Epilog

148 4 2
                                    

"AURORA ...!! AURORAAAA ...!!!" hiruk pikuk teriakan para fans sudah memekak di telinga seorang gadis yang baru saja keluar dari gedung Balai Kartika dan melangkah di sepanjang karpet merah menuju lobi.

Parasnya yang sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun selutut warna cream dan beronamen penuh glitter dan permata di sekitar kerah Sabrina hingga ke bagian dadanya sungguh telah memukau para pengunjung yang telah datang untuk melihat konsernya. Keramahannya juga nggak perlu diragukan lagi. Lambaian tangannya dan tanda tangan yang diberikannya seraya ia berjalan melewati mereka semakin membuat histeria di sekitarnya. Suasana lobi gedung ini sontak jadi semakin ramai.

Setelah sukses memulai karirnya sebagai penyanyi kafe, nama Aurora memang telah dikenal sebagai artis remaja yang melejit namanya nggak hanya karena menumpang popularitas dari Steven –papa tirinya, serta Jaslene yang akhir-akhir ini telah dipercaya oleh publik sebagai sosok ibu kandungnya.

Saat membuat album pertamanya yang berjudul And The Miracle One, kini ia juga berhasil meraih kesuksesan di dunia perfilman. Karena film layar lebar pertamanya yang berjudul sama seperti album pertamanya telah meraih hampir dua juta penonton.

Seruan demi seruan yang memanggil nama Aurora masih terdengar dari segala penjuru. Grey yang melangkah di sampingnya juga nggak ketinggalan mendapat perhatian para remaja yang mengagumi bakat dan ketampanannya dalam dunia musik. Setelah tur ke beberapa kota, penjualan album pertama dan beberapa konsernya cukup sukses.

"Akhirnya acaranya selesai, Grey," seru Aurora sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal ketika ia masuk ke sebuah Alphard silver yang telah menunggunya di depan lobi.

"Perjuangan untuk jadi artis ibukota saja seberat ini. Kamu masih kuat kan, Ra? Jaslene sudah mengatur konser-konser untuk kita di Jepang dan Amerika."

Aurora mencelos dengan tawa renyah. "Wah! Dia benar-benar hebat! Kapan kita ke sana? Apa kota Jepang dulu?

"Aku belum mendapat kabar soal itu."

"Tapi sebelum kita pergi ke luar negeri, apa ada yang kamu lupakan, Grey?"

"Aku? Apa ada yang harus kulakukan sore ini?" Grey bertanya balik, heran dengan pertanyaan Aurora. Karena ingatannya masih bagus sekali.

"Nggak ada, sih. Tapi aku tetap harus mengatakannya..."

Grey mengernyitkan dahinya, lalu meneguk air mineralnya sejenak dan kembali melirik ke arah Aurora yang duduk di samping kanannya. "Tentang?"

"Tentang operasiku dulu," sahut Aurora sambil menatap lurus ke layar kecil di belakang sandaran kepala kursi supir yang mengemudikan mobil ini.

Grey hampir saja tersedak air minumnya, dan buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Jujur, Grey ...," kata-kata Aurora menggantung. Ia menatap Grey sejenak.

"Ada apa, Ra? Kamu nggak enak badan? Perlu check up ke rumah sakit sekarang?" Grey kembali menatap Aurora penasaran dan begitu khawatir dengan keadaannya.

Aurora menggeleng cepat. "Bukan. Aku baik-baik aja. Aku harus mengatakan rasa terima kasihku karena aku tahu kamu telah berpura-pura jadi malaikat nggak bersayap untuk menolongku."

Grey kembali menatap Aurora jauh ke dalam mata gadis itu. "Ah ... itu ...," sahutnya. Ia tertegun sejenak. Jantungnya sedikit berdebar karena membayangkan gentingnya saat Aurora tiba-tiba mengeluarkan isi perutnya seketika sepuluh menit setelah konser pertamanya selesai dan jatuh pingsan. Ia benar-benar takut sekali apa yang dibayangkan oleh Jonas selama ini terjadi. "Apa kamu sudah bertemu dengannya?"

Aurora mengangguk karena ia mengerti ke mana tujuan pertanyaan Grey.

Grey menghela napas panjang. "Syukurlah, dia baik-baik saja. Kupikir dia nggak akan bertahan dengan efek setelah operasi cangkok jantungnya waktu itu. Aku sudah takut sekali."

"Aku lebih takut kalau kamu melakukan hal sedemikian mengerikan seperti itu lagi tanpa persetujuanku. Kamu tahu kan, nyawamu itu bukan mainan...?" Aurora nggak ingin Grey mengalihkan pembicaraannya. Ia harus meyakinkan apa yang telah dilakukannya itu sangat gila dan mengkhawatirkan. "Kalau waktu itu kamu kenapa-napa dan aku nggak bisa melihat kamu lagi bagaimana? Kalian semua sudah membohongiku tahu..."

"Maaf, Aurora. Kami hanya melakukan yang terbaik untuk kamu. Karena kami sangat menyayangi kamu. Aku pun masih muda. Aku yakin jalanku masih akan panjang. Karena persyaratanku juga sudah lengkap dan disetujui. Semuanya akan baik-baik saja."

"Oh, Tuhan! Entah bagaimana caranya aku bisa mengembalikan ginjalmu ini," sahut Aurora masih nggak percaya dengan sikap optimis Grey.

Grey sedikit terkejut mendengarnya. "Kamu terdengar seperti pelawak, Ra. Apa kita mulai membuat film drama romantis komedi tentang kita?"

Aurora pun mencelos dengan tawa dan memukul lengan Grey dengan tinju kecilnya.

"I love you, Aurora," sahut Grey sambil terkekeh kecil. "Karena aku nggak bisa memilikimu, biarlah ginjalku menjadi bukti rasa sayangku padamu yang nggak akan pernah hilang dari ragamu."

"Sepertinya kita memang harus membuat film romantis yang lucu, Grey."

Grey mencelos dengan tawa renyahnya.

"Habis ini aku boleh makan kue tar ya? Aku lapar," sahut Aurora sambil cengengesan.

"Lalu, kenapa kamu ketawa? Katanya lapar?"

"Aku cuma teringat waktu bertemu dengan Jonas dulu. Dia sudah makan kue cokelat terakhirku, karena waktu itu aku mau berhenti makan kue setelah aku divonis sakit."

Grey tertawa kecil. "Ok. Aku tahu cerita itu. Karena Jonas sudah menjelaskan semua rasa khawatirnya terhadap kamu, karena itu dia mengambil kue itu dari kamu."

"Hidup ini benar-benar lucu ya, Grey. Waktu kita pernah berharap memiliki sesuatu atau seseorang yang nggak bisa kita miliki, ternyata kita malah sulit mendapatkannya. Tapi aku malah sempat nggak ingin bertemu dengan kalian lagi, dan kalian malah jadi orang-orang yang kuharap bisa terus ada di sisiku."

Aurora mengangguk sambil mendengarkan lagu mereka dari radio. Musik A Part Of Me milik Grey yang diaransemen ulang agar ia bisa ikut menyanyikannya terasa begitu menyayat hati. Ia semakin merasakan perhatian Jonas yang tak pernah disadari oleh hati kecilnya. Ia benar-benar sangat mencintai laki-laki itu, bahkan seluas samudera di bumi ini nggak bisa ditakar dengan cintanya. Ah, aku nggak sabar untuk bertemu dan makan malam dengannya. Senyumannya pun mengembang dari bibirnya. Manis, dan bahagia sekali!

AurorabiliaWhere stories live. Discover now