Delapan

103 11 2
                                    

Mobil Lingga berhenti tepat di parkiran villa yang tempatnya berada di pinggir pantai pada di pukul lima sore. Semuanya turun dan mengangkut barang masing-masing. Begitu pula dengan Anggi yang kesusahan mengangkut barangnya.

"Sini gue bantuin," kata Raga menawarkan diri saat mereka menaiki tangga. Namun, belum juga Anggi menerima tawarannya, dia sudah lebih dulu mengambil koper Anggi yang cukup besar.

"Ih, berat banget," keluh Raga kala mengangkat koper Anggi. "Lo bawa baju buat nginep dua hari atau buat pindahan?" tanya Raga dengan nada candaan.

Sayangnya, itu malah dianggap Anggi serius.

"Lo kalau gak ikhlas bantuin, mending gak usah bantuin gue. Banyak ngomong," balas Anggi dengan nada kesal. Cewek itu rasanya ingin memukul wajah menyebalkan Raga.

"Dih, khodamnya Vigo marah," ejek Raga sukses membuat wajah Anggi memerah lantaran marah.

"Gue kok gak ikhlas, ya, koper gue dibawain sama lo?"

Seperti biasa, Raga sama sekali tak marah, dia malah bahagia melihat wajah kesal Anggi.

***

Setelah bersih-bersih badan mereka karena perjalanan sekitar tiga jam dan waktu telah menunjukkan pukul enam, Anggi dan Laura memutuskan untuk memasak. Sementara para cowoknya, sibuk bermain PlayStation.

"Gimana, Gi? Udah ketemu?"

Anggi menggeleng pelan, dia sudah mencari. Bertanya dengan teman-teman SD Gaga, katanya mereka tak mengenal orang yang bernama Gaga. Sayangnya, ketika mereka bertanya nama asli Gaga, dia sama sekali tak tahu. Hal itu yang membuatnya kesusahan mencari Gaga. Teman-teman SD SD Gaga sebelum Gaga pindah, mengatakan kalau Gaga pindah ke Jakarta. Bersyukur salah satu teman Gaga mengetahui di sekolah mana dia pindah, sehingga Anggi bisa langsung bertanya pada salah satu alumni di sekolah Gaga dulu.

Namun, orang yang bernama Gaga sama sekali tak ada, ditambah dengan Anggi yang tidak mengetahui nama lengkap Gaga.

"Udah nanya berapa orang?"

Jujur saja, Laura prihatin dengan Anggi. Mencari sahabat kecilnya, hingga rela tak tinggal bersama keluarga besarnya.

"Cuma satu orang, itu pun dia gak kenal sama Gaga. Katanya gak ada orang yang namanya Gaga," jawab Anggi lemah.

"Terus, gimana lo sama Vigo?"

Kening Anggi mengernyitkan, dia yang tadinya tengah menggoreng ayam pun menoleh pada Laura.

"Maksud lo?"

"Gimana perasaan lo sama Vigo? Lo beneran suka sama dia atau hanya jadiin dia pelarian dari kesepian lo?" tanya Laura lagi, memperjelas pertanyaannya.

Seketika, ekspresi wajah Anggi berubah menjadi datar. Dia kembali fokus pada ayam yang tengah digoreng, sejenak diam kemudian berkata, "Lo terlalu ikut campur, Ra."

"Demi lo, Gi. Gimana kalau seandainya Vigo tahu lo ngejar dia hanya sebatas pelarian?"

Anggi tak menjawab.

"Itu berimbas sama lo. Vigo marah dan tentunya bisa jadi ketiga sahabat karib itu, benci sama lo."

Anggi tetap diam, mencerna perkataan Laura. Benar kata Laura, kedua sahabat Vigo—Lingga dan Raga—bisa jadi membencinya. Tapi, sungguh Anggi hanya butuh teman. Dia kesepian, butuh teman bercerita. Bercerita pada Laura dia juga tak bisa karena Laura juga memiliki masalah dengan Lingga. Ini saja yang ajak Laura bukan Lingga, tapi Vigo.

"Gi," panggil Laura pelan.

"Diam, Ra," pungkas Anggi sukses membuat Laura diam.

"Berapa kali gue bilang, itu urusan gue."

Plot Twist (END)Where stories live. Discover now