24 - Latihan

42 4 0
                                    

SEPANJANG jalan Jonas hanya terdiam mengendarai mobilnya. Tanpa ia sadari, kemacetan lalu lintas di sepanjang jalan Sudirman sudah membuat Aurora tertidur. Ya. Gadis itu masih terlelap hingga ia memutar arah dan menghentikan mobilnya di parkiran Rumah Sakit Cipta Harapan. Ia melihat jam di tangannya. Jam kerjanya sudah berlalu, pikirnya. Ia benar-benar nggak tahu lagi apa yang harus ia lakukan malam ini. Sudah lebih dari dua jam semenjak gadis itu tertidur. Ia sengaja membiarkannya tidur karena khawatir akan terjadi sesuatu pada gadis itu.

Hati kecil Jonas memahami keadaan tubuh Aurora. Seminggu ini ia memerhatikan betul setiap gadis itu pulang menyanyi di kafe One Music. Dari jauh, orang-orang memang bisa melihat serta mengagumi suara, semangat, atau senyumnya. Namun, ia tahu daya tahan tubuhnya yang sebenarnya. Ia nggak ingin melihat keadaannya semakin parah. Ia ingin melihat kesembuhannya dan menemukan pendonor yang tepat. Karena ia nggak yakin kalau ginjalnya bisa didonorkan untuk gadis itu.

Mendadak Jonas merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya dan terasa nyeri. Setiap kali rasa khawatirnya memuncak, rasanya ia hanya ikut menyakiti dirinya sendiri. Perlahan ia membuka pintu mobilnya dan hendak membawa gadis itu untuk masuk ke rumah sakit. Memerhatikan wajahnya yang tertidur lelap seperti ini malah membuat jantungnya semakin berdegup nggak karuan. Ia cepat-cepat mengulurkan kedua tangannya mendekati tubuh gadis itu dan mengangkatnya dengan sangat hati-hati.

"Lo ngapain?"

Belum juga Jonas menutup pintu mobilnya, ia sudah mendengar suara itu dan mata Aurora terbuka lebar saat wajahnya terasa begitu dekat dengan hembusan napasnya.

"G-gue..."

Aurora cepat-cepat melepaskan diri dari lengan Jonas yang masih menggendong tubuhnya seperti bayi yang baru lahir. Saat matanya mengorbit ke arah lain, ia baru tersadar dengan lingkungan di sekitarnya. "Kita kok di rumah sakit. Eh, ini jam berapa?" tanyanya mulai bingung. "Haduh! Kok lo nggak bangunin gue!?"

"Heh, harusnya lo berterima kasih karena lo bisa istirahat di mobil gue tanpa ada yang ganggu!" seru Jonas tanpa rasa bersalah.

"Justru karena lo, gue jadi nggak bisa kerja lagi malam ini!" Aurora kembali menyudutkan.

"Apa pun yang lo mau lakukan malam ini. Semuanya sudah lewat tahu! Sekarang lebih baik ketemu dokter," ujar Jonas berusaha membuka mata Aurora lebar-lebar.

"Dokter? Ya, Tuhan! Kenapa gue harus begini lagi setiap ketemu sama lo? Hah?" Aurora benar-benar stres menghadapi situasi ini lagi. Ia bisa mendapat peringatan dari Pak Fargo kalau begini terus. Atasannya itu bisa saja jengah kalau jadwal kerjanya jadi berantakan terus.

Jonas masih nggak menyahut. Ia hanya menahan amarahnya dengan mengepalkan tangannya dan menatap gadis itu dengan sorot matanya yang tajam.

"Hari ini gue nggak ada jadwal ke dokter, Nas! Kenapa? Lo nggak terima kalau gue mau pergi ke kafe dan mau pukul gue? Ayo pukul!"

Dengan gerak cepat Jonas merengkuh gadis itu ke dalam dekapannya. "Apa bisa satu hari aja kita nggak bertengkar?"

Aurora mengerjap mendengar kata-kata itu dan menerima perlakuan Jonas yang begitu tiba-tiba ini. Bahkan ia bisa merasakan hangat tubuhnya sekarang. "E... eh... lo apa-apaan sih?"

"Aku kira kamu akan kenapa-kenapa tadi. Aku khawatir sama kamu," ujar Jonas tanpa ingin melepaskan rangkulannya sedikitpun. "Apa boleh aku meminta satu hal dari kamu, Aurora?"

Aurora speechless. Karena Jonas terdengar serius sekali.

"Terkadang kita harus berhenti mengejar impian, bukan karena itu buruk untuk kita. Akan tetapi pilihan untuk meninggalkannya bisa menyelamatkan hidup kita. Atau, kamu bisa lebih baik menyanyi di luar negeri. Bukan di kafe itu. Aku hanya berharap kebahagiaanmu, Aurora. Jangan salah paham kalau aku melakukan semua yang ingin kulakukan dengan menentang pilihanmu untuk meneruskan mimpimu itu sampai kamu membenciku. Aku lelah melihat kamu hanya menyakiti diri kamu sekarang. Aku hanya nggak ingin melihatmu terluka lebih dalam. Aku hanya...."

"Hentikan, Jonas!" Aurora buru-buru mendorong tubuh Jonas menjauh sebelum ia terlena semakin dalam dengan pesonanya yang meluluhkan hati. Ia sungguh nggak paham dengan ucapannya itu. "Siapa pun kamu, aku nggak mungkin menuruti keinginan kamu yang satu itu. Aku masih bisa mengatasinya dan melewati rintangan yang ada dalam hidupku. Ingat, hubungan kita juga nggak sedekat yang kamu pikirkan sekarang! Aku harus segera menghubungi Grey," ucapnya cepat seraya ia mengambil hpnya di tasnya yang masih tertinggal di mobil. "Jangan dekat-dekat aku lagi!" ancamnya tegas.

Jonas mendaratkan kedua tangannya yang mengepal keras ke atap mobilnya dan melihat Aurora menjauhinya sambil menelepon. Ia nggak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia benar-benar kehilangan akal setiap kali menatap gadis itu dan dadanya kembali terasa sakit setiap memikirkannya. Ia sungguh nggak ada pilihan lain.


***


Setelah naik taksi ke kafe, Grey sudah menyambutnya dengan senyuman.

"Akhirnya kamu datang juga."

"Aku sudah menerima musik yang kamu kirim. Apa kita mau coba sekarang?"

"Cool. Oke! Pemain band di kafe sudah ada di studio."

"Studio? Aku kira kita akan latihan di kafe."

Grey menggeleng. "Aku ingin memberi kejutan untuk penampilan special kamu."

"Oh, kamu terlalu berlebihan, Grey. Ini cuma lagu biasa."

"Who knows?"

Aurora tersenyum semringah.

Tak lama kemudian, Aurora masuk ke mobil Grey dan mereka menuju Silver One Studio. Aurora langsung diperkenalkan satu per satu dengan para personil band.

"Ini bassist kita, Anto."

"Hai. Gue Anto."

Aurora menatap laki-laki berambut panjang yang terlihat lebih kurus dan pendek dari yang lain, lalu menyambut jabatan tangannya dengan senyum.

"Gue Dirga."

"Dirga yang pegang drum," jelas Grey pada sosok laki-laki yang berambut cepak dan berdiri sambil memutar-mutar stik di tangannya.

"Kalau gue, Beng!" seru laki-laki yang tersenyum lebar.

"Dia keyboardist kita," ujar Grey menerangkan.

Aurora mengangguk paham dan menyalami mereka bergantian sambil tersenyum. Usia mereka nggak terpaut jauh dari Grey. Karena raut wajah mereka terlihat masih muda.

"Mulai hari ini, kita akan latihan di sini sampai akhir bulan ini. Jadi setiap hari Senin sore, aku akan jemput kamu kalau kamu bersedia, Ra. Gimana?"

Aurora mengulum senyum, dan mengangguk. "Oke."

Tak lama kemudian, mereka langsung mengambil posisi dan memainkan peralatan band mereka masing-masing. Aurora juga mulai mengeluarkan suara emasnya, dan membiasakan diri mengikuti tempo serta nada yang sesungguhnya.

Sementara Grey menatapnya dari sofa yang diletakkan nggak jauh dari mereka. Lagunya dan komposisi mereka benar-benar sempurna.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now