15. Terkutuklah Diego Bloom!

7.6K 1.6K 101
                                    

Cukup menyenangkan memiliki kegiatan di sekolah selain belajar, mencoba merayu Dimitri yang selalu gagal, dan berpikir mengenai rencana masa depan. Ketika aku bilang rencana masa depan, itu berarti sudah termasuk paket penyelamatan. Tahu, 'kan? Rafael dan Diana. Jaga-jaga andai Dimitri tertarik dengan Diana Bloom, maka aku memiliki jalan keluar. "Jangan gantungkan harapan dan hidupmu kepada ekspektasi." Itulah prinsipku. Ekspektasi kadang tidak sesuai dengan realitas. Pasti sakit sudah berharap, tapi tidak terwujud. Sedia payung sebelum hujan. Lebih baik bersiap daripada kelabakan nantinya.

Rafael Verday tidak akan melepas orang-orang yang telah bertanggung jawab atas tragedi keluarga Verday. An eye for an eye. Mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi. Ibarat Anusopati yang memendam bara kemarahan terhadap Ken Arok yang telah membinasakan Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes. Rafael Verday tidak akan membiarkan satu Bloom pun, kecuali Diana, hidup. Sekalipun dibiarkan hidup, sepertiku, maka akan menjalani kehidupan bagai di neraka kapitalis.

Bukankah tidak lucu? Aku sudah lelah diperbudak rezim oligarpus eeeeeh dua kali? Dua kali? Nikmat mana lagi coba mencicipi perbudakan kapitalis sampai dua kali? Bahkan seekor kerbau pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali.

Sialan!

Oh maafkan bualanku. Sekarang ada hal penting yang perlu kuberitakan.

Usai drama dan pertemuan antara calon suami masa depanku (iyeh, huhuhu suamiku) dengan mertuanya, esoknya sepulang sekolah aku mendapatkan kabar tidak sedap. Percaya deh baunya busuk dan membuatmu teringat dengan kentut siluman: "Tidak bersuara, tetapi baunya amazing." Nah mirip semacam itu.

"Rere, Papa perlu bicara denganmu."

Ketika seseorang berkata, "Aku perlu bicara denganmu." Berdasar pengalam biasanya tidak baik dan pasti tidak menyenangkan. Dengan enggan aku terpaksa menuruti permintaan Samuel. Kami bertiga duduk di ruang makan. Ada teh dan roti manis tersaji di meja. Aku belum sempat berganti pakaian alias masih mengenakan seragam dan ranselku pun teronggok di kursi.

Semoga mereka tidak bicara mengenai kemunculan Rafael Verday lebih awal. Aku belum siap! Uangku tidak cukup untuk membangun bisnis kecil-kecillan. HEOL.

"Papa ada kabar kurang mengenakkan," kata Samuel. Ada kerutan dalam di dahi. Tidak biasa-biasanya dia memperlihatkan "cara menambah keriput" semacam itu. "Kakek tadi siang mengundang Papa makan."

Aku mengangguk-angguk. "Oke, semoga Kakek nggak nyuruh Papa kerja ke luar negeri, ya?"

Tawa getir lolos dari bibir Evelyn. "Tidak," sahutnya sembari meremas-remas sebutir apel yang tidak akan remuk bila tidak dibanting dan diblender. "Kakekmu nggak memberikan tugas semacam itu."

"Di sana bukan hanya Kakek saja yang ada," Samuel melanjutkan. Dia sama sekali tidak tertarik menyentuh teh maupun roti, hanya menunduk dan menatap titik imajinasi di meja. "Benjamin Flaus ada di sana."

Benjamin Flaus. "Siapanya Deon Flaus?" tanyaku, masih tidak bisa menangkap arah pembicaraan. "Apa Papa diminta jadi selir pribadi?"

Samuel menggeleng, bahunya tampak kuyu. "Ayah Deon," jawabnya mengabaikan leluconku. Bahkan sekarang nada suaranya terdengar amat sendu dan membuat alarm dalam kepalaku berdering nyaring. "Dia mendengar pertengkaran kalian di pesta ulang tahun Kakek. Sepertinya ada seseorang yang melaporkan ucapanmu."

Jantung berdegup kencang. Susah payah aku berusaha mempertahankan keacuhanku agar tidak terkesan panik. "Apa aku akan dituntut oleh Om Flaus?"

"Rere," kata Evelyn sambil mengusap kepalaku. "Dia nggak mengajukan tuntutan."

"Oh.... Oke." Sial. Alarm dalam kepalaku makin nyaring. Ucapan Evelyn sama sekali tidak bisa membuatku tenang. "Lalu, semuanya beres dong?"

'Katakan beres. Katakan beres,' doaku dalam hati.

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Where stories live. Discover now