12. Bhara dan Bara di Antara Rasa

Start from the beginning
                                    

"Iya, iya, aku percaya kok, Mas." Seni mencebik.

"Iya, iya, aku pelcaya ko, Mas." Diikuti oleh suara menggemaskan dari Bhara yang tertawa-tawa melihat chemistry di antara orang tuanya.

"Idih, bocah bayi ikut-ikutan!" Arayi tertawa lepas. Dia tak menyangka bahwa putranya bisa sejail itu. Sementara Seni hanya bisa pura-pura cemberut sambil mengacak-acak rambut putranya dengan gemas.

***

"Mas, nanti pulangnya bisa minta tolong nitip sate ayam nggak?" Seni menggigit bibir. Bhara seperti dirinya, suka sekali dengan yang namanya sate. Kalau sedang rewel, dikasih sate pasti langsung jinak. Kebetulan petang itu Bhara rewel minta ampun. Bawaannya ngamuk terus. Seni sampai pusing dibuatnya.

"Kamu beli aja sendiri ke depan ya, Ni. Mas nggak tahu nanti pulang apa nggak."

Ok, dan terjadi lagi, kisah lama yang terus-terusan terulang kembali. Lewat sambungan telepon itu, Seni paham bahwa segalanya masih tidak ada yang berubah.

"Oke, Mas. Nggak apa-apa. Aku beli sendiri aja nanti sama Bhara." Tanpa menanti jawaban Arayi, Seni mematikan teleponnya. Lalu menghampiri Bhara yang kesal sendiri di kamar bermainnya.

"Itu kok puzzle-nya diobrak-abrik kayak gitu. Bola-bolanya juga, Nak?" Seni menatap Bhara yang masih ngambek di kolam bola mininya.

"Bala mau main ama ayah." Anak itu menjawab sambil menggembungkan pipi. Kesal ceritanya.

"Ayah kan masih kerja. Gimana, kalau Bhara ikut mama beli sate yuk ke depan? Mau?"

Mendengar kata sate disebut, tentu sebagai maniak, Bhara girang bukan main. Anak itu mengangguk bersemangat. Setelah dipakaikan jaket dan sandal, Seni mengajak Bhara menaiki motor untuk menuju ke depan perumahan. Namun baru saja menutup pintu pagar, Ibu Dara, tetangga sebelah turun dari mobil dan menyapa, "Lho, Mbak Seni. Kok udah di rumah aja?"

Seni menoleh, lalu mengernyit tak paham dengan pertanyaan Bu Dara. "Iya, Bu. Saya emang di rumah aja. Nggak ke mana-mana. Bu Dara dari mana? Habis belanja, ya?"

"Iya, saya habis belanja bulanan, Mbak. Tadi lihat Mas Rayi loh di mal. Lagi belanja bulanan juga dia. Kirain sama Mbak Seni."

Seni termenung di tempatnya. Arayi menemaninya belanja bulanan? Tidak pernah. Seni melakukannya sendirian dan karena sendirian, dia tak pernah belanja bulanan. Seni belanja sedikit demi sedikit. Apa yang dibutuhkan, itulah yang dia beli. Tapi mendengar bahwa Arayi sedang di mal, belanja bulanan, dan bukannya pergi karena urusan pekerjaan, mau tak mau instingnya sebagai seorang istri mulai bergetar tak biasa.

"Ah, mungkin Bu Dara salah lihat kali, Bu. Bukan suami saya kayaknya itu."

"Kalau salah lihat wajah suami saya sih iya Mbak, sering. Soalnya suami saya mukanya pasaran. Tapi kalau Mas Rayi, 100% nggak salah lihat sih saya. Wong jalan sama cewek, cuma saya nggak terlalu lihat wajah ceweknya, soalnya begitu saya tegur, Mas Rayi langsung ngejauh, makanya saya kaget ketemu Mbak Seni di sini." Bu Dara tidak paham, bahwa laporannya kini membuat Seni gamang dan tak karuan.

"Ma, Mama, ayoo beli ate." Sementara Bhara dan perut laparnya berusaha menginterupsi riuh redam hati sang mama.

Seni dengan canggung pamit. Menaikkan Bhara ke atas baby seater dan melajukan motornya untuk pergi. Menyingkir sebentar dari pikiran, "Benarkah suaminya sedang jalan dengan perempuan lain?"

***

"Mama, ayah keljanya apa?" Bhara bertanya dengan polos sambil memakan sate yang dagingnya sudah Seni lepas dari tusukan. 

"Ayah kerja di kantor. Bikin mobil." Seni menatap Bhara sambil tersenyum. Anaknya semakin besar, semakin cerewet saja rasanya. 

"Iya? Ayah bica bikin mobil?" 

"Iya, Bhara mau kayak papa?"

Bhara kali ini merengut. Kepalanya lalu menggeleng. "Nggak mau. Ayah pulang keljanya malam. Kalau Bala kayak ayah, nanti ngantuk, Ma. Bala nggak cuka tidul malam-malam. Tidul, tuh, jam sembilan, ya, kan, Ma?"

"Iya, terserah Bhara aja maunya gimana. Mau jadi kayak ayah boleh. Mau kerja kayak nenek juga boleh. Atau Bhara cita-citanya mau jadi apa, sih, Nak?" Seni mencondongkan tubuh, lalu terkekeh geli tatkala melihat bumbu kacang menguasai area mulut Bhara. 

"Cita-cita itu kelja?"

Seni mengangguk. "Iya, Bhara mau kerja jadi apa?"

"Nggak mau kerla. Bala mau jadi anak mama sama ayah aja bial bica main, belenang, sama tidul siang." 

Ya, ya, ya. Seni hanya bisa tersenyum. Meski perasaannya sedang kalang kabut, namun, Bhara terasa memberi semangat yang begitu lembut.



***See You Tomorrow***
Day 12
Udah banyak yang gugur. Seni dan Arayi pantang mundur! Finger crossed, wkwkw
Semangatin kami ygy :)

Edit: Republish version. Bhara dan baby talks-nya bicara soal cita-cita padahal emaknya lagi ngeringeri sedap diselingkuhi wkwkwk.

Jangan lupa follow WP dan IG akhiriana.widi, nanti aku bakalan bikin GA pas novel ini terbit. Juga ada program reseller, yang hadiahnya gratis staycation di hotel. Kalau mau difolbek IGnya, komen salah satu konten promo SRR, ya, biar aku tahu temen2 datang dari WP SRR hehehee.

Yang mau gabung grup WA juga boleh. Link ada di bio IG, yaaa. 

Terima kasih buat yang udah baca, votes, komen, dan share SRR :D Cinta teman-teman banyak-banyak. :)

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now