Dua Puluh Tiga

71 3 0
                                    

Hasil tes kecocokan ginjal dengan Raga menandakan kalau ginjap Vigo cocok dengan Raga. Namun, tiba-tiba hati cowok itu jadi ragu, apakah dia harus mendonorkan ginjalnya tanpa izin orang tua atau harus meminta izin pada orang tuanya?

Vigo kira hasilnya akan keluar seminggu lagi, tapi ternyata hasilnya keluar setelah dua hari menjalani kecocokan.

"Gue harus gimana, Raga?" gumam Vigo.

Cowok itu mengusap wajahnya kasar, frustrasi lantaran harus menghadapi keraguannya. Belum lagi Raga yang pastinya tak setuju kalau dia mendonorkan ginjalnya.

Vigo menyimpan surat itu di meja belajarnya, dengan keadaan terbuka. Dia akan memikirkan langkah apa yang akan diambil, sebelum memutuskan. Vigo perlu memikirkan secara matang matang, tak ingin mengambil keputusan tanpa berpikir panjang lebih dulu, yang bisa saja akan menimbulkan masalah dikemudian hari.

Cowok itu kemudian turun menuju lantai bawah, untuk sarapan. Dia harus secepatnya turun untuk sarapan sebelum mamanya memanggil dan akan mengomel tanpa henti.

"Mama kira belum bangun," ujar Sasa.

Vigo hanya berdeham, dia kemudian menarik kursi untuk duduk dan mulai menyantap roti tawar dengan selai blueberry kesukaannya. Cowok itu tak banyak bicara, hanya diam menikmati makanannya. Lalu dia melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh, dia masih ada waktu. Namun, Vigo tak ingin berlama-lama, dia ingin ke sekolah secepatnya.

Susu yang baru saja diletakkan di sampingnya langsung diminum hingga tandas, beruntung susu itu tak panas. Setelahnya, cowok itu bangkit dari duduknya, dan menyalim pada Sasa. Papanya tak ada, karena semalam pergi di luar kota untuk dinas.

"Raga gimana?"

"Gak tahu, udah jarang ke sana," jawab cowok itu seadanya. Padahal dia sebenarnya sering ke rumah sakit menjenguk Raga, bahkan cowok itu sering sekali membawakan Raga parsel buah walau Raga tak memakannya.

"Udah dapat pendonor?"

Lagi, Vigo menjawab, "Gak tahu."

"Nanti kita jenguk sama-sama, ya?"

Vigo hanya mengangguk. Semenjak dia dimarahi karena berniat mendonorkan ginjalnya untuk Raga, cowok itu jadi lebih cuek dengan mama papanya, bahkan jika pertanyaan yang menurutnya sekadar basa-basi, tak akan dia jawab.

"Pamit, Ma."

Setelahnya, cowok itu pamit ke sekolah, meninggalkan mamanya yang kini menunduk sedih. Sasa tahu, anaknya pasti marah karena mereka tak mengizinkan untuk mendonorkan ginjalnya untuk Raga. Namun, ibu mana yang mau kehilangan anaknya, ibu mana yang mau melihat anaknya sakit. Terkadang, Sasa juga merasa bersalah, karena sejauh ini, Vigo selalu menuruti perkataannya dan suaminya. Mungkin, permintaan Vigo untuk mendonorkan ginjalnya untuk Raga adalah permintaan yang pertama. Selama ini Vigo tak pernah meminta apapun pada mereka. Semua fasilitas yang dia miliki langsung diberikan tanpa meminta.

Sasa menghela napasnya lelah, kemudian merapikan meja makan dan menutupnya dengan tudung saji. Mamanya Vigo itu berniat untuk membersihkan rumah. Pertama, dia akan membersihkan kamar Vigo, kemudian kamarnya dan suaminya, lalu semua disusul dengan ruang-ruang yang ada di rumah.

Saat masuk kamar Vigo, pertama kali yang Sasa lihat adalah meja belajar Vigo. Laptop yang masih menyala, lampu belajar yang tak dimatikan, buku-buku banyak yang terbuka dan ada beberapa kertas di meja belajar anaknya. Wanita itu menggeleng tak habis pikir dengan Vigo.

Memang, anak cowok sangat jarang merapikan kamar mereka. Sasa mulai merapikan meja belajar Vigo, merapikan buku-buku, mematikan laptop dan lampu belajar, kemudian mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan.

Gerakan Sasa terhenti saat melihat ada surat keterangan dari rumah sakit. Jantung Sasa berdetak kencang, tangannya bergetar memegang surat itu, bibirnya pun begitu apalagi saat membaca isi suratnya.

Surat keterangan hasil tes kecocokan ginjal dengan Raga. Anaknya benar-benar berniat untuk mendonorkan ginjalnya pada Raga, sekalipun sudah dimarahi.

Ya Tuhan, apa yang harus dilakukan Sasa? Apa Vigo tak memikirkan perasaan orang tuanya? Kenapa tiba-tiba mengambil keputusan seperti ini tanpa izin? Kenapa tidak mencari solusinya bersama-sama?

Sasa tahu, Raga orang yang sangat penting di hidup Vigo, Raga yang membawa Vigo untuk keluar dari ketepurukan. Raga yang membuat Vigo berhenti menyicipi narkoba, semuanya Raga. Tapi, Sasa juga tak ingin kehilangan anaknya.

Wanita itu mengambil ponselnya di saku daster, kemudian menelepon anaknya.

"Halo?"

Bukannya membalas, Sasa malah membekap mulutnya dan menangis. Kenapa dia malah memiliki firasat kalau Vigo akan meninggalkannya?

"Ma, kenapa?"

"Di mana?" akhirnya, Sasa membuka suaranya.

"Di jalan, mau ke sekolah, 'kan tadi Mama udah liat," jawab Vigo.

"Pulang, Mama tunggu."

***

Vigo tak mengerti, kenapa mamanya tiba-tiba menyuruhnya untuk pulang, bahkan langsung mematikan sambungan telepon kala dia bertanya alasannya. Alhasil, cowok itu memutar balik, dan batal ke sekolah. Dia terpaksa harus izin dengan alibi sakit.

Sesampainya di rumah, Vigo menemukan mamanya yang tengah duduk di ruang tamu dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Namun, mata Vigo tertuju pada kertas yang sangat dia kenal.

Sial. Cowok itu lupa menyimpan kertas itu, sekarang mamanya sudah melihat.

"Ma," panggil Vigo pelan.

Sasa menatap anaknya datar, tetapi sukse membuat Vigo ketakutan. Mamanya sudah tahu, dia yakin setelah ini akan dimarahi.

"Kenapa sambil keputusan tanpa ngomong sama Mama Papa? Kamu anggap kita ada, gak sih?"

"Maaf, Ma."

"Vigo, donorin ginjal itu beresiko, kamu harus tahu itu bisa saja buat kami kehilangan kamu. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa," tutur Sasa.

"Ma, Vigo hanya mau Raga sembuh. Raga sakit, Ma. Vigo Mau bantuin dia, selama ini Vigo beliau pernah bantuin dia," balas Vigo.

"Tapi gak kayak gini, Vigo. Kita bisa carikan Raga pendonor yang lain."

"Tapi siapa, Ma?" sentak Vigo. Dia melupakan sedang bicara dengan mamanya.

"Raga sekarang, dia sampai sekarang belum sadar. Bahkan bisa jadi, kalau alat-alat di tubuhnya dilepas, Raga bakal pergi selamanya."

Mata Vigo memerah, cowok itu tak kuasa memikirkan Raga yang kini koma di rumah sakit. Sampai sekarang bahkan Raga belum sadar. Vigo tak bisa kehilangan sahabat yang sudah membawanya keluar dari jahatnya dunia, Raga yang membawakan kebahagiaan padanya, Raga yang menerangi jalannya. Bagaimana bisa Vigo hanya diam saja saat melihat Raga sakit?

"Raga butuh donor ginjal secepatnya. Cari pendonor yang cocok itu gak gampang, Ma. Cuma satu ginjal saja, Vigo masih punya ginjal satunya," lanjut Vigo.

Sasa menggeleng, tak setuju.

"Tapi itu berakhir fatal, Vigo. Bisa saja itu menyebabkan kematian."

"Ma, kalau seandainya setelah operasi Vigo gak selamat, berarti umur Vigo emang cuma sampai di sini."

Sasa kembali menggeleng cepat, dia tak setuju anaknya mendonorkan darahnya. Dia tak mau kehilangan Vigo. Sama halnya dengan Raga, Vigo juga cuma anak satu-satunya.

"Mama gak setuju, Vigo. Mama gak setuju."

"Ma, Raga butuh bantuan. Ini pertama kalinya Vigo bantuin dia," ungkap Vigo. "Vigo cuma butuh dukungan dari Mama dan Papa. Untuk masalah ajal, kita serahkan pada Yang Maha Kuasa."

***

Sabtu, 14 Agustus 2022

#1061 word

bougenvilleap_bekasi
Lyviajkm
_queennzaaa
Silvaqueen__

Plot Twist (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang