26. Yuhuuu Pindah

6.7K 1.3K 43
                                    

Aku tahu Diego tidak bisa diprediksi oleh siapa pun ketika ingin membalaskan rasa sakit hati. Bagi Diego sekali orang itu membuatnya naik pitam ya sudah, begitu, selesai. Ucapkan selamat tinggal kepada masa depan. Terus meratap dan berdoa semoga suatu hari nanti Diego lupa pernah memendam kebencian.

Untung aku sempat merencanakan segala sesuatu. Sekadar jaga-jaga andai aku jatuh melarat untuk ketiga kalinya. Ada cukup uang untuk bertahan hidup beberapa bulan ke depan, begitu juga dengan pekerjaan; wow kebetulan menyenangkan bahwa La Beauty akan bertranformasi menjadi kafe jelita alias Diego tidak bisa menyentuh uangku begitu saja.

“Rumahnya cukup asyik kok,” kataku menyemangati Evelyn dan Samuel yang menatap rumah baru kami yang terletak di kawasan perumahan di dekat Area C.

Rumah yang kami akan tempati merupakan bangunan minimalis dengan dua lantai, taman, dan garasi. Ada tiga kamar tidur, dapur, satu kamar mandi, dan ruang tamu. Amat berbanding terbalik dengan kediaman yang dulu kami tempati.

Oh jangan salah sangka. Kepindahanku bukan karena Rafael Verday, melainkan terkait keputusan Samuel meninggalkan Digeo. Mau tidak mau kediaman yang cukup mentereng beserta seluruh pelayanan yang dulu kami nikmati pun terampas begitu saja. Diego menuntut Samuel agar lekas pergi. Ya wajar sih. Kediaman itu merupakan pemberian Diego. Hanya saja biaya pajak tanah, listrik, menggaji pekerja itu merupakan tanggung jawab Samuel.

Untung Evelyn dan aku bisa membayar pembelian hunian baru. Itu juga berkat bantuan beberapa kawan lama Samuel maupun Evelyn yang merasa kasihan dan memutuskan menawarkan bantuan. Kehidupan kali ini jauh lebih baik daripada ketika aku jatuh melarat karena Rafael Verday si tokoh utama kurang ajar itu.

“Kamu nggak keberatan, Re?” tanya Evelyn sembari membantuku mengangkat kardus bersisi buku ke lantai dua. “Yakin nggak menyesal?”

“Mama bicara apa sih?” Samuel menyahut. Dia pun meraup kardus bersisi perlengkapan memasak dan langsung melenggang menuju dapur. “Dapurnya bagus kok!”

Aku dan Evelyn tidak membalas teriakan penyemangat dari Samuel. Kami memilih fokus merapikan kamar dan menyusun satu demi satu barang. Lantai sudah bersih dan langit-langit tidak dihuni keluarga laba-laba pemburu nyamuk nying-nying-nying. Lemari, ranjang, bahkan rak beberapa hari lalu sudah dimasukkan ke masing-masing ruangan melalui jasa pindah. Kami hanya perlu membereskan sisanya.

“Ma, aku yakin kita akan hidup nyaman tanpa gangguan Kakek,” kataku meyakinkan. Sembari membuka kardus, aku mulai memikirkan hal-hal buruk di masa lalu karena berada di bawah naungan Diego. “Kita akan aman di sini.”

“Re, kenapa kamu terlihat sangat bahagia hidup tanpa sokongan Bloom?” tanya Evelyn yang sekarang sibuk menata buku ke dalam rak. “Kamu seolah sudah menanti kita pindah.”

“Memang,” sahutku, riang. “Mama akan jauh lebih baik bekerja sesuai keinginan Mama.”

Evelyn mendirikan toko bunga. Ini pun menggunakan dana kami serta bantuan dari orangtua Dimitri. Sekalipun mereka sanggup membelikan seluruh bangunan, Evelyn menolak dan memilih menerima pertolongan mencari petani serta pasar bunga yang bisa dia datangi untuk suplai dagangan.

“Kakek hanya akan menyengsarakan kita,” kataku dengan semangat meluap-luap. “Kita nggak bakalan bisa bertahan di sana.”

“Re, mengenai bisnis dengan Fernando....”

Evelyn tidak sempat menyelesaikan ucapannya ketika Samuel memanggilku agar lekas turun. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati Rafa berada di ruang tamu yang terasa seperti gudang paket karena bertumpuk kardus dan ... baiklah, aku akan pura-pura sebagai salah satu pekerja penyedia layanan paket.

“Halo,” Rafa menyapa. Di tangannya ada sekotak kue sementara di tangan satunya dia mencengkeram kresek dan tas dari karton. “Saya dengar dari Om kamu pindah dan dia ingin saya mengirimkan makanan dan minuman.”

“Wah baik sekali kamu, Nak,” Samuel menyambut. Dia menerima pemberian Rafa dengan mata berbinar (berbinar karena senang dapat tamu, bukan makanan gratis). “Mau makan bersama? Om sudah merapikan dapur. Kita bisa makan siang bersama.”

Evelyn, yang ternyata ikut turun bersamaku, mulai menyikut diriku seolah aku menyembunyikan sesuatu. Bahkan matanya pun mengirim sinyal berupa sandi rahasia lewat kedip dan pelotot.

“Makasih, Pa,” aku langsung menyambut baik ide Samuel. Ya daripada harus menghadapi rasa keingintahuan Evelyn, lebih baik alihkan saja perhatiannya. Aku meraih kotak kue dari Samuel dan membimbing Rafa. “Silakan masuk, maaf berantakan. Soalnya baru pindah.”

Pasti Fernando yang memberikan informasi mengenai alamatku kepada Rafa. Om-om yang satu itu punya semangat juang mental besi.

Kami beralih menuju dapur. Aku dan Samuel memindahkan mi udang ke piring sementara Evelyn mulai menginterogasi Rafa.

“Sudahlah, Ma,” Samuel menyela. “Biarkan Rafa menikmati makanan yang dibawanya.”

“Nggak apa-apa kok, Om.” Rafa menampilkan senyum manis, amat manis hingga Evelyn mengabaikan rencana mengeruk informasi dari Rafa dan memilih makan sembari memandangi Rafa seolah terpesona. Wah gawat, ibuku terpikat Rafa.

“Apa kalian butuh bantuan?” Rafa mulai menawarkan pertolongan. Entah mengapa rasanya di meja makan ini seperti ... hmm semoga hanya perasaanku saja.

“Oh nggak perlu,” Samuel menolak. “Om bisa membereskan semuanya kok.”

“Boleh tahu kenapa anggota keluarga Bloom memilih tinggal terpisah dari kediaman utama?”

Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap Bloom pasti memiliki kediaman mewah. Sama seperti milik Samuel. Rafa mungkin termasuk orang-orang yang gemar membaca biografi keluarga pebisnis lain—sekadar informasi untuk hubungan kerja (mungkin?) yah semacam itu. Hobi orang kaya memang aneh.

Alih-alih tersinggung, Samuel justru tertawa seakan pertanyaan Rafa sama sekali tidak mengusik ranah privasinya. “Om ditendang keluar dari Bloom. Sekarang Om ikut nama keluarga besar istri, Gray. Sebab papa Om melarang Om menggunakan nama keluarga dan itu berimbas ke Renata juga.”

“Keren kok,” jawabku sembari menyesap kuah mi. “Renata Gray.”

“Sebentar lagi jadi Renata Axton.” Ingin aku mengucapkan itu, tapi sadar diri. Kan tidak baik pamer. Walau sebenarnya suara hatiku ingin menjeritkan klaim: “Dimitri punyaku woey, bukan Diana.” Hahaha.

Sejenak Rafa menatap piringnya. Seolah dia sedang berkontemplasi. Pasti dia merasa kasihan kepada Samuel yang terputus hubungan dengan ayah kandungnya. Sungguh keji. Diego bahkan tidak mengucapkan perpisahan dan langsung tendang begitu saja.

“Maaf,” kata Rafa. “Saya sepertinya telah membuka....”

“Jangan seperti itu,” Samuel memotong. “Om ikhlas dan rela pergi kok. Di sini kami tetap bisa bersama. Paling yang berubah hanya pekerjaan dan rutinitas. Biasanya ditolong pelayan, sekarang harus berusaha mandiri.”

“Kecuali Renata,” Evelyn mulai ajang gibah. “Dia sanggup membereskan urusan rumah tangga seorang diri.”

Ya maaf. Aku, kan, mantan budak korporat! Aih!

“Hahahaha, Mama.” Aku mencoba menahan diri agar tidak menyublim dan ... mengapa Rafa memandangiku seperti itu?

“Kamu ternyata tidak seperti yang saya pikirkan,” katanya dengan tatapan yang mengingatkanku kepada Deon Flaus. “Sayang kita terlambat berkenalan.”

Samuel tersedak dan Evelyn pun menolongnya dengan menepuk pelan punggung.

Hahaha semoga ini hanya perasaanku saja.

Semoga.

Selesai ditulis pada 18 September 2022.

Spoiler "Di Balik Layar" sudah terbit di KaryaKarsa, ya.

Maaf ya, hari ini hanya update cerita ini. Saya masih belum membereskan urusan yang hmmmmmm inginnya cepat beres. Tolong doakan saya lekas membereskan urusan ini dan bisa fokus nulis Ruby dan Renata.

Urusan apa?

:”) Nggak bisa cerita. Hahahaha. Maaf. Mungkin kalau sudah kelar baru saya curhat di sini, kalau kalian tidak keberatan. Hehehe.

Terima kasih, teman-teman. I love youuuuuuu, teman-teman. HUG. HUG. HUG.

Salam hangat,

G.C

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang