"Saya senang sekali mendengarnya. Mengukuhkan persahabatan kita dalam ikatan keluarga. Tapi, saya akan menyerahkan sepenuhnya kepada Abid," Kiai Muhib menatap putranya dengan senyum terkembang. Tampak nyata harapan dalam senyumnya.

Masih, Abid masih belum mampu menenangkan diri atas keterkejutannya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi Salma? Bagaimana mungkin harapannya tentang Husna harus pupus sebelum terkembang. Bahkan, Abid belum sekalipun memintanya pada Tuhan. Tak adakah kesempatan sedikit saja? Mengapa rasanya hatinya sesakit ini? Apakah ini artinya … ia telah patah?

***

Kalau bukan karena panggilan ibunya, sungguh Salma enggan untuk sekadar beranjak dari ranjang. Ia masih ingat betul bagaimana takutnya ia melihat sang ibunda di ruang ICU kala itu. Terlebih lagi, pesan Sofia beberapa minggu lalu, sekitar dua minggu sebelum Ramadhan, "Jangan berulah lagi, Salma. Umma nggak tahu ulahmu yang itu. Abuya juga sengaja nggak menegurmu. Itu artinya, beliau masih memberimu pengampunan dan kesempatan."

Salma sempat berpikir bahwa kesempatan itu berarti harapan baginya untuk bisa bersama Ishak. Tapi, nyatanya bukan. Itu hanya maksud lain dari, Kiai Mahrus tidak akan memarahinya.

Memang benar sang ayah tak memarahi atau sekadar mengungkit kesalahannya, tapi beliau telah menjatuhkan hukuman terberat yang pernah ada. Menjodohkan Salma dengan lelaki lain. Dan lelaki itu adalah … Abid. Orang yang selama ini Salma curigai sebagai cepu dalam kasusnya. Licik!

Bukan hanya mengurung diri di kamar, Salma juga jadi jarang mandi atau sekadar membersihkan diri. Andai tak ada kewajiban salat, niscaya dia tak akan menyentuh air kecuali untuk buang hajat.

Hatinya masih ngilu setiap kali mengingat Ishak. Ia telah meninggalkan pujaan hatinya begitu saja, tanpa pamit atau kabar lagi. Sofia telah menyita ponselnya seketika itu juga. Padahal, ia belum mengabari perihal insiden ketahuan ini padanya.

Tak hanya itu, pakaian yang sempat ia beli terakhir kali di Surabaya, juga diborong Sofia beserta ponsel jualannya. Kata sang kakak, demi ketenangan Salma. 

Itu bukan ketenangan, itu tekanan dan pembatasan.

Dengan sisa tenaga yang ada, Salma melangkah keluar kamar setelah menyampirkan begitu saja pashmina hitam di kepalanya. Ia menuju ruang keluarga di lantai dua, di mana sang ibu biasanya tengah bersantai saat petang begini.

"Dalem, Umma?" ujar Salma saat ia menginjakkan kaki ke ruang keluarga. 

Bu Nyai Saudah duduk pada sofa. Smart TV 75 inchi menyala, menayangkan kanal favorit sang ibu. Seorang santri perempuan duduk pada karpet, tak jauh dari ibunya. Sementara pada balkon, ada Nabila yang duduk pada kursi rotan, menghadap ke taman kecil di pinggiran balkon. Ia tengah mengaji demi menambah setoran hafalannya.

"Sini, temani Umma nonton." Ibu Salma menepuk sofa di sebelahnya.

Mencoba menyembunyikan lara hatinya, Salma tersenyum dan duduk di samping sang ibu.

"Umma senang sekali dengan pertunanganmu."

Deg! Kalimat sang ibunda bak sembilu yang kembali mengiris hati Salma yang memang masih terluka. Tapi, sekuat tenaga ia berusaha menyembunyikan lukanya.

Bu Nyai Saudah masih terus bercerita perihal rasa hatinya. Bahkan, dia menambahkan dengan cerita persahabatan antara Kiai Mahrus dan Kiai Muhib. Cerita yang telah Salma, bahkan hampir seluruh keluarga, hafal di luar kepala. 

Baru Salma ketahui bahwa Abid adalah putra Kiai Muhib setelah penentuan perjodohan mereka tiga hari lalu. "Abid itu selain alim dan patuh, dia juga putra sahabat Abuya, Kiai Muhib. Dengan perjodohan ini artinya, persahabatan Abuyamu semakin erat, karena akan berubah menjadi keluarga," ibu Salma menjelaskan panjang lebar kala ia diberitahu perihal perjodohannya dengan Abid.

Hal yang sangat Salma sesalkan adalah mengapa ayahnya sangat jarang mau berbicara langsung dengannya? Mengapa harus memakai perantara ibunya padahal sang ayah juga ada di tempat yang sama? Bahkan urusan hubungan Salma dan Ishak, mengapa dia tak menanyakan dengan jelas terlebih dahulu, memberi keringanan, misal? Mengapa harus mendiamkan semua seolah-olah mengampuni, tapi lantas tiba-tiba menjodohkan tanpa pertanyaan. Bahkan tanggal pernikahannya pun sudah ditentukan.

"Tahun depan, kamu bisa langsung kuliah, Nak. Seperti yang pernah Umma katakan."

Dulu, kalimat itu terasa menggembirakan bagi Salma. Tapi, sekarang tak berasa apa-apa. Lagipula, melihat Abid, Salma jadi ragu apakah kehidupannya akan indah seperti bayangannya. Abid itu kolot dan kaku. Dia itu hanya cocok untuk gadis seperti Husna.

Ketika mengingat Husna, Salma jadi teringat bagaimana reaksi sang sepupu ketika ia mengatakan bahwa Abid adalah cepu. Iya, Husna sangat menyukai Abid. Dan kemungkinan besar, Abid juga menyukai sepupunya itu. Sebab setelah percakapan mereka kala itu, Husna sempat bercerita bahwa Abid membelikannya gamis dan sepasang kaos kaki.

Hubungan yang kacau. Bukan hanya Salma yang patah, tapi Husna juga. Bahkan mungkin … Abid mengalami hal yang sama.

Titik BalikNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ