Apakah ia harus diam menunggu? Atau bertanya seperti istri yang merindukan suaminya?

Tidak, Seni menggelengkan kepala. Lalu tercetus ide untuk menelepon toko bunga milik Alsha. Berdasarkan cerita yang ia dengar, staf perempuan yang dulu pernah ia temui, ternyata tinggal dan tidur di sana. Tepatnya di lantai kedua ruko tersebut. Barangkali, bisa Seni temui jawab dari tanya hatinya lewat telepon ke staf Alsha itu.

Telepon tersambung dan tak lama kemudian terhubung. Tanpa berbasa-basi lagi, Seni bersuara dengan sopan setelah salam, "Mbak, apa Mbak Alsha nya masih di situ, ya? Ini saya disuruh Bu Kamila untuk minta Mbak Alsha pulang. Atau apa dia pulang ke Casa Jardin ya, Mbak?"

"Oh, nggak, Mbak. Tadi pagi emang Mbak Alsha berangkat ke toko. Cuma pas sore tadi dapat telepon dari Mas Arayi. Kayaknya mereka mau ada acara gitu. Sekitar jam 5-an Mas Arayi jemput Mbak Alsha. Mau saya teleponin Mbak Alshanya, Mbak?"

Seni menghela napas sambil memejamkan mata. Adil katanya. Mau jadi suami yang adil kata Arayi kemarin?

Beginikah yang namanya adil dan baik?

"Oh nggak usah, Mbak. Kalau lagi pergi sama Mas Arayi biar aja. Nanti saya bilangin ke ibu biar nggak terus-terusan tanya. Makasih ya, Mbak. Maaf mengganggu."

Telepon segera dimatikan. Seni menatap hasil masakannya yang lagi-lagi tak berguna.

Dengan yakin, kini ia dapat jawabannya. Arayi tak pantas mendapat kepercayaan lagi. Ia akan semakin sakit bila terus-terusan berharap. Perlahan, Seni mengangkat satu per satu piring. Membuang semua makanannya ke tong sampah.

Lalu berjalan menuju kamar Bhara. Mengambil tas, dan memasukkan baju serta barang-barang penting milik Bhara. Begitu juga ketika ia memasuki kamarnya, tak banyak yang ia kemas. Sebagaimana ia saat datang, maka seperti itulah saat ia pergi.

Setelah semuanya selesai, Seni mengunci pintu dari dalam. Malas jika harus membiarkan Arayi pulang dan masuk.

Lampu ia matikan setelah ia menelan sebutir obat tidur. Seni hanya ingin tak mendengar apa pun malam ini. Seni ingin tidur nyenyak. Nyaris sebulan ia tersiksa sendirian. Kini, ia berjanji, bahwa malam itu adalah malam terakhir ia menderita sebagai istri yang dhuafa cinta.

***

Seni mendapati rumah begitu sepi dan canggung. Sudah ada Arayi, Alsha, dan Kamila di meja makan. Sepasang suami istri itu menundukkan kepala dengan wajah sendu. Tampaknya habis dimarahi habis-habisan oleh Kamila.

Bahkan Seni bisa melihat bahwa Alsha juga menangis dalam sedu sedan. Selama ini, Seni bukan tidak tahu bahwa Kamila memperlakukan Alsha dengan buruk. Bahkan kerap kali menghina.

Arayi menoleh saat Seni datang dalam keadaan sudah rapi. "Seni, Sayang, mas minta maaf. Semalam ...."

Seni tersenyum. "Makanannya udah ada di tong sampah. Nggak perlu minta maaf. Masakanku sudah berada di tempat yang tepat, Mas."

"Seni, mas bisa jelaskan. Kemarin ada undangan makan malam sekaligus bakti sosial dari rekanan. Mas baru ingat, dan mas lupa ngabarin kamu."

"Iya nggak apa-apa. Nggak penting juga buat ngabarin aku. Yang penting kan Mas Arayi dan Mbak Alsha bisa pulang dengan selamat."

Alsha yang mendengarnya malah makin terisak. Seni tak paham. Sebenarnya di sini, siapa sih yang paling tersakiti? Dirinya atau Alsha?

Seni duduk di samping Kamila. Lalu menelan sarapannya dalam diam. Akhirnya, yang lain mengikuti, meski makanan itu seolah tersendat dan melukai kerongkongan demi melihat Seni yang pura-pura tegar.

Begitu sarapan selesai, ketika Arayi dan Alsha bersiap di ruang keluarga, Seni datang lagi. Lengkap dengan koper kecil miliknya dan tas jinjing milik Bhara.

Arayi yang melihatnya spontan berdiri dengan hati berdebar-debar. "Mau ke mana kamu?" Lalu tanpa sadar, nada suaranya kembali dingin dan menajam. 

***See You Tomorrow***
Day 21

Hayo lho, mau ke mana kamu?
Monggo, monggo yang mau titip salam buat Bhara bayi yang jatah nongolnya tinggal besok aja atau buat Bapak Arayi Madakampret  ... waktu dan tempat dipersilahkan. :)

EDIT NOTE: Karena kemarin libur repost, hari ini aku repost 2 part hihihi.

Makasih buat yang udah baca, votes, komen, dan share cerita ini ke mana-mana. Moga2 dibalas Tuhan dengan rejeki yang berkah dan melimpahhh. Amin. 

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now