3 - Kondisi Terpahit

156 7 0
                                    

"WHAT? Elo ditawarin nyanyi di kafe?" Milla terlonjak saat ia mendengar cerita Aurora.

Aurora mengangguk dan mengeluarkan sebuah kartu nama yang diberikan Grey semalam.

Milla langsung menyambar kartu kecil berwarna hitam dan bertuliskan perak itu. "Kok di sini namanya bukan Grey?" dahinya mengernyit ketika melihat nama Fargo Gunawan tertera di kartu itu.

"Iya. Tapi abis dia kasih itu, kita bertukar nomer hp juga, Mil. Tadi malam, dia bilang ada kenalannya yang mungkin akan menyukai suara gue ini. Jadi dia berharap gue mau menerimanya."

Milla mengerjap beberapa kali, masih terpukau dengan kabar baik ini. "Terus, lo terima?"

Aurora bergeming, sebelum ia menjawabnya. "Gue masih pikir-pikir dulu sih," jawabnya sambil meregangkan jari-jari kakinya sejenak, dan kembali berlari. Sepertinya ia merasa sepatunya jadi tambah sempit. Setiap kali ia pulang sekolah, kulit jari kelingkingnya seringkali lecet sedikit.

Milla tampak sedikit kecewa mendengar reaksinya. "Yah... kok pikir-pikir sih?" dengusnya.

"Soalnya, gue takut dia bercanda...," tukas Aurora masih nggak percaya.

"Yaelah, Ra. Mana ada orang nawarin lo nyanyi di kafe tapi cuma bohongan. Terima aja dulu. Nanti abis itu kan lo tahu gimana lanjutannya..."

"Iya-iya. Nanti malam aja gue telepon dia. Kalau sekarang takut ganggu dia lagi kerja..."

Milla manggut-manggut. "Good! Malam ini juga nggak apa-apa..."

"Heh! Ngapain kalian bengong? Ayo lari?! Yang lain sudah lari dua putaran kalian masih aja berdiri di situ kayak kura-kura!? LAMBAN SEKALI!" seru Pak Tarno –guru olahraga mereka yang bertubuh besar, berkulit sawo matang, dan agak berotot. Wajahnya yang berkeringat sudah terlihat sangar karena dia menatap mereka dengan tatapan tajam dan tangan yang berkacak pinggang.

Aurora dan Milla sontak langsung kembali berlari lebih cepat. Karena pelajaran olahraga kelas 12 IPA 2 dan 12 IPA 3 tengah digabung. Saat Milla ingin mengembalikan kartu itu ke Aurora, tiba-tiba saja seseorang mengambil kartu itu.

"Kartu apa nih? Producer and Floor Manager? One Music Café?" sambil berlari di sisi Aurora dan Milla, Novia malah mengernyit ketika menyebutkan jabatan pemilik kartu nama yang baru saja direbutnya.

"Hei, balikin nggak!" sungut Milla mulai heran.

Tapi telinga Novia seperti tersumbat oleh batu. Ia masih saja berlari menghindarinya dan menatap kartu itu sambil dibolak-balik. Sebelum Milla berteriak, ia kembali melempar kartu itu ke wajah Aurora. Sayangnya, kartu itu malah terjatuh sebelum ia berhasil menangkapnya. "Nih! Gue nggak butuh! Lagian mana ada yang mau jadiin lo penyanyi? Jangan mimpi!"

Aurora menahan diri tak membalas makian Novia. "Biarin aja, Mil. Nggak usah didengar..."

Milla yang awalnya ingin membalas ucapan nyinyir Novia sontak terdiam dan tak lagi memusingkan masalah perangai gadis itu. "Oke..."

"AURORAAAA, MILLAAAA! Kalian lama sekali larinya!" Mata Pak Tarno yang kembali memerhatikan keduanya semakin membulat besar.

"I-IYA, PAK! Ini juga lagi lari kok!" seru Milla yang terpaksa mengikuti tempo lari Aurora yang terlihat agak lama dan mereka memang sudah ketinggalan. Karena setelah pemanasan lari, ia melihat semua anak sudah kembali berdiri di barisan, dan mereka baru berlari satu putaran.

Sementara itu, keringat Aurora sudah bercucuran dan ia kerepotan mengatur napasnya yang sudah tersengal-sengal. "Lo duluan aja, Mil. Daripada kena omel," sahutnya tak enak hati pada Milla.

"Nggak, Ra. Kita bareng aja..."

Aurora menggeleng melihat keras kepala Milla. Tapi ia benar-benar lelah sekali. Tubuhnya seketika terasa lemas dan tak terasa ia tiba-tiba terkulai lemas.

AurorabiliaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum