15. Terkutuklah Diego Bloom!

Start from the beginning
                                    

Sekarang Samuel bersedia menatapku ... dan itu tidak membuatku tenang. Kedua matanya nanar dan terlihat berkaca-kaca. "Dia menyukai pidato pendekmu mengenai cara memperlakukan orang lain," jelasnya dengan nada suara muram. Sejenak dia berhenti memandangiku, mencoba menyeka sudut air mata menggunakan telapak tangan, kemudian memantapkan niat (entah apa pun yang ada di dalam hatinya). "Flaus mengajukan pertunangan kepada kita. Dia ingin menjodohkan putranya, Deon Flaus, denganmu."

Oh tidak! Hahahaha katakan semua yang aku dengar ini hanya lelucon. PLEASE! "Pa, aku masih SMA dan nggak ingin pacaran dengan cowok sekelas Deon."

Gila apa? Bisa-bisa aku mati lebih awal! Rafael jelas menargetkan Deon Flaus dan itu merupakan keputusan akhir. Menjalin hubungan dengan Deon tidak akan membantuku mengubah nasib menjadi lebih baik. Aku tidak tahu di masa depan Deon akan berubah atau tidak, tapi dia akan menjadi tumbal utama dalam pertikaian antara Verday dan Bloom. 'Ih mati kok ajak-ajak?' Tiada henti dalam hati aku terus menggerutu.

"Pa, aku nggak mau," aku memohon. Anehnya aku tidak menangis. Justru orangtuaku yang menitihkan air mata. Sekarang Evelyn bahkan berlari meninggalkan kami. Mungkin dia ingin menangis sepuasnya meratapi nasib. Aku juga butuh! Aku yang paling butuh! HELL.

"Maafkan Papa," katanya di antara isak dan tangis. "Kakekmu pasti menuntut kita setuju. Sekalipun Benjamin Flaus tidak mengatakan 'harus segera menjawab', tetapi dia pasti menginginkan hal serupa. Kita nggak bisa mengelak."

Aku menggeleng. "Nggak," ucapku menolak mengamini keputusasaan Samuel Bloom. "Pasti ada cara!"

... dan aku pun meninggalkan Samuel, langsung menuju kamar, mengunci pintu, dan mencari ponsel. Dengan tangan gemetar jemariku mencoba menemukan nomor ponsel milik Jessica. Pada dering kedua panggilanku terjawab.

"Re, kebetulan aku ingin...."

"Jess, kamu tahu nomor telepon Dimitri?" tanyaku memotong ucapan Jessica.

"Emmm ya? Dimitri? Aku nggak punya."

"Bukankah orangtuamu ada hubungan bisnis dengan Axton?"

"Re, aneh! Aku kira kalian sudah tukaran nomor!" Bahkan tanpa perlu menjelaskan yang aku perlukan itu nomor Dimitri pun Jessica sudah paham maksudku.

Itulah bodohnya diriku. Selama ini aku tidak berani meminta nomor kontak Dimitri karena ingin menghargai privasi. Namun, sekarang aku sedang berada di ujung tanduk! "Tolong, aku butuh nomor ponsel Dimitri."

"Aku nggak punya," katanya. Aku bisa menangkap penyesalan dalam nada suaranya. "Eh jangan sedih. Aku bisa tanya Ketua Kelas. Dia pasti punya. Kan nomor semua anak sekelas dia yang pegang, Re!"

Barangkali karena mendengar nada suaraku yang terdengar tidak seperti biasa, maka Jessica tidak menuntut. Dia memintaku menunggu dan akan mengirimkan nomor Dimitri melalui pesan singkat.

Begitu mendapat nomor pribadi Dimitri, aku langsung mengirim pesan dan menjelaskan bahwa pemilik nomor itu adalah diriku dan aku meminta izin melakukan panggilan suara dengannya. Mungkin jarang ada yang paham bahwa tidak semua orang suka menerima telepon. Kadang ada yang langsung mengeblok panggilan, ada juga yang membiarkannya tidak terjawab, dan ada yang langsung mengutarakan keberatan. Aku hanya ingin menghindari konflik dengan Dimitri. Hari ini sudah cukup buruk.

Di luar dugaan, justru Dimitri yang melakukan panggilan.

Sontak aku langsung menjawab: "Dimitri...."

Dadaku terasa berat. Aku terduduk di tepi ranjang dan tanpa bisa ditahan air mata bercucuran. Sesak. Seolah aku terjerat dan tidak bisa melarikan diri. Akumulasi beban yang menumpuk dari kehidupan awal sebagai Renata sampai saat ini pun mendorong semua emosi, membuatku tidak bisa mengendalikan diri.

"Rere, tenang."

Aku mencoba menggigit bibir, berharap bisa meredakan kemarahan dalam diriku. Namun, justru darah merembes keluar dari luka akibat gigitan. "Dimitri, bisakah kamu melamarku?"

"Kamu baru bertengkar dengan orangtuamu? Melamarmu nggak akan menyelesaikan permasalahan."

Tanpa bisa ditahan lagi aku pun menceritakan mengenai pertunangan antara diriku dan Deon Flaus. Keputusasaan benar-benar membuatku tercekik dan ... oh aku tidak keberatan mengemis perhatian Dimitri.

"Kamu bisa memutuskan pertunangan usai lulus dari SMA," aku menyarankan. Isak tangis masih saja membuatku kesulitan bicara. Sangat sulit. Hanya karena insting bertahan hidup saja yang menguatkanku. "Begitu lulus, kamu boleh memilih cewek mana pun yang ingin kamu nikahi dan ajak membina rumah tangga secara serius."

Dimitri tidak mengatakan apa pun.

Aku mengabaikan perasaan terlunta yang makin menggumpal dalam diriku. "Tolong aku," ratapku, memohon uluran tangan. "Kakek nggak akan membiarkan Papa menolak lamaran. Dimitri, aku butuh kamu. Hanya kamu yang bisa mengeluarkanku dari jeratan Bloom. Aku ... maksudku, aku ingin bisa hidup dengan orang yang aku cintai."

"Renata...."

"Aku ingin bisa mendirikan kafe," ujarku mengabaikan dering peringatan di kepala. Peringatan mengenai masa depan ketika aku tidak memiliki pilihan atas hidupku sendiri. "Kalaupun kamu nggak mencintaiku, aku ... sungguh aku nggak akan memaksakan apa pun. Aku nggak tahu kepada siapa lagi harus memohon pertolongan. Papa ... Papa nggak sekuat om maupun tante mana pun di Bloom. Dia tidak punya keinginan menyalip usaha siapa pun."

"Aku mengerti, Re."

"Karena itu," lanjutku. "Tolong lamar aku. Kita bisa tunangan secara bohong-bohongan. Kamu boleh mencampakkanku demi siapa pun asal ... kita lulus. Aku akan berusaha mencari perkuliahan dan lulus secepatnya ... kerja. Usaha agar bisa lepas dari...."

Tangisku pecah dan kini aku tidak bisa menyusun ucapan persuasif apa pun.

"Renata, apa kamu yakin dengan pilihanmu?"

"Ya," jawabku usai tangis bisa dikendalikan olehku. "Aku yakin."

"Apa kamu nggak akan menyesal memilihku sebagai tunanganmu?" Dia tidak mengatakan "tunangan palsu". Aneh, tapi anggap saja itu pertanda baik. "Karena aku yakin dengan pilihanku, Renata Bloom."

"Apakah ini berarti kamu setuju menolongku?"

"Sebaiknya kamu minum," katanya menyarankan. "Istirahat. Besok kamu akan mendapatkan kabar yang menyenangkan."

Panggilan pun terputus.

Satu-satunya yang aku yakini hanyalah ucapan Dimitri.

Bahwa esok akan ada kabar menyenangkan.

Selesai ditulis pada 2 September 2022.

Halo, teman-teman.

Nah, ada Dimitri yang akan menjawab pertanyaan kalian terkait bab yang ini. Sudah terbit di KaryaKarsa, ya? Huhuhu.

Oh ya, semoga kalian suka dengan bab ini. Love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

P.S: Jangan lupa jaga kesehatan.

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Where stories live. Discover now