2. Vondelpark, Sepiring Sate, dan Segelas Wine

31.8K 3.1K 137
                                    

"Lumayan nih bayaran lo, Beb. Nyaris 10M. Bisa buat lo beneran jadi nenek-nenek kaya. Habis itu lo pensiun juga masih bisa tetep kaya. Hidup aja dari endorsan. Atau bikin bisnis yang lo tinggal suruh-suruh doank. Mau hijrah juga bisa." Begitu kata Alvela, manajer Seni di Vondelpark pagi itu.

Sambil terus berlari dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuh, Seni mendengarkan dengan baik. "Tapi gue harus balik ke Indonesia gitu, kan? Males gue. Ogah."

"Ya mau ngapain juga. Mantan suami lo udah tahu lo di sini. Udah nyusulin juga kan kata lo."

"Mana ada nyusulin. Gue nggak tahu ya tujuan dia datang ke tempat launching Wereld Sport kemarin buat apa. Bisa jadi emang lagi ada kerjaan, kan? Secara dia Pak CEO. Ngapain nyusul-nyusulin gue ke sini." Seni berhenti berlari, membuka kacamatanya, lalu berjalan menuju salah satu pohon, dan menjatuhkan diri di rerumputan. "Ah gila, capek banget gue."

"Capek hidup?" Alvela menyusul. Lalu memberikan sebotol minuman untuk model kesayangannya.

"Capek jadi orang cakep." Seni meraih botol, meminumnya. Amsterdam saat summer, Vondelpark yang asri, serta Seni dengan legging serta t-shirt warna hitamnya. Tak terlupa, rambut panjang warna pirang Seni yang diikat kuda, peluh-peluh cantik yang mengucur di tubuh, menjadi bukti bahwa menjadi bidadari memang harus ada capek-capeknya.

Seni dari dulu sudah cantik. Tubuhnya pun tinggi. Tapi butuh waktu 3 tahun penuh dendam untuk memulai menjadi Seni yang sekarang.

Jika orang lain menjadikan olahraga sebagai hobi, bagi Seni olahraga adalah harga mati. Tapi semuanya membuahkan hasil. Di usianya yang sudah kepala tiga, Seni masih sintal bagai perawan muda.

"Nih ya, Al. Kalau emang dia nyusulin gue, niat nyusulin gue. Harusnya udah dari dulu. Kan gue udah beken dari 5 tahun yang lalu. Makanya kalau lo bilang dia sekarang ke sini karena nyusulin gue, it was a complete bullshit."

Alvela menghela napas. Sedikit membenarkan apa kata Seni. "Kalau dia beneran datang buat minta lo pulang gimana?"

"I don't care at all." Seni terkekeh. Pikirannya melayang kembali ke 12 tahun silam. Saat di mana segalanya tentang Seni yang lama sudah berakhir.

Sekarang hanya ada Seni yang baru. Seorang model papan atas. Model yang bisa dingin dan juga bisa panas, yang bisa menyulap media menjadi budak dramanya. Benar, selama ia menjalani sepak terjang sebagai model, Seni tidak pernah sekalipun tunduk kepada orang lain. Dia membangun image-nya sendiri dengan sangat kuat. Segala terpaan miring, gosip tak penting, seolah bukan apa-apa di hidup Seni.

Seni menjadi dirinya sendiri. Foya-foya, senang-senang, atau sedih-sedih, tanpa harus melibatkan orang lain. Jadi meski dia terlibat skandal apa pun, tak pernah ada yang benar-benar membencinya, atau terang-terangan menjadi musuhnya. Karena mereka yang kenal dengan Seni, paham bahwa Seni hanya sedang berbahagia untuk dirinya sendiri.

Semua pria yang dikencani Seni, adalah pria yang tak memiliki istri, atau kekasih hati. Semua skandal yang pernah diciptakan Seni, semuanya adalah permainan dengan hidupnya sendiri. Kecelakaan tunggal dalam keadaan mabuk dan mengemudi sendirian yang berakhir dengan hiatus 3 bulan dan membayar begitu banyak denda pelanggaran. Mangkir dari acara besar karena bangun kesiangan. Lupa memperpanjang visa kerja, izin menetap, dan juga Kartu Diaspora.

Semua skandal adalah urusan Seni dengan dirinya sendiri dan Tuhannya. Termasuk gosip lesbi yang akhir-akhir ini begitu santer berembus.

"Lagian gue di Indonesia udah nggak punya siapa-siapa." Suara Seni melirih. Lalu kembali membara sambil menatap Alvela. "Lagian lo gimana, sih? Disuruh ngurusin dokumen gue biar bisa pindah warga negara nggak dikerjain."

SENANDUNG RUSUK RUSAKWhere stories live. Discover now