Abid hanya mengangguk. Ia ingin menyenangkan mertuanya, meski sebenarnya ia tahu banyak sekali yang harus dilalui untuk membangun hubungan pernikahan yang kokoh antara dia dan Salma.

Mereka bercakap-cakap ringan, membahas bagaimana cerita kala Kiai Mahrus baru menikah dulu. Cerita yang jelas sangat berbeda dengan keadaan Abid dan Salma. Selain masanya, kondisi juga berbeda jauh. Kiai Mahrus dan Bu Nyai Saudah merupakan tipe pemuda-pemudi priyayi zaman dulu yang patuh dan polos. Sementara Salma …

Abid teringat pada permintaan Salma yang belum ia jawab gamblang kemarin. Sebab masih ragu, ia menjawab bahwa Salma boleh memakai ponselnya saja untuk semua kebutuhan. Satu ponsel berdua. Dan jelas, Salma tampak tak puas dengan jawaban itu.

Saat ada jeda sejenak dari obrolan, Abid menyampaikan pertanyaannya. Ia menceritakan permintaan Salma perihal izin pemakaian ponsel dan mengurus online shop kembali.

Tampak jelas Kiai Mahrus terkejut. Tapi, segera ia sembunyikan di balik senyum ramah. "Itu, ya …, karena sudah ada Nak Mas yang menjaga, Abuya pikir, mungkin bisa dilonggarkan sedikit."

"Inggih. Perihal ponsel dan nomornya …"

"Oh … ada padaku. Besok aku sendiri yang akan memberikannya pada Salma."

Abid mengangguk dan menjawab dengan inggih singkat.

Satu helaan napas dalam, dan Kiai Mahrus memundurkan punggung. Pandangannya menerawang jauh. "Sebenarnya, sudah lama Salma tak kami perkenankan beraktivitas dengan HP. Selain untuk menghadapi ujian tahun lalu, juga agar dia lebih tenang saja." Kiai Mahrus mengembuskan napas seraya menjatuhkan pandangan pada menantunya. "Tapi sekarang, sepertinya Salma sudah bisa melanjutkan aktivitasnya lagi. Abuya percaya pada Nak Mas."

Abid tersenyum dan mengangguk takzim. Terbersit asa dalam hatinya tentang harapan dan kepercayaan sang mertua. Dia tahu apa yang melatari semua yang mungkin saja mertuanya pikir Abid tak tahu. Ishak.

Sebab semua, Abid berjanji kepada dirinya sendiri untuk berusaha semaksimal dia mampu dalam mewujudkan keinginan mertua sekaligus gurunya.

Sekitar jam delapan malam, setelah sekitar setengah jam bercakap-cakap, Kiai Mahrus memperkenankan Abid kembali ke kamarnya—kamar Salma. Untuk sementara, mereka memang akan tinggal di ndalem Kiai Mahrus meskipun sebenarnya ada satu rumah kosong lagi yang bisa ditempati. Demi kebaikan mereka, ujar Kiai kala itu, saat bermusyawarah dengan Kiai Muhib untuk menentukan di mana kira-kira Abid akan tinggal setelah menikah.

Saat Abid membuka pintu kamar, Salma sudah duduk bersilang kaki pada ranjang. Ia sudah mengenakan pakaian santai, daster Arab cokelat muda berlengan pendek. Rambut kurusnya disanggul sembarangan dengan jedai. "Dari mana aja? Kok lama banget?" tanyanya datar.

Abid yang sempat tersentak, menutup pintu dan berusaha bersikap wajar. "Ngobrol sama Abuya." Ia merasakan ada panas menjalari tubuhnya. Aneh, bukankah pendingin ruangan dinyalakan? Dan panas ini sepertinya terasa beberapa menit sebelum ia keluar dari ruang mutholaah Kiai. 

Berjalan ke arah gantungan baju, Abid berusaha menghalau panas yang ia rasa.

Salma hanya menjawab Oh pendek. "Mas, aku … ada satu permintaan," tanyanya lagi saat Abid mulai mengganti pakaiannya dengan kaos dalam putih berlengan pendek. Ia tak tahan dengan panas yang semakin menjadi-jadi. Bahkan rasanya, mulai membuat pandangannya bermasalah.

Abid yang usai mengaitkan pakaian di gantungan baju, berbalik dan duduk di samping istrinya. Jujur saja, selain panas, perasaannya saat ini tak menentu. Ada canggung, cemas, merasa bersalah, penasaran, dan … satu lagi perasaan yang tak mampu ia pahami. Bahkan sejenak, ingatannya perihal Husna datang mengganggu. Dan untuk yang terakhir, Abid hanya mampu beristighfar dan memohon perlindungan Allah dari mengingat yang bukan untuknya.

"Bisa nggak, kita … lakukan semua perlahan? Maksudku, bukankah kita sama-sama tahu kalau ada benang kusut yang harus kita urai?"

"Itu?" Abid mangangguk-angguk. Ia menjatuhkan pandangan ke lantai. "Karena kita sudah menikah, bukankah itu artinya hak dan kewajiban suami harus bisa saya tunaikan? Begitu pula dengan sampean."

"Iya, saya paham. Tapi, nggak bisakah membangun chemistry dulu di antara kita? Bukankah … pasti sampean masih menyimpan rasa pada Dik Husna?"

Deg! Istrinya masih saja mengingatkan pada Husna. Itu memang benar, tapi … mengapa Abid merasa tersinggung? Rasanya seolah-olah kalimat itu merupakan tuduhan terhadap ketidakmampuannya menghadapi rasa cinta yang bukan seharusnya? Abid tak selemah itu. Baginya, amanah pernikahan, apalagi juga amanah gurunya, merupakan prioritas utama. Urusan hati hanya nomor kesekian ratus. Bukan hal penting sama sekali.

"Jangan membahas hal nggak elok macam itu! Masalah sebelum pernikahan, biar saja menjadi masa lalu. Segala yang terjadi setelah akad, adalah lembaran baru yang lepas sama sekali dari kisah-kisah lama. Apalagi … hanya urusan romantisme nggak penting." 

Salma tampak terperanjat. Kedua kelopak matanya membola. 

Sementara itu, Abid semakin tak tahan dengan panas yang kian merongrong di tubuhnya. Terasa aliran keringat pada tengkuk dan pelipisnya. Pun begitu, semua yang ditangkap pandangannya tampak memerah. Bukan pusing, tapi … ini sesuatu yang tak mampu dijelaskan. Degup jantungnya semakin cepat. Terasa desiran darah terpompa hebat ke seluruh tubuh bersama panas yang semakin menjadi.

Abid menelan ludah. Ada hasrat kelelakian yang tiba-tiba membuncah dan menjalari seluruh tubuhnya. Lagipula, bukankah mertuanya tadi berpesan padanya agar bisa menjadi suami berdaya dan mendidik istri dengan baik?

Perlahan, ia beringsut mendekat pada Salma. Tak ia pedulikan lagi ekspresi wajah sang istri yang tampak semakin kaget. Sekarang, Salma adalah istrinya. Abid adalah seorang suami. Dia berhak atas apa yang seharusnya didapat.

Titik BalikWhere stories live. Discover now