Dua Puluh Tujuh

83 2 0
                                    

Anggi berlari cepat di koridor rumah sakit kala dia mendengar kabar bahwa Raga telah sadar dari komanya. Napas cewek itu terengah-engah, lantaran jarak antara gerbang rumah sakit dan ruang ICU yang cukup jauh.

Sesampainya di ruang ICU, Anggi tak mendapati Wina dan Sanjaya di sana, mungkin saja mereka ada di dalam ruangan. Anggi pun langsung melihat pada kaca yang ada di pintu, benar saja, di dalam ruangan Raga ada Wina dan Sanjaya yang tengah memeluk Raga. Cewek itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam, dia membiarkan keluarga kecil itu saling menyalurkan kerinduan.

Anggi bernapas dengan lega saat melihat Raga kini baik-baik saja, cewek itu bahkan mengeluarkan air matanya saking bahagia melihat Raga. Dia akan menceritakan pada Raga apa saja yang dia alami selama Raga koma, bahkan saat dia mengetahui siapa Raga sebenarnya.

Anggi pun memutuskan untuk duduk di kursi tunggu, dia sebenarnya sudah tak sabar bertemu Raga, tetapi tak bisa egois karena saat ini orang tua Raga kini tengah melepas rindu.

Namun, belum sampai semenit Anggi duduk, kedua orang tua Raga keluar dari ruangan. Kedua paruh baya itu terkejut melihat Anggi yang duduk di kursi tunggu.

"Gigi udah lama duduknya?" tanya Wina lembut.

Anggi menoleh, dia tersenyum melihat Wina yang menatapnya. Mata mamanya Raga terlihat sembab, pasti sehabis menangi. Kemudian, Anggi menggeleng sebagai jawaban.

"Baru sampai, kok, Tante," ujar Anggi.

"Mau ketemu sama Gaga?"

Mata Anggi berbinar. Dia senang. Tentu saja mau bertemu dengan Raga. Ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Raga.

"Boleh, Tante?" tanya Anggi meminta izin.

"Boleh, kok. Pasti Gaga juga pengen ketemu."

Anggi pun langsung bangkit dari duduknya, bergegas masuk ke ruangan Raga. Namun, sebelum itu, dia memilih untuk mencium punggung tangan Wina dan Sanjaya sebagai tanda terima kasih karena telah diizinkan untuk bertemu Raga. Lalu Anggi masuk, dia menemukan Raga yang cuma diam dan menatap lurus ke kanan. Raga bahkan tak sadar dengan kedatangannya.

"Gaga?" panggil Anggi pelan.

Raga menoleh, tetapi wajahnya sama sekali tak menunjukkan kebahagiaan. Dia malah menatap Anggi tajam, seolah tak suka melihat Anggi di sini.

"Vigo yang ngasih tahu?"

Anggi menahan napasnya beberapa detik. Dia kira, Raga akan senang, tetapi berbanding terbalik, Raga menatap tajam. Jelas hal itu membuat Anggi tak percaya, yang dia mau adalah melihat wajah Raga bahagia saat dipanggil Gaga.

"Jawab, Anggi," desak Raga dengan lemah karena baru saja bangun dari komanya.

Tadi mamanya sudah cerita soal pertemuan mereka dengan Anggi, tapi Raga ingin mendengar langsung dari Anggi. Bisa saja, Anggi dan Vigo sepakat bekerja sama, dengan alibi Anggi tak sengaja melihat mamanya di depan ruang ICU.

"Vigo gak ngasih tahu apa-apa. Gue tahu sendiri. Lo tahu, gue benci banget dengan Vigo yang sembunyikan semuanya dari gue," tutur Anggi.

"Gue yang nyuruh Anggi," balas Raga. Karena nyatanya memang begitu, dia meminta Vigo untuk menyembunyikan semuanya dari Anggi bahkan dengan semua teman-teman mereka.

"Kenapa disembunyikan, Ga? Lo tahu 'kan, gimana gue nyariin lo dan ternyata orang yang gue cari selama ini cuma lo?"

"Gue gak mau karena gue penyakitan, lo jadi iba sama gue, di saat lo punya perasaan sama Vigo."

"Gue gak punya perasaan apa-apa sama Vigo, Gaga," sanggah Anggi cepat. Dia benar-benar tak memiliki perasaan apa-apa pada Vigo. Dulu saja, mengejar Vigo hany karena merasa kesepian dan menjadikan Vigo sebagai pelarian.

"Sekalipun lo sakit, gue gak akan pernah iba sama lo. Lo tetap Gaga gue, Gaga yang kuat yang selalu bantuin gue walau lo juga lagi kesusahan. Gue mau, Gaga gue kembali kayak dulu."

Raga menggeleng pelan, lalu berkata, "Gi, gue bentar lagi bakal mati. Jangan terlalu berharap kalau gue bisa kembali."

"Ngomong apa, sih? Mau gue pukul?"

"Gak ada yang bisa diharapkan sama orang yang bentar lagi bakal mati, Anggi," kata Raga.

Anggi menggeleng cepat. Tidak, Raga tak boleh pergi meninggalkannya sebelum membuat dia bahagia. Anggi mau
Raga. Anggi mau Raga sembuh. Dia baru saja mengetahui fakta bahwa Raga adalah Gaga. Anggi tak ingin Raga pergi secepat itu meninggalkannya.

"Kita gak tahu ajal itu kapan datangnya, bisa jadi yang pergi lebih dulu itu gue," balas Anggi. Dia tak suka mendengar perkataan Raga. Matanya bahkan sampai berkaca-kaca mendengar perkataan Raga yang tak seharusnya dia dengar.

"Kenyataannya emang gitu, Gigi," kata Raga tak mau kalah. Dia tak ingin berharap terlalu tinggi.

Lagi, Anggi menggeleng cepat, tak suka mendengarnya. Air mata cewek itu kini membasahi pipinya, sesakit ini rasanya mengetahui bahwa sahabat kecilnya kini menyerah dengan hidupnya.

"Kita berjuang sama-sama, Ga. Please, kita berjuang sama-sama. Suka duka. Lo juga gak boleh pergi sebelum lo buat gue bahagia."

***

Di luar ruangan Raga, ada Vigo, Lingga, juga Laura. Mereka baru saja mendapatkan kabar dari mamanya Raga kalau Raga sudah sadar. Jelas saja, ketiganya langsung meluncur ke rumah sakit. Namun, mereka tak bisa masuk karena di dalam masih ada Anggi. Ketiganya melihat Anggi dan Raga yang tengah berbincang, terlihat serius hingga membuat mereka takut untuk mengganggu.

"Masih belum dapat donor ginjal, ya, Tante?" tanya Lingga hati-hati.

Wina menggeleng pelan, sekalipun Raga yang sudah sadar, mereka masih dipusingkan dengan pendonor ginjal untuk Raga. Sudah mencarinya, dan harus cocok dengan ginjal Raga.

"Tante sama Om masih berusaha."

"Aku juga bakal bantuin cari. Aku bakal coba minta tolong sama papa," ucap Lingga. Lingga memang sudah tahu kalau Raga membutuhkan donor ginjal, tetapi dia sama sekali tak tahu kalau Vigo berencana untuk mendonorkan ginjalnya.

"Makasih, Lingga. Tenta senang Raga bisa dapat teman-teman sebaik kalian," balas Wina.

Lingga mengangguk, dia tersenyum kecil kemudian mengelus lembut pundak Wina, mencoba menguatkan Wina.

"Tante sama Om mau ke kantin dulu, tolong jaga Raga, ya?" pamit Wina.

Ketiganya mengangguk, kemudian Wina dan Sanjaya meninggalkan ketiganya.

Sekitar sepuluh menit menunggu, Anggi pun keluar, cewek itu mengusap matanya agak kasar karena mengingat ada mama dan papa Raga. Tapi ternyata, ada Vigo, Lingga, dan Laura di luar ruangan.

Ekspresi wajah Anggi yang tadinya sedih, berubah menjadi datar saat melihat Vigo. Cewek itu jelas saja masih marah pada Vigo yang menyembunyikan fakta tentang Raga padanya. Kalau saja Vigo mengatakan sejak dulu, semuanya tak akan seperti ini, Anggi tak akan menemukan Raga dalam keadaan sakit parah.

"Gue udah selesai, ada lagi yang mau masuk?"

"Gue," seru Lingga. Cowok itu menggenggam tangan Laura. "Ra, ayo masuk."

Setelahnya, kedua orang itu pergi meninggalkan Vigo dan Anggi di luar. Anggi hanya diam, tak memiliki niat untuk mengajak berbicara, sementara Vigo menatap Anggi lembut.

Tak kuasa karena keheningan yang menghampiri keduanya, Vigo pun berkata, "Raga bakal sembuh, Gi. Sebentar lagi bakal ada donor ginjal untuk dia."

Jelas saja, itu menimbulkan banyak tanda tanya untuk Anggi. Dari mana Vigo tahu kalau Raga akan mendapatkan donor ginjal?

***

Kamis, 18 Agustus 2022

#1090 word

Plot Twist (END)Where stories live. Discover now