Empat

115 18 3
                                    

Hari Senin sore ini, Anggi, Laura, Vigo dan Raga, tengah kerja kelompok di rumah Anggi. Awalnya di rumah Laura, tapi Anggi meminta untuk kerja kelompok di rumahnya. Namun, mereka bukannya kerja kelompok malah berdebat, terlebih lagi Anggi dan Raga yang tak henti-hentinya berdebat.

Sementara Laura, dia mengerjakan tugas kelompok mereka sendiri. Dia tak peduli dengan Anggi dan Raga yang saling cek-cok dan Vigo yang cuma memainkan game di ponselnya.

"Gak, bagian lo itu paragraf pertama," kata Raga menggeleng cepat.

"Gak mau, lah. Gue yang ketiga, karena Vigo yang terakhir," tolak Anggi mentah-mentah.

"Apaan?"

"Gak mau, pokoknya gue nulis yang ketiga," pungkas Anggi.

Keduanya sejak tadi cek-cok mulut tentang siapa yang menulis lebih dulu. Raga mau Anggi menulis paling awal, tapi Anggi mau menulis yang ketiga. Alhasil, keduanya cek-cok mulut dari pertama kali memulai ingin menulis sampai sekarang.

"Lo yang pertama, tulisan lo 'kan bagus," ujar Raga.

Anggi yang tadinya sudah tak ingin berdebat, kini kembali tersulut emosi. Dia kesal lantaran Raga bersikeras ingin dia yang menulis yang pertama.

"Gak mau, Raganjing. Gue harus yang ketiga, biar berdampingan sama Vigo. Sekalipun gak bisa berdampingan, setidaknya tulisan gue sama dia bisa berdampingan," tutur Anggi sukses membuat Raga mencibir.

"Lo yang pertama pokoknya," putus Raga tanpa menunggu persetujuan Anggi.

Kesal mendengar keduanya berdebat, Laura membanting pulpen cukup keras, hingga membuat keduanya berhenti. Begitu juga dengan Vigo yang langsung menghentikan permainannya.

"Lo berdua dari tadi berisik gak habis-habis. Ini udah mau malem. Bagian pertama sama kedua udah selesai gue tulis, tapi lo berdua masih belum selesai berdebat," omel Laura menatap keduanya tajam.

Kemudian cewek itu beralih pada Vigo yang kini diam sambil menatap ponselnya.

"Lo juga, Go. Bisa-bisanya lo cuma main game tanpa bantuin gue atau lerai mereka."

Vigo juga kena omel. Mereka tahu bagaimana seramnya Laura kalau marah. Laura berdecak kesal melihat ketiganya, setelah itu dia kembali lanjut menulis dibandingkan mengomel pada ketiga orang itu. Ketiganya diam, tapi tak lama karena kembali bersuara akibat pertanyaan Vigo untuk Anggi.

"Nyokap bokap lo mana?"

Seketika Laura menghentikan aktivitasnya, dia mendongak menatap Anggi yang cuma diam saja. Sedangkan Raga, mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Sementara orang yang ditanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu. Saking tidak berartinya dia dihidup Vigo, cowok itu sama sekali tak tahu kalau Anggi sudah tak memiliki orang tua semenjak kelas sembilan SMP.

"Udah gak ada," jawab Anggi seadanya dengan suara bergetar. Jelas saja dia merasa sakit hati lantaran Vigo sama sekali tak mengetahui hal tentang dirinya.

Hah? Vigo benar-benar tak menyangka kalau Anggi sudah tak memiliki orang tua. Apa Anggi tinggal sendiri di rumah bertingkat dua ini?

"So-sorry," ucap Vigo tak enak hati karena sudah bertanya hal yang sensitif pada Anggi. Ternyata ada hal yang masih tak dia ketahui tentang Anggi, saking dia tak pedulinya pada Anggi.

Cowok itu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut rumah Anggi, matanya tertuju pada satu bingkai foto yang terletak tepat di dekat nakas samping kirinya. Foto dua orang anak kecil berbeda kelamin. Tangannya tanpa permisi bergerak mengambilnya foto itu, mengamati orang yang ada di foto.

"Ini siapa?" tanya Vigo. Entah mengapa, cowok itu tiba-tiba ingin mengenal Anggi lebih jauh lagi.

"Ih, Vigo ... malu, itu foto gue waktu kecil," rengek Anggi berusaha merebut bingkai foto dari Vigo, tapi Vigo langsung menjauhkan.

"Balikin, gak?"

"Yang di samping lo siapa?"

"Ih, balikin," rengek Anggi lagi.

Ketika tangan Anggi telah menggapai bingkai itu, Vigo memegangnya lembut. Dia menatap Anggi dalam, lalu berkata dengan pelan nan lembut, "Nanti tangan lo luka, hati-hati."

Jantung Anggi tak nyaman, terus berdetak kencang lantaran perlakuan Vigo tanpa diduga. Lembut sekali, hingga membuat Anggi terbang ke awang-awang. Anggi bahkan tak bisa berkutik, perlakuan Vigo malah membuatnya tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Apa alasannya sebenarnya mengejar Vigo? Benarkah karena menyukai Vigo? Atau hanya menjadikan Vigo sebagai pelarian dari kesepiannya? Lalu perasaan yang dia miliki untuk sahabatnya sejak kecil? Sejak dia kecil, Anggi menganggap kalau dia mencintai sahabatnya hingga sekarang. Sahabatnya tak 'kan terganti.

"Gi, ini siapa?" tanya Vigo lagi.

"Sahabat kecil Anggi." bukan Anggi yang menjawab, melainkan Laura.

"Ra," tegur Anggi. Dia sudah berencana untuk menyembunyikan ini dari Vigo, agar Vigo tak semakin menjauhinya. Akan tetapi, Laura malah tak peduli dan melanjutkan semuanya.

"Anggi lagi nyari-nyari dia, tapi sampai sekarang masih gak ketemu," ucap Laura. Cewek itu tak membongkar semua, dia tak membongkar perihal Anggi yang masih memiliki perasaan pada sahabatnya itu.

"Kenapa lo nyari dia?"

"Gue rasa lo gak perlu tahu alasannya."

Lagi, Laura yang menjawab bukan Anggi. Karena Laura yakin, Anggi akan keceplosan sendiri.

***

Karena tugas kelompok mereka belum selesai, Laura, Vigo, juga Raga sepakat untuk menginap di rumah Anggi. Tentunya mereka juga sudah izin lebih dulu pada ketua RT agar tak menjadi salah paham nantinya. Bahkan, kali ini Lingga juga datang menemani mereka.

Setelah makan malam bersama dengan menu seadanya, mereka memilih untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali mengerjakan tugas. Anggi mengambil kesempatan itu untuk berbicara empat mata dengan Laura. Anggi mengajak Laura berbicara di dapur.

"Gue udah bilang 'kan, untuk sembunyikan semuanya?"

Laura menghela napasnya. Dia sadar, tadi itu salah, tapi dia hanya ingin menjawab seadanya. Maksud Laura juga baik, siapa tahu Vigo bisa membantu Laura.

"Kenapa lo bongkar, Ra? Gimana kalau Vigo jauhin gue?"

Sementara itu, Vigo yang tadinya berniat untuk mengambil minum, terhenti kala mendengar suara Anggi. Dia bersembunyi di dinding penyekat ruangan tengah dan dapur.

"Maksud gue baik, Gi. Siapa tahu Vigo bisa bantuin elo," jawab Laura hati-hati.

Anggi menggelengkan kepalanya.

"Yang ada Vigo bakal jauhin gue setelah tahu kenapa gue nyari-nyari Gaga."

Laura tersenyum kecut, lalu berkata, "Lo sadar gak, lo nyari Gaga, ngaku kalau lo suka sama Gaga lo itu, tapi lo ngejar-ngejar Vigo. Itu gak masuk akal, Gi. Vigo bisa terluka, begitu juga dengan lo."

"Itu urusan gue, Ra. Nyari Gaga, ngejar-ngejar Vigo. Itu semua urusan gue, bukan urusan lo. Pokoknya, lo gak boleh lagi cerita sama siapa pun kalau gue lagi nyari Gaga," pungkas Anggi meninggalkan Laura di dapur.

Sedangkan Vigo, benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Dia masih tak menyangka, setelah mengetahui fakta bahwa Anggi masih memiliki perasaan pada sahabat kecilnya yang tengah dia cari-cari. Lalu kalau begitu, kenapa Anggi mengejarnya? Apa Anggi hanya menjadikan dia pelarian saja?

***

Minggu, 24 Juli 2022

#1030 word

bougenvilleap_bekasi
Lyviajkm
_queennzaaa
Silvaqueen__

Plot Twist (END)Where stories live. Discover now