25. Dengarkan Intuisi

6.7K 1.3K 19
                                    

Berdasar pengalaman serta pengamatan dari novel maupun film, begitu alarm bahaya dalam kepala berbunyi sudahlah jangan ditunda lagi: Kabur. “Wahaha, Om. Bisa saja.”

Tentu saja sebelum kabur aku harus menampilkan sikap biasa saja agar oknum yang bersangkutan tidak curiga.

“Renata, Om serius,” Fernando meyakinkan. “Rafa memang butuh wanita normal dan sehat.”

“Jessica sehat, Om.” Sekali lagi, aku juga tidak mau kalah mempromosikan sahabatku yang cantik jelita tiada tara. “Siapa tahu cocok. Kemudian aku meraih ponsel dalam tas, pura-pura memeriksa jam, kemudian berkata, “Terima kasih atas santap siang yang luar biasa. Namun, maaf. Saya perlu mengunjungi Jessica, ehem, mungkin Om ingin titip salam?”

Kali ini aku memainkan alisku, naik turun, mirip ulat bulu tengah berdisko. Ada baiknya membagi kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan itu tidak lain ialah, menjadi makcomblang bagi Jessica. Rafa tampan, gagah, memiliki aura yang aku jamin bisa memikat cewek seksi sampai menggelepar seolah kena setrum, lalu mapan dan mungkin berdedikasi tinggi terhadap pasangan. Paket lengkap. Semoga ada promo dan diskon agar Jessica tidak merasa kemahalan.

“Renata, kamu yakin nggak akan menyesal?”

“Om,” Rafa memanggil. “Renata harus pergi. Sekarang.”

Aku menampilkan senyum termanis yang bisa kuberikan kepada Rafa. “Terima kasih, Rafa. Maaf ya, Om. Kapan-kapan aku masakin apa pun yang Om inginkan. Oke?”

Fernando mendengus, melipat tangan di depan dada, dan tatapannya sangat menusuk Rafa seolah ingin menjadikan keponakannya itu kambing guling. “Re, kapan-kapan kamu masak di rumah Om saja, ya?” Sekarang Fernando kembali menatapku, binar kebahagiaan itu kembali menyala. Padahal tadi kupikir sudah padam. “Tolong, ya?”

“Boleh ajak Jessica?” aku memberi persyaratan tambahan.

Mohon maaf. Aku hanya takut ada beberapa hal tidak menyenangkan yang akan menghantuiku bila berkunjung di rumah Fernando tanpa bala bantuan. Ingat, sedia payung sebelum hujan? Tepat sekali! Aku sedang mempersenjatai diriku sendiri.

“Asal kamu datang,” kata Fernando, setengah ... kecewa?

“Tentu,” jawabku menyanggupi. Aku bangkit, pamit, dan langsung kabur dari restoran. Berhubung aku datang tanpa sopir, maka lekas kucari taksi online dan minta diantar ke studio Jessica.

Perjalanan dari Area C menuju studio Jessica membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Sesuai dugaanku, Jessica sibuk membuat sketsa mengenai kerajinan tangan yang hendak dia pamerkan nanti. Dia sempat bercerita bahwa ada beberapa seniman yang mengajaknya ikut pameran. Berhubung ini Jessica, si penyuka seni, maka dia pun bersemangat dan langsung mengamini permintaan tersebut.

Jessica tengah membungkuk di atas lembaran kertas putih. Sekalipun mendengar derap langkah kakiku, pandangannya masih terfokus pada pekerjaan. Lucunya, dia mengenakan kaos yang dua kali ukuran tubuhnya. Bahu Jessica yang mulus pun terlihat jelas. Rambut Jessica diikat secara asal-asalan yang anehnya terlihat seksi dan elegan.

“Kenapa kamu nggak mau menyambutku sih?” Aku menarik kursi di samping Jessica dan duduk. “Padahal aku sudah bela-belain jauh-jauh dari Area C ke sini.”

Suasana di studio Jessica terbilang ... berantakan? Kertas dan kain berserakan. Ada maneken yang mengenakan gaun rancangan Jessica, keramik-keramik dalam beragam polesan tersusun di sudut ruangan, lalu kanvas yang memamerkan lukisan bambu dan kupu-kupu.

“Aku tahu kamu pasti langsung masuk tanpa salam,” jawab Jessica sembari menggambar angsa. “Aku, kan, sudah bilang oke untuk semuanya. Apa kamu ingin menengok hasil akhir?”

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang