"Beneran? Calon ustadz pesantren ini mosok, toh, mikirin ujian kelulusan? Nama sampean sudah jelas ada di daftar santri yang ditugasin ngabdi di sini tahun depan."

"PD-ne .…" Abid tertawa kecil, "mau bagaimanapun juga, namanya ujian akhir, ya, pasti dipikirin. Udah, sana cepet-cepet ke kelas. Muridnya nungguin"

"Bener, loh?!" Gufron beranjak, tapi menunjuk ke arah Abid.

Abid mengangguk mantap. "Iyo, iyo. Sudah sana berangkat!"

Sepeninggal Gufron, Abid mendesah seraya beranjak. Ia mengamati keadaan masjid, beberapa teman sekelasnya tampak sibuk belajar. Ada yang berkelompok, ada yang sendiri. Beberapa lagi mengaji.

Satu helaan napas lagi, lantas Abid memutuskan untuk berziarah ke kompleks pemakaman keluarga pengasuh di belakang masjid. Ia ingin menyepi sejenak sembari berdzikir.

***

Bu Nyai Saudah masih harus banyak istirahat, ia tengah dalam masa pemulihan. Karenanya, Salma sering berada di kamar ibunya. Hanya saat sekolah dan kegiatan mengaji saja ia meninggalkan Bu Nyai.

Seperti kali ini, Salma duduk di ujung ranjang seraya memijat pelan kaki ibunya. Dua santri perempuan duduk emok pada karpet bulu, tak jauh dari ranjang. Embusan pendingin ruangan, membuat suasana nyaman meskipun di luar pasti sangat panas saat tengah hari begini.

Salma mengajak sang ibunda bercakap-cakap ringan. Ia berharap ibunya bisa segera pulih. Hingga, panggilan Sofia membuatnya menoleh.

"... Mbak mau ngomong," ujar Sofia yang kini berdiri di ambang pintu. Ia berisyarat dengan kepala agar Salma mengikutinya.

Salma beranjak dan mengikuti sang kakak setelah pamit pada ibunya. Sofia mengajak Salma ke kamarnya.

"Duduk!" Sofia menutup pintu dan menggeser kursi belajar. Lalu, duduk menghadap ranjang.

Salma duduk pada ranjang, berhadapan dengan sang kakak.

"Kamu tahu, kan, keadaan Ummah?" tanya Sofia kemudian. Ia menatap Salma tajam.

Salma yang  tak mengerti maksud kakak perempuannya, mengangguk dan menatap sang kakak dengan penuh tanya. "Iya. Memangnya—"

"Syukurlah," potong Sofia, "Kamu bukan anak kecil Salma. Umurmu sudah menginjak dua puluh. Mbak harap, kamu nggak berbuat sesuatu yang bisa membuat keadaan Umma memburuk."

Salma semakin tak mengerti. "Tentu saja. Memangnya aku bakal ngapain?"

"Bakal ngapain? Abuya tahu kamu punya pacar!"

Bagai tersambar petir di siang bolong. Ah, kali ini memang tengah hari. Udara pun sangat—bahkan terlampau—cerah. Tapi, kabar ini memang bak petir yang telah telah memorak-morandakan hati Salma. Ia tak percaya bahwa hubungannya dengan Ishak bisa terbongkar. Bayangan Abid dan Husna seketika berkelebat di benaknya.

Salma hanya terdiam. Menunduk. Dia tak tahu harus berkata apa. Membela diri juga tak mungkin. Mengiakan apalagi.

"Kamu nggak perlu pingin tahu kapan dan dari mana Abuya tahu. Yang jelas, jaga sikap mulai sekarang. Berdoa saja agar Abuya nggak menghukum kamu."

Salma masih menunduk. Setetes air mata jatuh pada telapak tangannya. Dadanya sesak membayangkan harapannya telah hancur. Mengapa ia harus mengalami dua hal yang menyakitkan begini secara bersamaan?

"Tapi, Mbak, dia … dia …" Salma tak mampu berkata-kata. Ia sangat ingin menjelaskan siapa Ishak, berharap sang kakak mau membantu membujuk ayahnya.

"Lelaki itu anak kiai?" Sofia bersedekap seraya mendengkus. Ia kini memundurkan tubuh dan bersandar pada sandaran kursi. "Mau dia malaikat maut sekali pun, nggak akan menghilangkan kekecewaan Abuya."

Air mata semakin deras menetes pada telapak tangan Salma. Ia mencoba menahan isak tangisnya.

"Mbak yakin sebenarnya kamu selalu ingat, Salma," lanjut Sofia lagi, "kita ini harus bisa menjadi teladan bagi para santri. Jika hal ini sampai terbongkar ke luar, mau ditaruh di mana kehormatan pesantren? Bagaimana kata orang-orang nanti? Tetangga, wali santri, alumni, hah?!"

Salma hanya mengangguk. Ia merutuki ketidaksabaran dan kecerobohannya.

"Mengapa kamu nggak bisa menahan diri …? Bayangkan kalau kamu nikah sama lelaki itu! Orang-orang akan mencemooh keluarga kita. Pesantren ini, Salma. Ningnya pacaran, bagaimana dengan santrinya? Kepercayaan terhadap pesantren ini akan rusak dalam sekejap. Pondasi dakwah lebih dari seratus tahun yang dibangun mbah-mbah kita harus runtuh hanya karena hawa nafsumu."

Salma tak bisa menahan isak tangis mendengar kalimat terakhir Sofia. Rasa bersalah menggerogotinya.

"Mbak nggak mau mendengar yang aneh-aneh lagi. Pikirkan semua baik-baik. Berdoa saja dan minta yang terbaik pada Allah." Sofia beranjak, meninggalkan Salma dengan tangisnya.

" Sofia beranjak, meninggalkan Salma dengan tangisnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Titik BalikWhere stories live. Discover now