EPILOG

17 2 0
                                    

"Ibu aku berangkat." Lutifia mengangkat ranselnya dan menyangkutkan di sebelah pundak.

"Sebentar, Tifa. Kau melupakan bekalmu." Liana memasukkan sebuah kotak makanan berwarna biru muda ke dalam ransel putrinya. "Belajarlah dengan baik."

Lutifia menganggukkan kepalanya lalu menarik tuas pintu rumah. Beberapa langkah dari rumah, gadis itu diinterupsi seseorang.

"Jangan lupa nanti ajak Tere, Susi, Daya dan Diana sepulang dari balai belajar ke tebing dekat hutan pinus! Kalian nanti temui aku dulu di gudang, kita akan berangkat bersama," teriak Gate dari samping rumah.

Lutifia menghela napas. "Aku tahu, Gate. Tak perlu berteriak. Berisik!"

Gadis itu kembali berjalan menuju komplek jalanan berupa paving, area balai belajar. Kabut sesekali menghalangi penglihatannya, Lutifia berangkat dengan memakai mantel bulu yang ia peroleh dari Samer. Pagi hari di Desa Sawar memang sangat dingin. Layaknya udara ketika pergantian musim gugur ke musim dingin. Menusuk lapisan epidermis kulit. Rambutnya disanggul seperti biasa. Berjalan santai sambil menikmati udara pagi hari khas Desa Sawar. Samar ia mendengar cuitan burung yang saling bersahutan dipadukan dengan suara langkah kakinya. Dulu suara itu terdengar lebih ramai. Abstrak. Bukan seperti sekarang yang seperti memiliki tempo. Suara langkah kaki adiknya yang selalu menggema di telinga Lutifia. Gadis itu merasakan keanehan, seperti ada sesuatu yang hilang. Yang seharusnya ada untuk menyamai langkahnya.

Sudah satu tahun sejak kematian Dicki. Lutifia tidak akan pernah lupa hari dimana ia kehilangan adik laki-lakinya. Namun hidup harus terus berjalan. Semakin berjalannya waktu gadis itu akan baik-baik saja, setidaknya nampak seperti itu. Setelah pemakaman Dicki usai, Samer kembali ke Negara Amsta seminggu kemudian. Ia tidak kembali pada organisasinya di Manhattan, melainkan kembali ke ibu kota Amsta. Anger membutuhkan paman Lutifia untuk urusan diplomasi. Walau demikian, baik Anger maupun Samer beberapa kali mengirim surat pada Lutifia dan keluarga. Keduanya sangat sibuk sehingga tidak sempat berkunjung selama satu tahun belakangan.

Dunia terlihat damai di tengah krisis lingkungan hidup. Tidak ada perang yang terjadi. Lutifia berharap hal itu berlangsung lama sampai bumi bisa pulih seperti sedia kala. Pernah gadis itu berpikir untuk menumbuhkan pohon di seluruh penjuru dunia, namun ia takut jika nantinya kejadian sulur beracun terulang kembali. Gadis itu masih belum bisa mengendalikan energi bintangnya. Lagi pula, kekuatan itu menjadi rahasia di Desa Sawar. Tidak ada yang tahu tentang kekuatan nyanyian lumut dan guardian. Hanya keluarga Lutifia yang mengetahuinya, itu adalah usul Samer agar merahasiakannya saja dari penduduk desa. Lebih sedikit yang tahu, maka itu lebih baik.

Langkah Lutifia terhenti tatkala matanya menangkap sosok gadis berambut cokelat di depan pagar kompleks balai belajar. Pagar besi setinggi tiga meter. Beberapa bagiannya sudah berkarat termakan usia dan oksidasi. Bangunan besar di dalamnya bisa ia lihat. Tidak terlalu jelas karena kabut di pagi hari memang sangat tebal. Gadis di depannya melihat lamat-lamat jauh di balik pagar tanpa bergerak seinci pun dari tempatnya. Rambutnya di gerai, agak sedikit kabur. Tercampur dengan kabut yang memenuhi penjuru arah. Karena warna cokelat yang tidak dominan, membuat warna rambut gadis itu menjadi semu. Berbeda jika itu Lutifia, hitam kelam akan sangat kontras dengan kabut-kabut itu.

"Apakah ada yang aneh dengan pagarnya?" Sekejap Lutifia memposisikan badannya bersebelahan dengan gadis itu.

"Oh, tidak ... tidak, Tifa."

Lutifia memiringkan alisnya. "Lalu, kenapa kau tak lekas masuk?"

Gadis itu menunduk, membiarkan sebagian rambutnya jatuh dari pundak. Ia mulai meremas ujung blazernya. "Aku ... aku hanya...." Ia menghembuskan napas, pertanda bahwa gadis di sampingnya akan mendapat jawabannya segera. "Aku hanya merasa aneh tiap kali melewati pagar ini. Berlagak seperti remaja pada umumnya. Pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada dunia luar. Sungguh. Aku berpikir, apa perlu kita belajar? Apa perlu nyanyian lumut dan guardiannya pura-pura mempelajari hal yang jelas-jelas ia sudah tahu, bahkan lebih dari buku-buku yang ada di sana."

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now