23

3.8K 415 157
                                    

Sebuah gapura megah terpampang di hadapannya, menyambutnya dengan tulisan besar: Welcome to New Grand Adam Garden. Sri memandang ke luar jendela mobilnya, dua orang satpam sedang memeriksa bagian bawah mobilnya dengan alat pendeteksi. Ia tak mengenal kedua orang satpam itu secara pribadi, tapi mereka tahu bahwa ia adalah penghuni perumahan ini yang baru satu bulan pindah. Mereka bilang, ini cuma formalitas. Mereka tetap harus menjalankan prosedur demi menjamin keamanan. Apalagi menjelang liburan, isu terorisme mulai bermunculan di berbagai daerah. Setelah dinyatakan aman, mobil sedan itu kembali melaju masuk ke dalam area perumahan, melewati jalan lebar yang bersih dan diapit pohon-pohon rindang.

Sudah lebih dari dua dasawarsa, gumam Sri dalam hati. Ia ingat bagaimana ia dulu menyusuri jalanan ini seorang diri setiap kali pulang dan berangkat kerja, sambil berkhayal bahwa suatu saat ia akan tinggal di salah satu rumah ini. Sekarang, khayalannya menjadi kenyataan. Waktu yang ia butuhkan memang cukup lama. Sekarang, rambutnya sudah beruban dan ia mulai sering meminum obat penurun kolesterol.

Sudah banyak yang berubah. Perumahan ini sekarang jauh lebih besar. Beberapa ruang kosong yang dulu dijadikan taman dan sarana olahraga untuk penghuni perumahan, kini berubah menjadi ruko-ruko yang disewakan. Ada bermacam-macam rumah makan dan kafe yang ia lihat cukup ramai pada malam Minggu ini. Mereka rata-rata adalah penghuni baru, sama seperti dirinya. Meski sudah menambahkan kata "New", Grand Adam Garden memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kredibilitasnya mengenai masalah keamanan, terutama setelah kasus pembunuhan berantai yang cukup menggemparkan media massa dan sempat menjadi urban legend.

Sebenarnya, ia tak ingin ada yang tahu bahwa ia memiliki sangkut paut dengan tragedi itu, kecuali orang-orang terdekatnya yang paling ia percayai. Namun, jangkauan media massa dan media sosial berada di luar kuasanya. Untunglah, berbagai berita politik dan hal-hal viral lainnya lambat-laun mulai memudarkan kasusnya itu dari memori publik.

"Dulu, di sini ada gang kecil. Rumah kontrakan Mama ada di belakang gang kecil itu," ujar Sri sambil menunjuk salah satu sudut jalan yang kini sudah berganti dengan kafe dua lantai.

Perempuan muda yang duduk di sampingnya menoleh sesaat, kemudian kembali melihat ke depan, ke arah jalan sambil terus mengemudikan mobil.

"Maksud Mama, rumah ... rumah tempat kejadian itu?" tanyanya.

"Iya, kejadian itu, Win."

Windy, puterinya itu, adalah salah satu orang yang paling ia percaya. Meski begitu, bukan berarti ia menceritakan segala hal tentang masa lalunya. Ada beberapa hal yang sebaiknya ia sembunyikan rapat-rapat di balik kotak besi.

Windy tidak menanggapi lagi. Ia membelokkan mobilnya ke gerbang kedua yang membatasi area perumahan dengan area pertokoan dan taman. Mereka tinggal di blok Firdaus, satu blok setelah melewati air mancur patung laki-laki pemetik apel.

"Jadi Minggu depan Mama bisa datang ke acara wisuda aku, kan?" tanya Windy, mungkin berusaha mengalihkan obrolannya ke topik lain yang lebih menyenangkan.

Sri tersenyum. "Insya Allah," jawabnya.

Sambil tersenyum, ia memandangi anak gadisnya yang kini sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Untuk ukuran wanita berusia dua puluh satu tahun, Windy memang tampak jauh lebih matang dibandingkan dirinya saat berada di usia yang sama. Ia pun mensyukuri itu. Ia sadar bahwa bila ia ingin kehidupan keduanya ini menjadi lebih baik, ia tidak boleh memendam kebencian-kebencian di dalam dadanya terlalu lama.

Namun, bukan berarti ia berhenti menyimpan rahasia.

"Kamu yakin, soal lamaran itu, Win?" tanya Sri setelah mereka tiba di rumah.

Rumah mereka termasuk rumah dengan tipe paling kecil yang ada di New Grand Adam Garden. Meski begitu, tempat itu tetaplah nyaman dan asri. Sebagai seorang desainer dan pengusaha butik yang usahanya berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir ini, Sri sangat mensyukuri keberadaan rumah ini. Mungkin ini adalah rumah impiannya sejak dulu.

"Yakin. Emangnya kenapa, Ma?" tanya Windy sambil duduk di karpet di ruang tengah.

"Nggak mau berkarier dulu atau apa gitu?" tanya Sri lagi.

"Aku yakin, kok. Aku dan dia udah bicarain masalah ini. Aku tetap bisa berkarier setelah nikah, dan dia bakal support aku," jawab Windy. "Lagian, kok Mama tanya lagi? Kan udah diterima?"

"Enggak, nggak apa-apa."

Ibu dan anak itu berangkulan di atas sofa sambil sesekali mengemil potongan-potongan french fries. Setelah sekitar setengah jam menonton acara televisi bersama, Windy terlihat lelah. Ia berbaring di atas karpet dan kemudian tertidur sambil mendengkur. Sri belum mengantuk. Ia meninggalkan Windy di ruang tengah, kemudian masuk ke kamar tidurnya.

Di dalam lemari pakaiannya, ada sebuah laci kecil yang terkunci tempat ia menaruh perhiasan-perhiasannya. Di dalam laci itu, ada kotak besi kecil yang juga terkunci. Setelah mengunci pintu kamar, ia mengambil kotak besi itu, kemudian membuka kuncinya dengan kunci yang ia simpan di dalam saku celananya. Napasnya tertahan sejenak. Sebuah kalung berlian melingkar di dalam kotak itu. Ia menimbang-nimbang kalung itu, apakah akan ia berikan saat wisuda ataukah saat pernikahan anaknya? Atau mungkin ia biarkan saja kalung itu tersimpan dalam kotak besi, lalu menjadikannya harta warisan yang ia wariskan kepada anaknya setelah ia meninggal dunia nanti?

Berkali-kali terlintas dalam benaknya untuk membuang atau melenyapkan kalung itu, tapi ia tak pernah sanggup. Tak semua kenangan dalam kalung itu gelap dan menakutkan, sebagian lagi justru menjadi tanda perjuangannya dalam mengarungi hidup. Terakhir kali ia mencoba menjual kalung itu adalah ketika ia menyadari bahwa dirinya sedang mengandung.

Saat itu adalah satu bulan sejak tragedi yang menimpanya, dan ia belum sembuh benar dari trauma yang menghantuinya. Saat itu ia tengah berusaha meyakinkan pihak berwajib bahwa apa yang ia lakukan adalah murni pembelaan diri. Pada saat yang bersamaan, bukti-bukti tentang pembunuhan yang dilakukan Aji semakin banyak mencuat ke permukaan.

Suatu pagi, ia merasakan tubuhnya lemas dan perutnya mual. Mengira bahwa itu adalah gejala fisik dari kondisi psikologisnya, ia memeriksakan diri ke dokter. Berbagai perasaan becampur aduk ketika dokter mengatakan bahwa ia sedang hamil. Ia sempat berpikiran untuk menggugurkan kandungannya karena merasa tak mampu merawat anak seorang diri, tetapi ia tak sanggup melakukan itu. Pada akhirnya, bayi dalam kandungannya itu justru menjadi penyemangat hidupnya yang paling besar.

Windy adalah anaknya bersama Aji, meski ia tak tahu Aji yang mana yang menjadi ayahnya. Tidak. Aji adalah Aji, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Monster pembunuh itu adalah orang lain dan ia tidak pantas menjadi ayah untuk siapa pun. Setelah bertahun-tahun merenungi peristiwa itu, ia mulai bisa berdamai dengan kenyataan. Ia masih percaya bahwa pernikahannya dengan Aji pada dasarnya memang sebuah kesalahan, dan retorika macam apa pun tidak akan bisa mengubah kenyataan itu. Meski demikian, kini ia telah memaafkan sosok almarhum suaminya itu.

Sayangnya, ia tak pernah bisa mengatakan kepada siapa pun bahwa Aji, suaminya, bukanlah pembunuh yang sebenarnya. Tak akan ada yang percaya dengan cerita itu. Selain itu, jika ia terdengar terlalu keras berusaha membersihkan nama suaminya, orang-orang di sekitarnya akan memberikan pandangan curiga. Semua orang, media massa, dan sejarah sudah mencatat Aji Arjuna sebagai perampok, pembunuh, dan pemakan daging manusia yang nyaris saja mengorbankan istrinya sendiri. Namanya kini sejajar dengan Sumanto, Ryan Jombang, dan Robot Gedek. Ini adalah ampas pahit yang masih terus tersisa dalam memorinya, mungkin sampai seumur hidupnya.

Perlahan, ia melingkarkan kalung itu di lehernya. Masih cocok, gumamnya. Ia sudah memutuskan bahwa ia sendiri yang akan mengenakan kalung itu saat menghadiri acara wisuda puterinya, baru kemudian memberikannya sebagai hadiah ketika puterinya itu menikah. Ia merasa dirinya lengkap sekarang. Ia sudah memiliki sayapnya sendiri dan merasa cukup kuat untuk hinggap di mana pun ia mau.

=== TAMAT ===


Pertanyaan Paling AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang